Pengembangan obat baru adalah proyek yang kompleks dan mahal.
Dalam banyak kasus, divisi penelitian dalam perusahaan farmasi yang mengembangkan obat menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mempelajari aspek biologi dan biokimia penyakit yang bersangkutan.
Setelah aspek biologi dari sebuah penyakit dipahami dan pengujian dilakukan, ahli kimia obat mulai menyiapkan inhibitor kimia potensial.
Dari hasil awal dalam sistem biologis, ahli kimia kemudian menyiapkan senyawa timbal yang baru, dan diharapkan dapat ditingkatkan.
Kerja sama tim antara ahli kimia dan ahli biologi sering membutuhkan waktu bertahun-tahun sebelum akhirnya siap untuk evaluasi yang lebih signifikan.
Pada titik ini, calon obat dievaluasi untuk toksisitas, kemanjuran, dan sifat lainnya dalam model hewan (tikus atau anjing, misalnya).
Proses evaluasi ini bisa berlangsung bertahun-tahun. Dengan asumsi bahwa calon obat berhasil dalam tes ini, kemudian masuk ke Fase 1, Fase 2, dan akhirnya, uji klinis Fase 3 pada manusia.
Food Drugs and Administration menetapkan jumlah pasien yang diperlukan untuk setiap fase uji klinis sesuai dengan pedoman berdasarkan penyakit yang sedang dirawat.
Misalnya, kandidat obat untuk penyakit yang hanya menyerang 10.000 orang akan memiliki jumlah pasien yang lebih sedikit dalam uji cobanya, daripada obat potensial untuk melawan penyakit yang menimpa jutaan orang seperti tekanan darah tinggi.
Di akhir uji klinis, perusahaan mempresentasikan datanya ke Food Drugs and Administration, yang kemudian memutuskan apakah obat tersebut akan dijual ke publik atau tidak.