Sonora.ID - Tengkes atau stunting merupakan sebuah fenomena yang tidak dapat disembuhkan, tentunya hal ini sudah menjadi tanggung jawab semua pihak agar dapat mempersiapkan masa depan anak menjadi lebih baik. Jangan biarkan tengkes merenggut kehidupan anak-anak balita di
masa depan.
Tengkes atau stunting merupakan kondisi gagal tumbuh yang terjadi pada anak balita (bayi di bawah 5 tahun) adalah akibat dari kekurangan gizi kronis yang menyebabkan anak terlalu pendek untuk usianya.
Kekurangan gizi ini dapat terjadi saat bayi masih dalam kadungan pada masa awal sejak bayi lahir, akan tetapi kondisi tengkes atau stunting ini akan tampak setelah bayi berusia 2 (dua) tahun.
Tengkes merupakan sebuah lingkaran setan, pasalnya seorang ibu dengan masa lalu tengkes cenderung akan melahirkan generasi tengkes juga. Kondisi ini memberikan kontribusi terhadap lingkaran kemiskinan antar generasi sehingga sulit untuk dihentikan.
Lebih parahnya lagi adalah bahwa kondisi ini sering dianggap hal yang biasa oleh banyak orang bahkan bisa menjadi sebuah kondisi yang normal di masyarakat. Tidak banyak orang yang paham betapa fatalnya masalah ini jika dibiarkan dalam kehidupan sebagai bangsa.
Melansir dari Kompas.id (15/06/2022), berdasarkan jurnal ilmiah, The Lancet (2017) yang ditulis oleh Andreas Georgiadis dan Mary E Penny menyebutkan bahwa pertumbungan seseorang dapat dikejar hingga usia remaja, tetapi masalah defisit kemampuan intelektual tidak dapat mengiringi pertumbuhan tinggi badan yang terlambat.
Meskipun terlambat, mereka yang pernah mengalami tengkes mungkin dapat mencapai tinggi badan ideal tetapi tidak dengan kemampuan kognitifnya. Padahal kemampuan kognitif ini akan sangat berpengaruh dan bermanfaat bagi seseorang diawal periode kehidupannya setelah usia 5 (lima) tahun.
Melihat dampaknya yang mengerikan jika dibiarkan, fenomena ini hendaknya menjadi perhatian bersama, meskipun angka tengkes di Indonesia telah turun menjadi 24,4 persen namun angka tersebut masih jauh di bawah rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yakni kurang dari 20 persen.
Pravelansi tengkes yang dilaporkan menurun dalam lima tahun terakhir ini juga perlu dipastikan dengan pengukuran sesuai standar.
Menurut Sekretaris Jenderal Koalisi Perlindungan Kesehatan Masyarakat (Kopmas) Yuli Supriati, pemerintah menargetkan prevalensi tengkes atau stunting bisa menurun menjadi 14 persen pada tahun 2024.
Di mana target ini dinilai sangat ambisiu karena Indonesia harus dapat menurunkan angka tengkes sebesar 10 persen selama 2 tahun atau 5 persen setiap tahunnya.
Dengan adanya target ini akan membuat pemerintah daerah melalukan program percepatan penurunan stunting untuk mencapai penurunan tengkes. Namun, apakah data tengkes yang diklaim turun sudah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya di lapangan.
Yuli menyampaikan bahwa klaim terhadap status tengkes yang berlebihan ini ditemukan di daerah Stabat,Langkat, Sumatera Utara. Pemerintah daerah setempat mengklaim bahwa daerahnya telah zero stunting atau tidak ada kasus tengkes.
Namun, kondisi ini sangat berbeda dengan temuan saat kunjungan langsung, di mana tingginya kasus gizi buruk di daerah tersebut. Adanya overclaim semacam ini dapat menyebabkan anak kehilangan haknya.
Hal ini dikhawatirkan akan menjadi bumerang jika pencatatan tidak sesuai karena intervensi yang berikan kepada anak menjadi tidak tepat.
Dilansir melalui Kompas.id (04/08/2022), hal lain yang masih menjadi persoalan adalah tidak optimalnya keterlibatan kader dan masyarakat dalam mendata kejadian tengkes. Dalam proses pencatatan ditemukan sistem yang tidak terstandar yakni pengukuran indikator tengkes tidak dilaksanakan dengan tepat.
Kader melakukan pencatatan berdasarkan informasi yang didapatkan dari orangtua, sedangkan orangtua belum tentu memiliki alat terstandar untuk mengukur tinggi dan berat badan anak.
Padahal menurut Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesai (IDAI), Piprim Basarah Yanuarso, untuk mendeteksi tengkes ini harus dilakukan pengukuran panjang dan tinggi badan berdasarkan usianya.
Baca Juga: Upaya Turunkan Stunting, BKKBN Buat Program Bapak Asuh
Sehingga hal ini tidak disarankan untuk dilakukan secara mandiri oleh orangtua. Pengukuran perlu dilakukan secara rutin oleh tenaga kesehatan agar hasil penilaian lebih terstandar.
Dan jika hasil pengukuran masih dibawah standar maka diperlukan pemeriksaan lebih lanjut.
Hal ini dapat dilakukan oleh fasilitas kesehatan (faskes) tingkat primer dalam jangka waktu dua sampai empat minggu.
Apabila penanganan pada faskes primer tidak menunjukkan perkembangan maka anak dapat dirujuk ke dokter spesialis anak.
Melansir dari Kompas.id (04/08/2022), pemerintah juga menjalankan beberapa strategi untuk mengatasi masalah gizi buruk dan tengkes pada balita. Hal ini diungkapkan oleh Sekretaris Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Siti Nadia Tarmizi, strategi yang dilakukan antara lain, pemberdayaan keluarga dan masyarakat, meningkatkan kualitas dan cakupan deteksi dini di tingkat masyakarat, meningkatkan kualitas dan akses pelayanan kesehatan dan gizi, penguatan sistem kewaspadaan dini melalui surveilans kesehatan dan gizi, meningkatkan kerjasama dengan lintas program, meningkatkan dukungan dan peran serta pemerintah daerah melalui dukungan kebijakan dan pembiayaan serta deteksi dini, rujukan kasus tengkes, dan pemantauan pasca rujukan.
Selain itu pemerintah juga tengah melakukan intervensi tengkes sebelum dan setelah kelahiran dengan memastikan gizi cukup pada ibu hamil dan memberikan tablet penambah darah selama masa kehamilan.
Sementara itu intevensi pasca kelahiran dilakukan dengan meningkatkan asupan makanan bergizi pada anak, terutama pemberian nutrisi yang kaya akan protein hewani.
Piprim menuturkan bahwa sejumlah riset menunjukkan adanya keterkaitan antara status tengkes dan kekurangan asupan protein hewani pada anak.
Anak dengan tengkes ternyata memiliki asupan protein hewani yang lebih rendah dari pada anak yang sehat serta ditemukan bahwa kadar asam amino pada anak tengkes juga lebih rendah daripada anak yang sehat.
Padahal asam amino dapat merangsang protein mTORC1 yang memiliki peran dalam proses pertumbuhan tulang, pertumbuhan otot dan fungsi imun.
Baca Juga: Pemerintah Maksimalkan Perlindungan Anak dan Disabilitas yang Terdampak Pandemi