Mungkin kita beranggapan bahwa orang tersebut jarang sekali mendengarkan musik sejak kecil, tetapi temuan Allen justru menemukan hal sebaliknya: orang tersebut pernah belajar musik saat masih anak-anak.
Penelitian itu hendak mengatakan, amusia tidak berhubungan dengan latar belakang pendidikan seseorang dan tidak berkaitan dengan intensitas persentuhan seseorang dengan musik.
Nyaris seratus tahun kemudian, penelitian Geshwind tahun 1984 menunjukkan bahwa terdapat orang yang mampu berbicara tiga bahasa sekaligus secara lancar, rajin diperdengarkan musik oleh orang tuanya sejak kecil, dan bahkan sempat mengambil les piano, tetap bisa mengalami tuna nada.
Dengan demikian, apa sebenarnya masalah dari amusia? Sejauh ini berbagai penelitian menyebutkan bahwa masalahnya ada pada otak.
Sebagai contoh, sebuah penelitian dari tahun 2009 oleh sekelompok peneliti di Boston, Amerika Serikat, menemukan bahwa pada orang tuna nada, terdapat adanya koneksi yang lebih sedikit antara dua area otak yang menganalisis dan memproduksi suara atau bunyi.
Baca Juga: 10 Contoh Lagu Wajib Nasional Bertangga Nada Minor dan Penciptanya
Lantas, apakah tuna nada dapat disembuhkan?
Sejauh ini, belum ada penelitian yang menunjukkan bahwa tuna nada bisa disembuhkan secara menyeluruh.
Latihan kuping (ear-training) yang intens bisa saja memperbaikinya secara perlahan. Tidak sedikit orang-orang di media terutama TikTok dan Youtube yang bernyanyi dengan konten tuna nada.
Alih-alih menyenangkan, konten dari orang-orang dengan tuna nada justru bisa dirayakan di dunia permedsosan.
Adapun orang seperti Bob Dylan, yang seringkali dituding “tidak bisa menyanyi”, kita tetap tidak bisa menyebutnya sebagai tuna nada.
Bob Dylan tetap melek nada, hanya saja, mungkin bagi sebagian orang, suaranya dinilai tidak terlalu istimewa.
Media sosial adalah etalase yang bisa menampilkan hal-hal yang tidak bisa kita temukan di era media massa.
“Lagu jelek”, “penyanyi jelek”, adalah konsumsi sehari-hari warganet yang mungkin sudah eneg dengan hal-hal yang serba bagus dan indah.
Sekarang tinggal kita renungkan: apakah mengonsumsi mereka dengan menertawakannya adalah sebentuk diskriminasi?
Atau justru sebentuk penerapan prinsip keadilan dalam rangka mengimbangi “penyanyi bagus”? Pertanyaan tersebut silakan dijawab oleh masing-masing pembaca.