Pada masa penjajahan Belanda, kehidupan RA Kartini sebagai perempuan sangat terbatas.
Pasalnya di masa itu, ada kebiasaan yang turun-temurun dilakukan. Anak perempuan yang sudah berusia 12 tahun harus tinggal di rumah untuk dipingit.
Tak hanya itu, semasa hidupnya, Kartini melihat banyak diskriminasi yang terjadi antara pria dan wanita.
Banyak perempuan sama sekali tidak diperbolehkan untuk mengenyam bangku pendidikan.
Namun sebagai seorang bangsawan, Kartini mendapat keistimewaan untuk bersekolah.
Dalam keadaan dipingit, keinginan belajar R.A Kartini tak serta-merta surut.
Kemampuan bahasa Belanda yang dimilikinya digunakan untuk membaca buku bahkan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda, salah satu yang kerap dijadikan kawan bercerita adalah Rosa Abendanon.
Dari komunikasinya dengan Mr.J.H Abendanon, timbullah ketertarikan untuk berpikir maju seperti perempuan Eropa.
Kartini tertarik pada kemajuan berpikir wanita Eropa (Belanda) yang waktu itu masih menjajah Indonesia.
Lalu, muncul keinginan Kartini untuk memajukan kehidupan wanita Indonesia.