Banjarmasin, Sonora.ID - Dampak penerapan aturan baru terkait ukuran panjang minimal karapas atau cangkang kepiting bakau untuk ekspor, tak hanya dirasakan para nelayan, tapi juga meluas hingga ke petambak dan pengusaha eksportir komoditas tersebut.
Tak sedikit petambak dan eksportir yang tidak ingin mengambil risiko merugi dengan membeli hasil tangkapan nelayan.
Mengingat, rata–rata ukuran karapas kepiting bakau di perairan Kalimantan Selatan hanya sekitar 10 cm, yang artinya tidak memenuhi kriteria baru dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI yang mengharuskan ukuran karapasnya minimal 12 cm atau setara dengan 450 gram perekor.
Berdasarkan data dari Komunitas Nelayan, Petambak, Pengusaha Eksportir dan Pekerja Kepiting Bakau di Kalimantan Selatan, ada ribuan nelayan dan pekerja lainnya yang terdampak atas terbitnya Permen Kelautan dan Perikanan (KP) Nomor 16 Tahun 2022, yang mengatur tentang batasan ukuran karapas untuk ekspor kepiting bakau.
Baca Juga: Jembatan Sulawesi II Dijanjikan Lebih Landai, Progres Diatas 50 persen
Padahal sebelumnya, berdasarkan Permen KP Nomor 17 Tahun 2021, syarat untuk ekspor kepiting bakau ada dua opsi, yakni panjang karapas minimal 12 cm atau beratnya mencapai 150 gram.
“Selama ini, eksportir kepiting bakau di tempat kita (Kalimantan Selatan, red.) mengambil opsi kedua, yakni berat minimal 150 gram,” tutur Rusdi Hartono, Kadis Kelautan dan Perikanan Kalimantan Selatan, baru-baru ini.
Untuk itu, pihaknya juga mendukung aspirasi dari para nelayan dan pekerja di sektor ekspor kepiting bakau di provinsi ini, yang meminta agar Permen KP yang baru dicabut atau setidaknya diterbitkan surat edaran untuk menganulir aturan tersebut.
Sementara itu, dari kalangan nelayan penangkap kepiting bakau di Kalimantan Selatan yang diwakili Lukman Hidayatullah, mengungkapkan bahwa terbitnya Permen KP Nomor 16 Tahun 2022 itu sangat membebani mereka.
Baca Juga: Keren! Tahura Sultan Adam Kini Miliki Spot Paralayang dan Gantole
“Kemarin baru harga BBM naik, apalagi saat ini masih proses pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19, ditambah dengan aturan baru itu, jelas besar kerugian yang dialami nelayan,” ungkapnya.
Akhirnya, tak sedikit nelayan penangkap kepiting yang memilih ganti haluan menjadi petani, agar ada pendapatan yang masuk.
Hal ini akhirnya berdampak pada pengepul, petambak dan eksportir yang tidak mendapatkan pasokan kepiting dari nelayan.
“Kalau nelayan tidak beraktivitas, otomatis pengepul tidak mendapatkan bibitnya dan imbasnya juga kepada petambak dan eksportir. Apa yang mau diekspor jika bibitnya saja tidak ada?” jelas Lukman lagi.
Padahal biasanya, volume ekspor kepiting bakau dengan aturan lama dapat mencapai minimal 10 ton perbulan, tapi sekarang hanya mencapai 1-2 ton perbulan atau sekitar 20 persen dari sebelumnya.