“Hal ini sangat menarik untuk kita soroti dan diskusikan nantinya, selain delik pidana terorisme dan delik kejahatan terhadap ideologi negara. Semoga kontribusi kita ini dapat menjaga negara tercinta Republik Indonesia, ” jelas Syauqillah.
Mengawali sesi paparan, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Prof. Harkristuti Harkrisnowo, yang hadir secara online mengatakan bahwa selain demokratisasi, aktualisasi, modernisasi, dan harmonisasi, salah satu misi utama lain yang ada di dalam KUHP Baru adalah rekodifikasi terbuka dan terbatas.
Ia mengungkapkan jika rekodifikasi terbuka dan terbatas merupakan satu prinsip yang diterjemahkan di dalam Pasal 187 KUHP Baru, yang menggantikan Pasal 103 di KUHP lama. Bahwa, Buku Kesatu KUHP juga berlaku bagi semua tindak pidana berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di luar KUHP, kecuali jika ditentukan lain menurut Undang-Undang.
“Mengapa ini perlu sekali kami rumuskan? Karena, sampai dengan detik ini kita juga masih punya berbagai Undang-Undang yang tidak memiliki pola yang sama, baik dalam rumusan kriminalisasi, jenis pidana, jenis tindakan, dan sanksinya itu semua sangat beragam. Ini tentu saja menimbulkan kesulitan di dalam pembicaraan mengenai hukum pidana di Indonesia,” jelasnya.
Ia juga mengatakan bahwa prinsip rekodifikasi terbuka dan terbatas hanya berlaku untuk lima Tindak Pidana Khusus, yakni Tindak Pidana Berat terhadap HAM, Tindak Pidana Terorisme, Tindak Pidana Korupsi, Tindak Pidana Pencucian Uang, dan Tindak Pidana Narkotika.
“Kelima tindak pidana ini dipilih karena ada beberapa kriteria, yaitu dampak viktimasinya besar, bersifat transnasional terorganisasi. Lalu, adanya ketentuan acara pidana yang bersifat khusus yang berbeda dengan ketentuan yang diatur dalam KUHP, serta sering menyimpang dari asas-asas umum hukum yang materiil yang saat ini ada di Buku I KUHP,” paparnya.
Ia juga menambahkan tentang kriteria lain, yakni adanya lembaga pendukung penegakan hukum yang bersifat dan memiliki kewenangan khusus, seperti KPK, BNN, dan Komnas HAM, yang kesemuanya adalah lembaga-lembaga yang diberi tugas khusus untuk menangani tindak pidana tertentu.
“Juga yang didukung oleh konvensi nasional baik yang sudah diratifikasi maupun yang belum, dan yang penting adalah tindak pidana tersebut merupakan perbuatan yang dianggap sangat jahat dan sangat dikutuk oleh masyarakat. Inilah yang menjadi landasan kenapa tentang terorisme masuk ke dalam KUHP Baru,” jelasnya.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Satuan Tugas Wilayah Bengkulu Datasemen Khusus 88 Anti Teror, Imam Subandi, mengatakan bahwa yang paling perlu dicermati setelah tiga tahun efektif KUHP Baru berlaku salah satunya ada penggantian tuduhan pasal atau sanggahan pasal.
“Mudah-mudahan terjadi kesamaan, makanya sosialisasi seperti ini yang digagas oleh Kemenkominfo bagus sekali, supaya nanti audiens terlibat di dalam criminal justice system. Karena nanti polisi kerja di depan, disampaikan kepada penuntut dan penuntut menyampaikan kepada hakim. Kalau semua punya perspektif dan interpretasi terhadap maksud Undang-Undang yang sama, akan sangat mudah,” jelasnya.