Kawanku satu ini sudah lama bersahabat denganku. Namanya ialah Wahyu. Seperti namanya, terkadang ia selalu melontarkan kata-kata yang penuh motivasi dan seperti wahyu.
Ketika aku gagal memasuki perguruan tinggi negeri ia merupakan orang yang selalu bisa membuatku tenang. Ketika aku ingin memasuki sekolah kepolisian, ialah yang meyakinkanku bahwa aku bisa menempuhnya. Kuncinya ialah tenang dan bersikap bodo amat terhadap omongan orang.
Dan di sinilah aku, di ruang detektif kepolisian kota. Tanpa ucapan Wahyu yang santai, aku bisa melewati cobaan hidup juga dengan santai. Bagaimana aku diperlonco waktu sekolah kepolisian, bagaimana aku menghadapi fitnah saat ada kenaikan pangkat, dan kejadian lain yang sudah kualami selama tiga puluh tahun ini.
Namun, hari ini, aku melihat dia tersungkur di sel tahanan karena tuduhan penggelapan uang. Aku sangat tak percaya, selama ini memang dia berbisnis. Tapi, tak mungkin rasanya Wahyu berbuat curang.
“Kau tak apa, Wahyu?” tanyaku di selnya.
“Santai saja, Yuda. Aku tak apa, karena aku tak bersalah apa-apa. Keadilan pasti ada di depan mataku. Karena aku punya kamu” ujarnya sambil tersneyum. Lagi-lagi ia bersikap tenang. Kelewat tenang.
3. Sahabat
Aku adalah seorang siswi di SMP Matahari. Aku ingin menceritakan sedikit tentang masa laluku bertemu dengan mereka yang kini menjadi sahabatku. Bermula dari gedung sekolah, aku bertemu dengan Violet yang saat itu sedang bermain bulu tangkis.
Ya, aku adalah penggemarnya. Awalnya, aku pertama kali melihatnya di kejuaraan bulu tangkis. Dengan semangatnya yang membara dan cara bermainnya yang bagus, ia berhasil menduduki peringkat satu tingkat nasional.
Ini membuatku termotivasi untuk bisa masuk ekskul bulu tangkis dan akhirnya aku mendaftarkan hari ini.
Awalnya aku tidak mengenalnya, namun aku beranikan diri untuk berkenalan karena kekagumanku dengan cara bermainnya yang memukau.
“Hai gue Yeni. Tadi gue sempet liat lo main bulu tangkis. Gila, keren banget sih.. Aku boleh dong diajarin,” kataku.
“Hai Yeni, gue Violet. Kalau begitu, ayo kita tanding. Nanti, lo juga akan lancar dan bisa main kayak gue,” sambutnya.
Akhirnya kami berduel. Rasanya mengasyikkan bermain bersamanya. Tak terasa waktu sudah sore, keringat kami bercucuran. Karena lelah kami istirahat sambil bersandar di tembok.
“Mainmu asyik juga. Lo gak terlalu kaku pasti udah pernah belajar bulu tangkis sebelumnya ya?,” tanya Violet.
“Iya, gue belajar dari ayah. Tapi, ya itu hanya tidak profesional. Gue baru hari ini masuk ekskul bulu tangkis,” jawabku dengan gugup berada di samping orang yang kukagumi.
“Wah… baru pertama kali masuk ekskul ya. Pantas saja aku tidak pernah melihatmu sebelumnya. Kalau gue nilai-nilai sih permainan lo sebagai pemula oke juga. Tinggal diasah aja. Kali aja lo bisa lebih dari gue,” tuturnya sambil tersenyum.
Mendengar pernyataan tersebut membuatku senang bukan kepalang. Aku semakin termotivasi untuk bisa sebanding dengannya. Kuputuskan untuk giat latihan. Tak pernah satu hari pun aku absen untuk datang latihan.
Aku dan Violet juga semakin dekat. Ia pada dasarnya adalah anak yang baik dan tidak pelit membagikan ilmunya. Beruntungnya aku menjadi penggemarnya dan aku tidak menyesal dulu memberanikan diri untuk berkenalan.
Kini, aku tidak hanya penggemar, tapi juga sahabat dari Violet. Kita juga saling support ketika mengikuti perlombaan kejuaraan.