Menurut Sekretaris Jenderal Koalisi Perlindungan Kesehatan Masyarakat (Kopmas) Yuli Supriati, pemerintah menargetkan prevalensi tengkes atau stunting bisa menurun menjadi 14 persen pada tahun 2024.
Di mana target ini dinilai sangat ambisiu karena Indonesia harus dapat menurunkan angka tengkes sebesar 10 persen selama 2 tahun atau 5 persen setiap tahunnya.
Dengan adanya target ini akan membuat pemerintah daerah melalukan program percepatan penurunan stunting untuk mencapai penurunan tengkes. Namun, apakah data tengkes yang diklaim turun sudah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya di lapangan.
Yuli menyampaikan bahwa klaim terhadap status tengkes yang berlebihan ini ditemukan di daerah Stabat,Langkat, Sumatera Utara. Pemerintah daerah setempat mengklaim bahwa daerahnya telah zero stunting atau tidak ada kasus tengkes.
Namun, kondisi ini sangat berbeda dengan temuan saat kunjungan langsung, di mana tingginya kasus gizi buruk di daerah tersebut. Adanya overclaim semacam ini dapat menyebabkan anak kehilangan haknya.
Hal ini dikhawatirkan akan menjadi bumerang jika pencatatan tidak sesuai karena intervensi yang berikan kepada anak menjadi tidak tepat.
Dilansir melalui Kompas.id (04/08/2022), hal lain yang masih menjadi persoalan adalah tidak optimalnya keterlibatan kader dan masyarakat dalam mendata kejadian tengkes. Dalam proses pencatatan ditemukan sistem yang tidak terstandar yakni pengukuran indikator tengkes tidak dilaksanakan dengan tepat.
Kader melakukan pencatatan berdasarkan informasi yang didapatkan dari orangtua, sedangkan orangtua belum tentu memiliki alat terstandar untuk mengukur tinggi dan berat badan anak.
Padahal menurut Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesai (IDAI), Piprim Basarah Yanuarso, untuk mendeteksi tengkes ini harus dilakukan pengukuran panjang dan tinggi badan berdasarkan usianya.
Baca Juga: Upaya Turunkan Stunting, BKKBN Buat Program Bapak Asuh