Alan hanya mengangguk sambil tersenyum. Biar bagaimanapun, Dika adalah teman sekaligus sahabat yang senantiasa menemaninya entah itu di kala suka maupun duka.
Alan tidak ingin mencela sahabatnya lebih jauh, karena dia tahu Dika sedang berusaha belajar Bahasa Inggris demi menggapai cita-cita kuliah di luar negeri.
“O ya, Dika, pada peringatan Hari Sumpah Pemuda tahun ini kamu ikut lomba dan kegiatan apa saja?”
“Hemm, kegiatan, ya. Sebenarnya aku mau ikut banyak lomba sih. Aku mau ikut lomba pidato, tapi aku tak begitu paham bagaimana kisah dalam kongres pemuda. Aku ingin ikut lomba cerdas cermat, masih sama saja. Aku tidak percaya diri bahwa aku bisa menang.”
“Oalah, ternyata seperti itu. Ya sudahlah, paling tidak tahun depan kamu wajib ikut, ya. Masa dengan kegiatan penuh sejarah bagi negeri sendiri kita enggan untuk berpartisipasi. Katanya berjiwa nasionalisme, katanya cinta tanah air. Jangan-jangan kamu kemarin tidak ikut upacara peringatan Hari Sumpah Pemuda di sekolah?”
“Hehehe. Iya, aku bangun kesiangan waktu itu. Karena kukira bakal telat, terpaksa deh aku izin sakit.”
“Nah kan!”
Alan menghela napas lebih panjang dari biasanya. Ia pun semakin kesal dengan sikap dan tingkah Dika. Sebagai seorang pemuda Dika seharusnya ikut berpartisipasi terhadap kegiatan yang bertajuk Nasionalisme.
“O ya, Dika, kamu jadi bermalam di rumahku, kan? Nah, nanti sore kita makan jagung bakar sambil melihat swastamita di tebing belakang rumahku ya. Soalnya tadi aku sudah periksa prakiraan cuaca, sebentar lagi langit akan segera cerah.”
“Oke siap laksanakan! Eh, Alan, swastamita itu apa sih? Apa sama seperti singkatan LOL (Laughing Out Loud) atau UWU (Unhappy Without U)?”
“Lha, lha, lha. Kamu ini sebenarnya orang mana sih. Orang Indonesia, atau orang Inggris yang nyasar? Swastamita itu adalah pemandangan indah di saat matahari terbenam.”
“Oalah gitu. Kok aku baru tahu ya? Memangnya itu bahasa apa?”
“Aduh! Itu Bahasa Indonesia, abang ganteng!”
Baca Juga: 6 Contoh Cerpen Pendidikan, Berisi Motivasi dan Pesan Moral Baik
Demi Sumpah
Salim masih duduk membisu di teras. Mulutnya mengoarkan asap kretek dari tembakau sisa di ladang Pak Bangka. Rasa-rasanya subuh akan tiba beberapa jam lagi. Namun, tidak sekalipun kelopak matanya mau menutup.
Hatinya masih terasa membara. Dadanya terkoyak mengingat Pak Bangka yang mungkin masih menunggu Barito.
Biasanya malam-malam begini, pria bungkuk itu akan berkeliling di ladang. Tangannya pasti membawa lentera dengan sumbu yang hampir habis terbakar.
Orang sinting itu juga akan memanggil nama Barito berulang-ulang. Apalagi pada malam ini, saat angin subuh mulai bertiup membuat bulu kuduk Salim kembali merinding.
Cepat-cepat Salim menaikkan sarungnya ke bahu, lantas menyusul Pak Bangka ke ladang tembakau yang panen beberapa hari lalu.
“Salim… Salim…,” panggil Pak Bangka sambil menyorotkan lenteranya pada Salim yang tampak menggigil kedinginan. Dia menyusul pria ceking itu untuk kembali ke pematang. “Di mana Barito, Nak?” tanyanya sambil tersenyum.
“Begini, Pak,” Salim segera membuang sisa kereteknya, “Barito sudah pulang,” bisiknya lirih.
Mata Pak Bangka semakin berkilat-kilat. Senyumnya juga kian merekah.
“Ayo pulang dengan saya, Pak,” ajak Salim.
Pak Bangka mengikuti pria itu. Sedangkan Salim berjalan di depannya sambil menangis.
Hari ini Barito mati. Dia tidak dapat ke ladang untuk menjemput bapaknya yang pikun.
Pasalnya bocah tolol itu lebih memilih sumpahnya. Dia ikut berdemo dengan papan ‘Kami para Pemuda Bersatu untuk Kemerdekaan’.
Baca berita update lainnya dari Sonora.id di Google News.
Baca Juga: Cara Membuat Cerpen untuk Pemula, Hasilkan Cerita Menarik!