Ia mencontohkan dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2018 yang memberikan keleluasaan bagi polisi untuk fokus pada scientific investigation model, agar prosesnya tidak menzalimi tetapi mendudukkan pada perkara yang semestinya. Karena menurutnya, yang dikriminalisasi bukan pangkat, jabatan, atau yang nampak dari luar, tetapi dari unsur perbuatannya.
Imam menyebutkan bahwa intinya, Undang-Undang No. 5 Tahun 2018 menjadi lebih efektif bagi penegakan hukum karena polisi khususnya Densus 88 tidak harus menunggu sampai perbuatan teror terjadi.
“Terkesan menurut para pejuang HAM tidak adil karena belum berbuat sudah dikriminalisasi, padahal dampak sebenarnya without waiting until the casualty, jangan menunggu sampai terjadinya korban berdarah-darah, bom meledak, dan mati. Masyarakat yang mati, pelakunya bahkan yang mati, atau mungkin polisinya yang mati baru hukum bisa ditegakkan,” tegasnya.
Sementara itu, Direktur Hukum Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Fithriadi Muslim, mengatakan bahwa Pasal 622 ayat 1 Huruf BB KUHP Baru, menyatakan Pasal 4 Undang-Undang No. 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (TPPT) Dicabut dan Dinyatakan Tidak Berlaku. Hal ini berarti kriminalisasi perbuatan pendanaan terorisme sekarang mengacu ke Pasal 602 KUHP Baru.
Menurutnya, perihal pendanaan terorisme memang agak unik, karena yang menjadi bermasalah adalah penggunaan ataupun pemanfaatan dari dana tersebut. Ia mengatakan bahwa pendanaannya bisa dari aktivitas yang ilegal maupun aktivitas yang sah.
“Kalau di sisi uangnya memang tidak bermasalah, masalahnya karena tujuannya yang berdasarkan Undang-Undang dinyatakan sebagai kejahatan,” tuturnya.
Terkait dengan lingkup teritorialnya, Ia menjabarkan bahwa TPPT di dalam KUHP Baru hanya berlaku bagi setiap orang yang melakukan Tindak Pidana di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, Tindak Pidana di Kapal Indonesia atau di Pesawat Udara Indonesia, dan Tindak Pidana di bidang teknologi informasi.
“Nah ini yang nanti kita perlu regulasi yang berkaitan dengan pencegahan pemberantasan money laundering, pendanaan terorisme, dan ada juga pendanaan proliferasi, itu harus mengikuti standar internasional yang ada dan kita harus comply dengan standar tersebut,” jelasnya.
Selanjutnya, membahas mengenai diversi dan deradikalisasi, Koordinator Tim Analisis dan Evaluasi Penegakan Hukum, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Rahmat Sori Simbolon, mengungkapkan bahwa di tahun 2010 hingga 2015 terdapat sebanyak 24 pelaku dan narapidana terorisme yang merupakan anak-anak, 15 di antaranya sudah di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) dengan salah satunya yang melakukan residivisme; pengulangan tindak pidana terorisme.
Menurutnya, salah satu syarat untuk melakukan diversi yaitu maksimal ancaman tujuh tahun, telah membuat ruang gerak untuk melakukan diversi terhadap anak menjadi lebih sempit. Ia mengatakan bahwa menyidangkan perkara orang dewasa lebih mudah, karena rentang waktu dan kebebasan untuk melakukan penahanan lebih lebar dibandingkan dengan anak. Maka dari itu, sejauh pengetahuannya, hingga saat ini belum ada anak yang di diversi secara resmi.
“Ketika mau melanjutkan peradilan anak, dan jika diversi ini gagal atau tidak memenuhi syaratnya, itu memerlukan effort yang luar biasa. Ada berapa pihak yang harus hadir di dalam peradilan anak walaupun tertutup? Bukan hanya memanggil satu orang di satu tempat, tetapi butuh koordinasi. Maka sebenarnya dari diskusi kami, apakah tidak sebaiknya kalau untuk diversi anak-anak ini syaratnya sedikit diperlebar? Bukan hanya sekedar ancaman pidana maksimal tujuh tahun, tetapi juga kualitas dari keterlibatan si anak,” jelasnya.
Mengenai deradikalisasi, Rahmat mengatakan bahwa proses itu dimulai ketika para pelaku terorisme telah ditangkap. Menurutnya, disadari atau tidak, perilaku atau tindakan yang dilakukan oleh petugas rutan dan lapas yang bersikap baik, sebenarnya merupakan salah satu bentuk deradikalisasi.
“Mereka para pelaku menganggap pemerintah adalah kafir atau thogut, dan pada saat pemerintah, petugas lapas atau petugas rutan memperlakukan mereka dengan sama ataupun sesuai dengan standar, bermartabat, dan lainnya, itu diyakini akan memberikan dampak disonansi kognitif kepada mereka, karena menurut mereka thogut itu tidak akan berbuat baik. Itu salah satu bentuk deradikalisasi, diawali dari situ sampai akhirnya mereka keluar, bahkan sampai mereka di luar sekalipun itu tetap berkesinambungan,” ujarnya.
Saat ini, Rahmat mengungkapkan bahwa deradikalisasi adalah program pembinaan yang ditawarkan kepada para narapidana terorisme untuk dapat diikuti. Namun yang jadi pertanyaannya, apakah nanti deradikalisasi akan disamakan atau menuju kepada rehabilitasi yang ada di Undang-Undang Narkotika, yang mana rehabilitasi merupakan putusan pengadilan.
“Deradikalisasi menjadi penting bahkan sel narapidana pun harus dipisahkan, jangan sampai ketika menempatkan orang di sini, kita malah nanti membuat dia bisa meradikalisasi orang lain. Kita kan menghindari itu, bagaimana supaya orang yang tidak radikal tidak terkontaminasi, bagaimana orang yang radikal menjadi tidak radikal, dan bagaimana orang radikal tidak punya kesempatan meradikalisasi orang lain. Ini adalah pekerjaan berat, ke depannya KUHP ini akan banyak kesempatan untuk bisa digunakan dalam hal deradikalisasi,” tegasnya.