Selanjutnya, perkembangan emo di Indonesia semakin masif. Aneka gig yang diisi band-band emo semakin banyak. Hal ini juga cukup dipengaruhi oleh band-band yang tengah digemari di Barat sana.
Mulai dari Finch, Saosin, A Static lullaby, The Used, Underoath, Matchbook Romance, hingga yang mainstream seperti My chemical Romance mempunyai penggemarnya sendiri.
Cepat berkembangnya emo saat itu, berbanding lurus pula dengan yang nggak suka dengan mereka. Selalu terlihat fashionable dengan poni belah pinggir yang rapi jadi tampilan anak emo saat itu.
Untuk ukuran musik yang hadir dari skena underground, Emo dianggap jadi begitu "banci" karena kebanyakan dandan. Dari skena yang sama namun berbeda genre, anak-anak Emo mulai diuji mentalnya.
"Ah, band musiman, paling bertahan dua tahun aja. Band apa ini, nggak ada skillnya, paling susah maju! Ada juga kaya anak street punk gitu, acungin jari tengah pas kami lagi manggung, tapi ikut nyanyi, hapal liriknya, Ya semacam itulah, hahaha...," kata Athink, perihal nyinyiran yang datang ketika awal terbentuknya Alone At Last.
Selain cerita dari Athink dan Alone At Last, Josaphat juga bercerita tentang momen KILLMS mulai menanjak karirnya.
Ketika mereka mulai sering tampil di pensi-pensi dan sudah menjadi band yang mendapat fee, KILLMS pernah kembali mendapat undangan untuk tampil di gig, tapi ada aja sambutan yang nggak mengenakan buat kehadiran KILLMS ke acara komunitas itu.
Sekelompok orang yang nggak suka malah melempar botol ke arah panggung.
Baca Juga: Dengar Remix Lagu YOKYAKARTA versi Sara Fajira di penghujung tahun 2022
"Saat itu manajemen memutuskan untuk menghentikan panggung. Ya, ada di acara yang salah aja si, acara yang mengkotak-kotakan genre. Kalau saling menghargai harusnya ya santai aja, toh kalau nggak mau dengar musik kami kan bisa keluar venue dengerin aja dari HP pakai earphone lagu dari band favorit mereka," kata Josaphat. Walaupun cukup mendapat hantaman kiri kanan, toh, band-band emo ini masih bisa berjaya. Menurut Athink, dirinya bersama Alone At Last mencapai puncak kejayaan dari periode 2004 hingga 2008. Tiap akhir pekan selalu ada jadwal manggung untuk mereka.
"Saat itu, band-band yang tampil itu bisa dibayar atau nggak, tergantung EO-nya. Tapi, yang pasti band yang tampil nggak disuruh bayar untuk kolektif sepertinya. Adanya sistem kolektif itu baru ada di 2008 ke atas kayanya deh," kata Aldy, perihal jadwal manggung dan acara-acara untuk band emo saat itu suksesan band-band emo di awal hingga pertngahan 2000-an lat laun mulai meredup. Entah karena telah sampai di titik jenuh atau ada penyabb lain, beberapa band emo mulai lama nggak terdengar namanya. Masih menurut Aldy, biasanya, band-band itu menghilang karena para personilnya mulai bekerja kantoran, atau mempunyai usaha, sehingga nggak ada lagi waktu untuk nge-band, yang bertahan hanyalah band-band yang telah fokus untuk menjadikan band sebagai pekerjaan, dan sisanya adalah mereka yang masih mau menyisihkan waktu mereka untuk tetap bermusik.
Belum lagi ditambah adanya missing link dari generasi emo awal 2000-an hingga diakhir 2000- an. Saat itu, gig-gig yang banyak bermunculan mulai menerapkan sistem kolektif berbayar. Tanpa harus ikut audisi ataupun merilis album bahkan lagu, band yang mau membayar biaya pendaftaran bisa memilih langsung jadwal tampil mereka. "Sebenarnya nggak bisa disalahin juga kalau konsepnya memang cari untung. Tapi kalau satu acara band yang tampil sampai 25, yang nonton bakal capek duluan, kuping pengeng pastinya. Terus band yang main paling tampil bawain 3 lagu, makin susah ngatur waktu, band yang main juga durasinya dipotong, band yang nunggu lama capek duluan sebelum manggung," kata Aldy.
The Revival
Usaha untuk menumbuhkan skena emo lokal akhirnya mulai digeber per pertengahan 2010-an. Mungkin, karena di luar sana emo mulai naik lagi juga. Akhirnya bermunculan pula band-band emo baru di negeri ini: Eleventwelfth, LKTDOV, Senja Dalam Prosa, dan lainnya. Bahkan Synchronize Fest 2019 ngeboyong sejumlah band emo buat main. Band-band tersebut adalah Jakarta Flames, Killed By Butterfly, Alone At Last, Too Late To Notice, dan Majesty. Ada pula The Side Project, Speak Up, Seems Like Yesterday, Killing Me Reunion, dan Dieunderdogg - Emo Revival. Dengan line-up ini, Synchronize Fest mengajak para penonton untuk bernostalgia dengan lagu-lagu hits dari para penampil yang berjaya di tahun 2000-an. "Kalau dulu, band-band di era itu bisa main di Pensi, (termasuk awal Pee Wee Gaskins terbentuk) karena anak-anak sekolah yang jadi panitia pensi juga nonton gig dan akhirnya ngundang band-band dari skena untuk tampil di Pensi mereka," tambah Dochi, yang dulu tercatat sebagai gitaris The Side Project. Selain Dochi, Josaphat juga berpendapat soal usaha mereka untuk membangkitkan skena emo lagi. Menurutnya, semua jenis musik ada penikmatnya, dari pada terlalu sibuk menoleh ke kiri-kanan, lebih baik secepatnya memastikan diri sendiri seperti apa dan berkarya. Biarkan pendengar yang memilih. "Mestinya sih bisa berkembang itu berbanding lurus dengan peminatnya. Asalkan ada wadah yang bagus, pasti bisa berkembang," tambah Aldy.