Aku sibuk merutuk dalam hati, “Kenapa tidak bilang jauh-jauh hari kalau ulangannya akan jauh berbeda dari materi yang diajarkan? Apa murid di kelas ini mau dijadikan kelinci percobaan?”
Sekalipun aku mengumpat, Pak Toha tidak akan mungkin mendengar pun berubah pikiran. Beliau bahkan tidak tahu akan ada gagang sapu yang menyambutku saat di rumah nanti.
Aku menghela napas panjang. Berharap menjadi Ria, teman sekelasku yang mempunyai ibu berhati sangat lembut. Setidaknya itu yang kulihat.
Tidak pernah sekalipun ia dimarahi ibunya meskipun nilainya hanya 20.
Pernah kucuri dengar dari ibunya saat membelai kepala Ria, “Yang penting sudah berusaha. Nilai bukan masalah. Maksimalkan saja kemampuanmu di bidang yang lain,”.
Sungguh beruntung sekali Ria.
Andaikan aku bisa bertukar ibu, pasti akan sangat menyenangkan. Apalagi kalau ibuku yang ini tiba-tiba hilang saja. Pasti akan menyenangkan.
Tidak ada lagi kenangan pulang sekolah tanpa dijemput dengan jarak berkilo-kilo meter, tapi kemudian disambut dengan makian dan omelan. Melelahkan sekali.
Hampir satu jam perjalanan kutempuh, kini aku sudah berada di depan pintu. Aku mengetuk pelan, tanpa tenaga. Kutunggu semenit. Dua menit. Tidak ada suara.
Kutarik gagang pintu yang sudah berkarat. Aku terkesiap. Ibu terkapar di lantai dengan wajah pucat pasi, “Ibu…!!!!” teriakku.
Aku berharap bisa menarik doaku yang tadi pada Tuhan.
Demikian adalah contoh sudut pandang orang pertama yang kerap ditemui di cerpen.