Sonora.ID - Media sosial adalah tempat orang bisa menguggah konten apapun untuk dikonsumsi oleh masyarakat.
Meski demikian, banyak konten yang mengganggu kenyamanan pandangan, sadis, dan bikin risih. Hal tersebut tentu bisa dilaporkan ramai-ramai untuk kemudian dihapus dari media sosial
Kenapa yang kerap dilaporkan dan diturunkan itu hanya hal-hal yang mengganggu pandangan mata? Bagaimana dengan konten yang mengganggu pendengaran alias bikin telinga tidak nyaman?
Rasanya jarang orang melakukan report ramai-ramai hanya karena mereka tidak suka pada aspek audio dari suatu konten.
Alasannya sederhana, kalau tidak suka dengan konten yang disajikan tinggal di-skip kontennya, atau di-mute saja audionya.
Baca Juga: Biar Gak Monoton, Ini Cara Membuat Nada Dering WA Sebut Nama Sendiri!
Menariknya, alasan yang sama belum tentu bisa diterapkan pada konten visual (hal yang mengganggu mata kadangkala tidak hanya di-skip, tapi juga sekaligus di-report).
Salah satu contoh konten yang mengganggu pendengaran adalah orang menyanyi tapi dia tuna nada (tone-deaf).
Tuna nada berbeda dengan fals. Sebelum masuk pada urusan tuna nada, kita bahas sedikit tentang fals terlebih dahulu.
Orang bernyanyi atau bermain musik dengan fals artinya ia tidak bisa mencapai pitch tertentu dalam suatu nada.
Jika diibaratkan suatu nada ada pada garis lurus, cara nyanyi/main musik orang tersebut tidak sesuai pada garis lurus itu, entah lebih tinggi atau lebih rendah.
Itu sebabnya, fals nada sering disebut juga sebagai fals vertikal. Selain fals vertikal, ada juga fals horizontal, atau biasa disebut juga dengan fals ketukan.
Pada kasus semacam ini, seseorang kerap melakukan kesalahan dalam mengenali ketukan. Salah satunya kita temukan pada orang yang jika menyanyi atau main musik, sering “salah masuk”.
Dia yang tuna nada bisa bernyanyi hingga selesai, tanpa merasa ada satupun kekurangan, tetapi orang-orang yang mendengarkannya, terutama yang tidak tuna nada, akan sangat terganggu.
Ibaratnya, musiknya main di nada dasar A, si penyanyi main di nada dasar B, dan nyanyiannya ini bisa tidak fals nada dan tidak fals ketukan. Hanya saja, itu tadi, tidak nyambung.
Baca Juga: Materi Seni Budaya: Apa Perbedaan Tangga Nada Pelog dan Slendro?
Tuna nada, atau amusia, tone-deafness, tune-deafness, dysmelodia, dysmusia, adalah kondisi seseorang yang tidak bisa mengenali nada, ritmik, atau hal-hal yang berhubungan dengan bebunyian, khususnya musik.
Pendengarannya sama sekali tidak bermasalah, tetapi orang dengan tuna nada mengalami masalah untuk mempersepsikan nada di otak mereka.
Mengapa bisa demikian?
Penelitian awal-awal tentang tuna nada dilakukan oleh Grant Allen tahun 1878. Ia meneliti orang berusia 30 tahun dengan level pendidikan yang tinggi, tetapi mengalami tuna nada dengan tidak mampu mengenali melodi-melodi yang familiar, tidak mampu membedakan nada mana yang lebih tinggi dan lebih rendah pada dua nada yang berurutan, termasuk tidak bisa menyanyi sesuai nada dasar yang ada pada iringan.
Mungkin kita beranggapan bahwa orang tersebut jarang sekali mendengarkan musik sejak kecil, tetapi temuan Allen justru menemukan hal sebaliknya: orang tersebut pernah belajar musik saat masih anak-anak.
Penelitian itu hendak mengatakan, amusia tidak berhubungan dengan latar belakang pendidikan seseorang dan tidak berkaitan dengan intensitas persentuhan seseorang dengan musik.
Nyaris seratus tahun kemudian, penelitian Geshwind tahun 1984 menunjukkan bahwa terdapat orang yang mampu berbicara tiga bahasa sekaligus secara lancar, rajin diperdengarkan musik oleh orang tuanya sejak kecil, dan bahkan sempat mengambil les piano, tetap bisa mengalami tuna nada.
Dengan demikian, apa sebenarnya masalah dari amusia? Sejauh ini berbagai penelitian menyebutkan bahwa masalahnya ada pada otak.
Sebagai contoh, sebuah penelitian dari tahun 2009 oleh sekelompok peneliti di Boston, Amerika Serikat, menemukan bahwa pada orang tuna nada, terdapat adanya koneksi yang lebih sedikit antara dua area otak yang menganalisis dan memproduksi suara atau bunyi.
Baca Juga: 10 Contoh Lagu Wajib Nasional Bertangga Nada Minor dan Penciptanya
Lantas, apakah tuna nada dapat disembuhkan?
Sejauh ini, belum ada penelitian yang menunjukkan bahwa tuna nada bisa disembuhkan secara menyeluruh.
Latihan kuping (ear-training) yang intens bisa saja memperbaikinya secara perlahan. Tidak sedikit orang-orang di media terutama TikTok dan Youtube yang bernyanyi dengan konten tuna nada.
Alih-alih menyenangkan, konten dari orang-orang dengan tuna nada justru bisa dirayakan di dunia permedsosan.
Adapun orang seperti Bob Dylan, yang seringkali dituding “tidak bisa menyanyi”, kita tetap tidak bisa menyebutnya sebagai tuna nada.
Bob Dylan tetap melek nada, hanya saja, mungkin bagi sebagian orang, suaranya dinilai tidak terlalu istimewa.
Media sosial adalah etalase yang bisa menampilkan hal-hal yang tidak bisa kita temukan di era media massa.
“Lagu jelek”, “penyanyi jelek”, adalah konsumsi sehari-hari warganet yang mungkin sudah eneg dengan hal-hal yang serba bagus dan indah.
Sekarang tinggal kita renungkan: apakah mengonsumsi mereka dengan menertawakannya adalah sebentuk diskriminasi?
Atau justru sebentuk penerapan prinsip keadilan dalam rangka mengimbangi “penyanyi bagus”? Pertanyaan tersebut silakan dijawab oleh masing-masing pembaca.