Baca Juga: 15 Contoh Majas Alegori, dengan Pengertian yang Wajib Diketahui
4. Mukena untuk Ibu oleh Gita Mawadah
Bu Ima adalah seorang janda yang ditinggal mati Suaminya karena kecelakaan. Dia juga merupakan korban kecelakaan bersama Suaminya. Akibatnya, kaki kanan Bu Ima pincang satu. Untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, Bu Ima menjadi buruh cuci. Ia bersyukur memiliki seorang anak yang penurut, rajin, dan sangat berbakti padanya. Ira namanya. Ira seorang anak yang tidak pernah menuntut macam-macam pada Ibunya. Bagi Ira, bisa bersekolah saja sudah sangat bersyukur. Malam itu angin berhembus sangat kencang, sehingga masuk melalui celah-celah dinding rumah Bu Ima yang terbuat dari bambu. Ira yang tertidur pulas, terbangun dari tidurnya.
Angin keras dan dingin menyapu wajahnya. Ibunya yang biasa tidur disampingnya, sudah tidak ada. “Ibu di mana?” gumam Ira. Lalu Ira mencari ke luar kamar. Ira mendapati Ibunya sedang shalat tahajud. Selesai shalat, Ibunya terkejut, “Ira..., kenapa bangun, Nak? “Tidak Bu, Ira hanya kaget, kok Ibu tidak ada di tempat tidur.” “Ira tidur lagi ya? Ibu mau menyelesaikan cucian, “ jawab Ibunya. Bu Ima bergegas menuju sumur. Ia mulai menimba air, kemudian merendam pakaian satu demi satu. Ira berniat mengikuti, tetapi Ibunya melarang. “Sudahlah Ira, nanti kamu masuk angin. Lagi pula besok Ira kan sekolah. Nanti Ira kesiangan, “ ujar Ibunya. “Tapi Ira ingin membantu Ibu. Sudah larut malam Ibu kok masih bekerja. Ira tidak tega melihat Ibu,” jawab Ira dengan memelas. “Baiklah Ira, biar cucian ini Ibu rendam saja dulu. Besok pagi baru Ibu cuci. Sekarang kita tidur saja, ya. Ayo, kita tidur,” ajak Ibunya. Setelah Ira tertidur pulas, Bu Ima pun bergegas kembali ke sumur. Satu per satu pakaian yang ia rendam sedari tadi mulai ia sikat dan kucek.
Tak terasa adzan subuh pun berkumandang. Bersamaan dengan itu pekerjaan Bu Ima pun selesai. Lalu ia cepat-cepat menyalakan api untuk memasak sarapan buat Ira. Ira terbangun saat mencium bau masakan Ibunya. Ia cepat-cepat pergi ke dapur. “Wow..., bau tempe goreng, sedap sekali baunya, Bu?” ujar Ira. “Iya Ira, Alhamdulillah, kemarin Ibu dapat rejeki, jadi Ira bisa makan pakai tempe lagi,” jawab Ibu. “Pasti dong Bu, Ira selalu berdo’a untuk kita. Sekarang Ira mau shalat subuh dulu ya, Bu” jawab Ira. Ibu Ima tersenyum bahagia. Baginya Ira adalah hartanya yang tak ternilai harganya dibandingkan dengan kekayaan yang ada di dunia ini.
Dan ia sangat bersyukur sekali karena Ira anak yang salehah. Selesai shalat subuh, Ira pergi ke dapur. “Bu..., sekarang Ibu shalat subuh dulu, biar Ira yang melanjutkan memasak,” kata Ira pada Ibunya. “Baiklah Ira, tapi hati-hati ya Nak,” jawab Ibunya. Selesai masak, Ira menuju ke kamar. Ira sedih ketika melihat Ibunya menggosok-gosok kakinya dengan minyak serai yang dibuat Ibunya sendiri. Tetapi yang membuat Ira terpaku adalah mukena yang dikenakan Ibunya tampak lusuh sekali. Jahitannya yang mulai robek dan warna yang seharusnya putih, tampak seperti kuning kecoklatan, dan kusam.
“Ya Allah, selama ini mukena yang Ibu kenakan ternyata tidak layak lagi,” keluh Ira dalam hati. Merasa ada yang memperhatikan, Ibunya melihat ke luar kamar. “Ada apa Nak? Kamu kelihatan sedih. Apakah masakanmu sudah selesai dibuat?” tanya Ibunya. “Sudah, Bu. Masakannya sudah disiapkan di atas tikar. Bu, Ira mau tanya, apakah mukena Ibu hanya satu saja?” tanya Ira. Ibunya menghela nafas, “Mukena ini satu-satunya peninggalan dari Ayahmu. Sayang kalau tidak dipakai. Ibu tahu kalau mukena ini sudah lusuh, tapi kan masih bisa dipakai. Shalat itu yang penting niatnya, dan juga bersih dari najis. Lagi pula, kalau beli yang baru pasti harganya sangat mahal. Mana ada uangnya. Kita bisa makan saja sudah alhamdulillah. Sudahlah Ira, ini sudah siang, nanti Ira terlambat ke sekolah.” Sebenarnya Ira anak yang pintar. Ia selalu mendapat peringkat satu di sekolahnya, meskipun hanya seorang anak buruh cuci.
Ira sering mendapat cemoohan dan ejekan dari teman-temannya, tetapi ia tetap bangga karena dapat membuktikan pada semuanya, kalau ia berprestasi meskipun hidup dalam kekurangan. Sepulang sekolah, tiba-tiba hujan turun dengan deras. Ira pun berlari dan berteduh di emperan sebuah toko. Tanpa sengaja, ia melihat sebuah mukena yang dipajang di etalase. Ira mencoba untuk masuk, tetapi takut dimarahi karena bajunya sedikit basah dan sepatunya pun kotor. Akan tetapi pelayan toko di tempat ia berteduh sangat ramah. “Ada apa, Dik? Adik mau beli sesuatu? Mari ke sini, masuk saja, tidak apa-apa!” ajak pelayan toko tersebut. “Saya hanya melihat-lihat saja, Kak. Itu mukena yang di ujung sana, bagus sekali, Kak.
Tapi sayangnya saya tidak punya uang untuk membelinya,” jujur Ira berterus terang pada pelayan toko. “Oh itu murah Dik, hanya seratus ribu saja!” jawab pelayan toko itu. Sebenarnya mukena itu bentuknya sangat sederhana dan harganya terjangkau bagi sebagian orang. Tetapi bagi Ira, harga segitu sangatlah mahal. Apalagi penghasilan Ibunya satu hari hanya sepuluh sampai lima belas ribu rupiah. Hanya cukup untuk makan saja. Hujan pun reda, Ira berpamitan pada pelayan toko itu. Selama di perjalanan pulang, ia terus berpikir dari mana ia bisa mendapatkan uang.
Lalu ia mendapat akal, “oh iya, ini kan musim hujan. Aku punya payung di rumah. Walaupun jelek, tetapi masih bisa dipakai. Aku pakai aja buat ojek payung,” gumamnya dalam hati. Lalu sambil tersenyum ia pun berlari pulang. Sampai di rumah, Ira langsung menemui Ibunya. “Assalamualaikum, Ira pulang, Bu.” “Waalaikumsalam, Ira kok lama sekali, dari mana Nak. Bukankah pulang sekolahnya sudah dari tadi?” tanya Ibunya. “Ira tadi berteduh dulu Bu. O ya, tadi saat berteduh, Ira melihat mukena. Bagus deh Bu. Kelihatan sederhana, tetapi harganya mahal Bu, seratus ribu,” cerita Ira. ”Sudahlah Ira, tak usah kita pikirkan tentang mukena lagi. Sekarang Ira ganti baju lalu sholat dzuhur kemudian makan!” ujar Ibunya. Ira mengangguk kemudian ia pergi meninggalkan Ibunya.
Lebaran tinggal dua hari. Ira akhirnya memutuskan untuk memecah celengan, dan menghitung uang tabungannya. Alhamdulillah, ternyata jumlahnya sudah cukup untuk membeli mukena Ibunya. Dengan riang gembira ia pergi ke toko itu. Lama ia mengamati mukena-mukena yang dipajang dalam etalase. Tetapi harganya terlampau mahal. Ira hanya mau mukena putih sederhana. Mukena dengan harga sesuai dengan uang yang dibawanya. Ira menengok ke sana ke mari. Semua pelayan toko sedang sibuk semua. Ia membalikan badannya hendak keluar toko.
Tetapi tiba-tiba, “Dik...!” sebuah suara memanggilnya. “Kata teman Kakak, beberapa hari yang lalu Adik cari Kakak ya? Ada apa?” tanya pelayan toko itu. Ira menghela napas panjang. “Percuma saja Kak, mukenanya sudah laku,” jawab Ira. “Oh, itu masalahnya,” seru pelayan toko itu. Pelayan lalu meninggalkan Ira yang termangu. Tak lama kemudian pelayan toko itu memanggil Ira. “Dik, sini, ini mukena yang dulu kamu minta simpan, kan?” seru pelayan toko itu. Ira pun tersenyum gembira, dan dengan riang ia menghampiri. “Terima kasih ya Kak. Kakak baik sekali. Ini uangnya, Kak. Ibu saya pasti senang sekali,” kata Ira.
“Ya Dik, sama-sama. Hati-hati di jalan ya,” ujar pelayan toko itu sambil tersenyum. Dalam perjalanan pulang, tiba-tiba hujan turun dengan deras. Dengan kebingungan Ira mencari tempat berteduh. Akhirnya dapatlah ia tempat berteduh. Namun tanpa ia sadari ternyata di depannya terdapat genangan air. Tiba-tiba, “crat...,” air genangan itu dilewati mobil dan menyiprat ke tubuhnya, bahkan mengotori plastik bungkus mukena. Dengan cepat ia membersihkan plastik itu dari cipratan air kotor. Tetapi tanpa ia sadari, plastiknya terbuka dan mukena miliknya terjatuh ke tanah yang becek.
Mukena yang tadinya putih kini menjadi kotor. Ira sedih dan menangis. Sesampainya di rumah, Ibunya terkejut. “Ira, ada apa Nak? Kenapa menangis dan kenapa badanmu kotor semua? Dan itu..., mukena milik siapa?” tanya Ibunya bingung. “Maafkan Ira Bu, selama ini Ira bekerja ojek payung agar Ira bisa membelikan Ibu mukena. Tapi mukena ini sekarang kotor karena jatuh di tanah yang becek,” jawab Ira sambil menangis tersedu-sedu. Bu Ima memeluk Ira dengan penuh haru. Ia tak menyangka anaknya begitu perhatian kepada dirinya. “Ira tidak usah sedih, noda ini bisa hilang kok. Sekarang Ira mandi dulu, terus makan, setelah itu kita cuci sama-sama mukena ini,” ajak Bu Ima. Ira mengangguk lalu pergi menuju kamar mandi. Hari raya pun tiba, Ira dan Bu Ima bergegas pergi ke lapangan untuk melaksanakan shalat Idul Fitri. Ira pun tersenyum puas karena mukena yang dipakai Ibu sudah kembali putih bersih. Suci seperti hari raya ini.
5. Motor Butut Kesayangan Eyang
“Eyang..., Eyang...!” Aku berteriak kegirangan, saat kulihat dari ujung gang, motor Eyang terparkir manis di depan rumahku. Aku sangat senang Eyang ke rumah, pasti aku dibawakan buah juwet kesukaanku. Rumah Eyang di kampung, halamannya luas, ditanami beragam buah dan bunga. Salah satu buah kesukaanku adalah juwet. Warnanya hitam mirip buah anggur. Rasanya manis dan sedikit asam. Eyang kakung dan Eyang putriku adalah seorang guru. Sudah dua tahun ini Eyang kakung pensiun, makanya beliau sering berkunjung ke rumahku.
Aku sudah berpesan pada Eyang, kalau ke rumah untuk selalu membawakanku buah juwet, aku pasti sangat senang. Tapi aku paling sebel dengan motor bututnya. Selain jelek, suaranya tidak enak didengar. Langkahku semakin kupercepat agar segera bisa bertemu Eyang dan tentu untuk segera menikmati buah kesukaanku. Siang-siang sepulang sekolah begini, menikmati buah juwet adalah kegemaranku sejak kecil. “Assalamu’alaikum...!” Sengaja aku keraskan suaraku agar Eyang kaget, namun tidak ada jawaban. Aku bergegas ke dapur, mencari buah juwet ke seluruh penjuru dapur. Tidak ada buah juwet. Aku kecewa. “Wa’alaikum salam,” sahut Eyang tiba-tiba dari belakang rumah. “Mana buah juwet-nya, Eyang!” tanyaku sambil cemberut. “Kok tanya buah juwet dulu, ndak tanya kabar Eyang, atau kapan Eyang datang?”
“Iya deh, bagaimana kabar Eyang, kapan Eyang datang?” “Baik, Eyang datang sebelum Mama dan Papa kamu ke kantor!” jawab Eyang sambil menghabiskan kopi dingin yang mungkin dibuat Mama tadi pagi. “Teruuus, mana buah juwet-nya?” tanyaku penasaran. “Ndak bawa...,” jawab Eyang sekenanya. “Tapi kamu jangan marah, jangan cemberut dan jangan kecewa, karena Eyang ke sini untuk menjemput kamu. Mulai besok kan kamu libur sekolah, Eyang akan ajak kamu untuk panen juwet di rumah Eyang. Selama satu minggu di rumah Eyang, kamu bisa setiap hari makan buah juwet!” “Asyiiik..., liburan di rumah Eyang!” sahut Mama dan Papa dari balik pintu. Saking sebelnya sampai-sampai aku tidak dengar kapan mereka datang. “Tapi ingat, makan buah juwet-nya jangan kebanyakan, nanti kamu bisa diare!!!” goda Papa sambil menaruh tas di atas meja.
“Eyang sangat sayang pada motor ini. Selain kenangan-kenangan yang sudah Eyang ceritakan kepadamu, motor itu adalah hadiah almarhum Ayah Eyang. Hadiah karena Eyang lulus SMA dengan nilai tertinggi. Dengan motor inilah Eyang mewujudkan cita-cita Eyang untuk menjadi guru,” Eyang menghentikan ceritanya. Ia memandang ke kejauhan, “Dulu motor itu Eyang gunakan untuk ojek. Hasilnya untuk biaya sekolah Eyang di Perguruan Tinggi. Hingga lulus dan kemudian Eyang mengajar. Dengan motor itu Eyang pergi ke daerah-daerah terpencil yang tidak bisa dilalui mobil,” jelas Eyang panjang lebar. “Nah Azka, sekarang kamu sudah tahu. Bahwa selain kenangannya, motor ini juga peninggalan Ayah Eyang yang harus Eyang jaga.
”Sudah lama aku dan Eyang berada di air terjun. Aku terus mendengarkan cerita Eyang tentang sejarah motor bututnya. Setelah Eyang puas dengan ceritanya, kami beranjak pulang. Sepanjang perjalanan pulang, kami hanya terdiam dengan lamunan masing-masing. Sampai di rumah aku mandi, shalat, dan makan malam. Kemudian membaringkan tubuh di kursi tua, di depan TV. Jalan-jalan yang seru membuatku lelah. Hingga tak terasa aku terlelap sampai keesokan harinya.
Aku terperanjat di pagi buta. Suara ribut tante, membangunkan aku dari mimpi. Aku berusaha mencari tahu apa yang diributkan. Aku cari-cari Eyang di kamarnya, tapi sudah tidak ada. Aku menuju dapur berharap ada Eyang putri, namun nihil. “Mungkin Bapak lupa tidak mengunci pagar semalam!” suara tante terdengar di samping rumah. Suaranya cukup keras. Aku bergegas mencari mereka. Rupanya semua sudah ada di sana. Eyang kakung tertegun di depan garasi. Sambil menahan penasaran, aku hampiri Eyang. “Ada apa Eyang?” tanyaku sangat pelan. “Motor kesayangan Eyang dicuri orang.”
Baca Juga: Cerpen Sumpah Pemuda, Kobarkan Kembali Jiwa Nasionalisme!
6. Mengucap Syukur
Rasa-rasanya diri ini telah merasa cukup sering berterima kasih untuk segala nikmat yang diberikan sang maha pemilik semesta. Ibuku selalu mengajariku tentang pentingnya insan yang sering bersyukur.
“Nak, meskipun hidup kita sedang tidak baik-baik saja, selalu sisipkan rasa syukur dalam hidupmu. Karena orang yang sering bersyukur kelak akan selalu diberikan nikmat yang tiada tara” kata ibu waktu itu.
Namun, kerap kali aku merasakan bahwa setiap kali mengucap rasa syukur selalu bermuara pada hampa.
“Mana bahagia yang katanya singgah setelah syukur terucap?” gumamku dalam hati.
Hingga pada akhirnya aku kembali menemui ibu, maha guruku di bumi ini. Dia kembali menasihatiku sehingga aku tersadar. Bahwa, selama ini aku lebih sering mengucap syukur, alih-alih mengecapnya. Seharusnya aku tau bahwa syukur bukan sekedar diucap, tetapi jauh melibatkan perasaan.
“Karena syukur adalah perihal hati, maka mengecapnya harus dengan nurani” ujar ibuku dengan teh hangat di atas meja.
“Lalu, apa yang harus aku lakukan agar syukur itu bisa bermakna?” tanyaku.
“Syukur butuh dimaknai sedalam-dalamnya agar syukur tak hanya sebuah kata, melainkan bentuk ungkapan pujian dan lemahnya kita tanpa sang pencipta. Dengan begitu, bahagia akan datang menghampiri kita, nak. Berlipat-lipat ganda.” Jawab ibuku sambil mengusap kepalaku.
7. Jannah dan Kalia
Detik jam terus berlanjut maju. Dentuman jantung terus berdenyut kelu. Jannah membisu di tengah kuburan seorang wanita muda yang baru saja ia temui minggu lalu. Desiran angin masih menerpa rambut sebahunya, sementara matanya hanya terpaku kepada nisan bertuliskan ‘Kalia Lestari’
Jannah mengenal Kalia karena keramahannya. Walaupun sebenarnya, ia hanya seorang kasir di salah satu minimarket di kota. Kalia, gadis ningrat tersebut memasuki minimarket lalu mengambil beberapa barang. Dan ketika Kalia sudah mengambil makanan ringan, gadis itu pun sangat senang dengan sapaannya yang dibalas Kalia.
Biasanya pelanggan lain tak memedulikannya. Tapi, wanita terkenal dan tercantik di kotanya, membalas sapaan seorang kasir dengan ramah. Ia pun menawarkan roti yang dipajang di meja kasir kepada Kalia. Ia sangat senang dengan jawaban Kalia.
“Boleh deh Mba Jannah, aku beli dua rotinya” ujar Kalia tersebut dan berhasil membuat Jannah terpaku dan senang, itulah kali pertamanya pula ada pelanggan yang memanggil namanya.
Tiba-tiba komplotan perampok datang ke minimarket tersebut. Sontak dua orang berbadan kekar menghadang Jannah dan Kalia. Pegawai lain disekap oleh perampok sehingga Jannah harus merelakan uang yang ada di kasir.
Tapi, Kalia menghadang. Wanita itu melindungi Jannah. Naas, perampok tersebut berbakat dan berhasil menusuk perut Kalia terlebih dahulu. Darah menyucur deras, Kalia tak sadarkan diri. Sejak kejadian itu, Jannah tak masuk kerja apalagi sampai ia mendengar kabar kematian Kalia.
Hingga saat ini, ia masih terpaku di kuburan Kalia yang penuh dengan bunga. Bunga-bunga kebaikan yang selalu Kalia tebar ketika di dunia.
Baca Juga: 8 Contoh Cerpen Remaja, tentang Motivasi Hidup hingga Asmara
8. Belum Tentu
Arisan ibu-ibu menjadi agenda rutin tiap minggu. Ada Bu Sondakh yang suaminya pegawai kelurahan, ada Bu Endang yang suaminya polisi pangkat dua, ada pula Bu Maria yang suaminya ialah seorang hakim pemerintah kota. Sedangkan aku, hanya ibu rumah tangga dari seorang suami pemilik studio foto.
Banyak dari ibu-ibu tersebut berfoto ria di studio suamiku. Memamerkan kemesraan keluarga melalui bingkai foto. Yang sebenarnya memang mereka hanya memamerkan keluarga mereka di hadapanku. Walaupun begitu, aku tetap membantu mereka apabila mereka membutuhkan pertolongan.
Suatu hari, studio foto suamiku kebakaran. Semuanya hangus terbakar. Lampu studio, peralatan foto, kamera SLR, yang bisa diselamatkan hanyalah kamara digital suami karena kamera tersebut berada di rumah. Alhasil, keluargaku mengalami kemerosotan ekonomi.
Tak ada satupun dari ibu-ibu arisan yang menengok keluargaku. Jangankan menengok, mengucapkan simpati saja tidak. Dari situlah aku memahami, bahwa belum tentu semua orang bisa mengulurkan tangannya untuk kita, walaupun kita sudah bersusah payah mengulurkan tangan untuk mereka.
Aku dan suamiku bangkit kembali. Dan studio foto pun menjadi ramai kembali bahkan dibangun menjadi lebih besar. Kulihat ibu-ibu arisan mulai mengunjugiku , lalu mengucapkan selamat. Aku hanya tersenyum sinis dan keluar dari arisan ibu-ibu tersebut.
9. Percakapan Bis
Hidupku hancur hanya dalam beberapa menit. Aku di PHK oleh perusahaan tempatku bekerja karena perusahaan tersebut bangkrut. Pengumuman itu sangat mendadak dan membuatku sangat lemas di tempat. Segera kuterima pesagon dan pergi dari kantor itu. Kantor periklanan yang menjadi tumpuan hidupku.
Di perjalanan pulang menuju kosan, handphone jadulku bergetar. Setelah kulihat, ternyata sms dari pamanku. Isi pesan itu ialah pemberitahuan bahwa ibuku mendadak meninggal dunia. Aku semakin lemas dan hampir tubuhku jatuh ke jalan jika tidak ada pohon untuk bersandar. Hidupku hari ini sangat dikagetkan dengan hal-hal yang mendadak.
Segera aku mencari tiket pulang ke Banyuwangi. Untungnya aku mendapatkan tiket pulang yang hanya tersisa satu. Aku mendapatkan kursi di pinggir jendela. Kulayangkan pandangan ke tepi jalan. Mobil-mobil bergerak dengan cepat, serupa hidupku yang bergerak dengan cepat, tapi sakitnya teraasa sangat menyayat.
Tiba-tiba lamunanku berhenti, ketika seseorang disampingku menawari roti lapis. Seorang kakek paruh baya itu tersenyum tulus kepadaku.
“Semoga kamu diselimuti kabar-kabar baik, Le. Dan kabar baik bisa tumbuh dari kabar buruk”
Aku pun tercenung mendengar kata-katanya, sangat sederhana dan bikin hatiku meluluh. Aku pun tersenyum dan menerima roti lapis tersebut. Di sisa perjalanan, aku berbincang dengan kakek tersebut.
Kakek Wahyu mengajarkanku untuk menerima segala hal yang terjadi dan melanjutkan hidup. Karena itulah satu-satunya alasan bertahan di dunia yang fana ini.
Baca berita update lainnya dari Sonora.id di Google News.
Baca Juga: 10 Contoh Cerpen Motivasi Singkat, Kisah Penuh Pesan Moral