Cerita Horor: Tanding Bulu Tangkis dengan Atlet Pucat dari Desa Misterius

17 September 2022 20:54 WIB
Gedung Olahraga yang terbengkalai
Gedung Olahraga yang terbengkalai ( YouTube SISI ALAM JIWA)

Setelah sampai Amon meminta kami segera masuk untuk bersiap-siap dan melakukan pemanasan.

Saat masuk ruangan itu sudah disesaki penonton. Nyaris tak ada tempat kosong.

Mereka tampak berbincang-bincang, berbagai kalangan usia nampak semua disini.

Aneh, di sini sangat ramai dan nyaring, namun tak terdengar suara apapun dari luar.

Di dalam gedung, sama seperti gedung olahraga pada umumnya, terdapat lapangan badminton beserta netnya, garis-garis di lapangan juga yang sudah memudar.

Dindingnya pun tak beda dari dinding yang ada di luar, penuh berbagai coretan pilok, berlumut di sana-sini, tembok sudah banyak retak, catnya mengelupas dan semennya ambrol.

Lapangannya pun seperti tak dirawat, banyak dedaunan kering yang masuk dari pohon jati besar di luar.

Saking semangatnya, kami tak peduli dengan keadaan gedung seperti ini karena antusias penonton sangat positif, begitu juga pelatih kami yang sedari memasuki gedung ini memancarkan senyum terbaiknya.

Ia sangat bersemangat melebihi semangat yang kami miliki.

Ketika kami sedang berlatih, tim lawan baru datang. Jumlahnya sama dengan kami.

Mereka akan melawan kami dengan sesi yang berbeda. Keenam siswi tersebut terlihat berwajah pucat, lima orang dengan rambut panjang sebahu, dan satu orang berambut pendek seperti laki-laki.

Mereka menggunakan seragam yang nampak kuno, berkerah, model lama seperti yang digunakan Susi Susanti di Olimpiade Barcelona 1992.

Mulanya kami cukup heran namun jadi tak peduli karena hanya fokus pemanasan.

Sebelum pertandingan, Amon memberitahu kami jika ada penonton yang berteriak atau tertawa sangat kencang tak perlu dihiraukan. Aku sempat berpikir, kenapa dia berkata begitu.

Baca Juga: Merinding! Ini Kisah Driver Gojek Hantu di Tembalang, Anak Indigo Sebut Itu Tugas Terakhirnya

Lawan mendadak loyo

Setelah cukup berlatih, maka dimulailah sesi pertama.

Siska dan Veni diminta pelatih untuk bermain di sesi pertama, mereka menang dengan mudah.

Sesi kedua, giliran aku dan Namira. Berhadapan dengan lawan yang berpostur cukup sebanding dengan kami, sekitar 173 cm.

Set pertama, mereka bertempo sangat cepat, shuttle cock yang mereka umpan kepada kami hampir semua menggunakan teknik smash yang sangat kencang, selain itu benar saja kata panitia tadi, ada seorang penonton yang tiba-tiba berteriak sangat kencang.

Namun ada cekikikan seorang wanita yang tak begitu kencang, tapi cukup mengganggu permainan sehingga kami tampil main berantakan.

Kami kewalahan dan kalah pada set pertama dengan skor 8-21.

Set kedua hingga ketiga mereka nampak sangat lesu, hampir tak ada serangan, gerakan backhand yang kami berikanpun tak ditanggapi mereka dengan baik. Tempo permainan sangat lambat dan kami menang begitu mudah dengan skor 21-2 dan 21-0.

“Mereka kenapa ya, Ra? Pucat sekali tampaknya, apa mereka kelelahan dengan permainan di set pertama tadi?” tanyaku pada Namira sembari meletakkan botol air mineral yang baru saja kuminum.

Dari sitni, Namira mulai menampakkan keresahannya.

“Mungkin. Tapi sikap mereka juga aneh. Jujur, aku agak takut.” jawab Namira yang sedikit resah.

Hadiah yang tak lazim

Menjelang sesi ketiga yang akan dimainkan Laura, Amon menghampiri kami dan berkata pertandingan telah usai, kami yang menjadi juaranya.

Penonton sangat riuh, kacau, banyak yang berteriak dan menghentak-hentakkan kaki.

Tak lama Amon buru-buru membawa kami ke luar gedung, kemudian suara-suara itu tak lagi terdengar. Senyap. Hanya desiran angin menerpa ilalang yang terdengar.

Baca Juga: 3 Kampung Gaib di Indonesia, Salah Satu Kisahnya Bisa Mengubah Kunyit Menjadi Emas

Amon meminta satu tas perlengkapan yang kami bawa untuk dikosongkan agar uang hadiah bisa dimasukkan.

Ia meminta maaf, mengaku tak menyediakan tas ataupun rekening untuk memberikan hadiah.

Ia kembali masuk ke dalam gedung, lalu keluar dengan tas yang nampak sudah berisi.

“Ini rekan-rekan, hadiahnya. Tapi mohon maaf, jangan dibuka disini. Nanti saja kalau rekan-rekan sudah tiba di kantor.” Ia menyodorkan tas itu dengan tergesa kepada Pak Beni. Pak Beni begitu riang, ia berterimakasih.

Lalu kami pun kembali memasuki mobil dan meninggalkan gedung tanpa didampingi Amon.

Suasana pulang agak berbeda karena di mobil, kami juga berbincang bahwa kejadian di gedung tadi agak tidak wajar.

Hari sudah mulai petang, jalanan yang kami susuri sedikit berbeda dari tadi siang.

Jalanan yang cukup luas kini serasa menjadi sempit, seperti jalan setapak.

Semak-semak menjulang dan ranting-ranting pohon menabraki bagian luar mobil.

Kami berteriak ketakutan, Pak Beni menyetir dengan gelisah untuk tetap berusaha keluar dari jalan tersebut.

Hampir sekitar 15 menit kami menyusuri jalan tersebut, sampai akhirnya tiba di pinggir jalan utama.

Ternyata jalan yang kami susuri sangat sempit, sangat mustahil untuk dilewati sebuah mobil.

Beberapa saat kami terdiam, sangat terkejut. Padahal kami mengambil rute yang sama dengan tadi siang.

“Coba cek tasnya!” perintah Pak Beni.

Tak ada satupun yang menanggapi, kawan-kawanku hanya menatap tas itu dengan ketakutan.

Kuberanikan diriku sendiri untuk membukanya, dan betapa terkejutnya kami, tas itu berisi daun-daun jati kering seperti yang tadi berserakan di lapangan.

Cek cerita seru lainnya dari akun Twitter @vicky_zulf di bawah ini.

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
92.0 fm
98.0 fm
102.6 fm
93.3 fm
97.4 fm
98.9 fm
101.1 fm
96.7 fm
98.9 fm
98.8 fm
97.5 fm
91.3 fm
94.4 fm
102.1 fm
98.8 fm
95.9 fm
97.8 fm
101.1 fm
101.1 Mhz Fm
101.2 fm
101.8 fm