Melalui Radio Pemberontakan milik Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI), Bung Tomo menyiarkan orasi semangat.
Orasinya yang mengobarkan semangat dan terkenal hingga sekarang adalah “Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka. Semboyan kita tetap: merdeka atau mati!”.
Siaran Bung Tomo kemudian disebarluaskan. Siaran tersebut menjangkau hingga ke luar Indonesia, termasuk Thailand dan Australia.
Tak hanya berniat untuk membangkitkan semangat rakyat, Bung Tomo juga meminta bantuan tentara dan medis melalui siaran Radio Pemberontak. Permintaannya pun terjawab. Markas besar TKR di Yogyakarta mengirim seorang komandan dan lebih dari dua puluh kadet untuk membantu para pejuang di Surabaya. Ratusan perawat dan sejumlah dokter secara sukarela datang ke Surabaya untuk membantu para pejuang.
Peperangan ini diketahui berlangsung selama tiga minggu dan dimenangkan oleh tentara Inggris. Meski kalah, namun jasa dan perjuangan Bung Tomo pada saat itu terus dikenang dan orasi-orasinya terus diperdengarkan.
Pada tahun 1950-1956, Bung Tomo masuk dalam jajaran Kabinet Perdana Menteri Burhanuddin Harahap sebagai Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang Bersenjata/Veteran.
Bung Tomo juga menjadi anggota Konstituante mewakili Partai Rakyat Indonesia sebelum dibubarkan.
Pada awal Orde Baru, Bung Tomo merupakan tokoh yang mulanya mendukung Soeharto. Namun, Bung Tomo kemudian mulai banyak mengkritik program-program Soeharto.
Akibatnya, Bung Tomo ditangkap dan dipenjara atas tuduhan melakukan aksi subversif. Usai bebas dari penjara, Bung Tomo diketahui lebih memilih memanfaatkan waktunya bersama keluarga.
Wafat
Bung Tomo wafat pada tanggal 7 Oktober 1981 saat tengah menjalankan ibadah haji di Padang Arafah. Jenazahnya dimakamkan di TPU Ngagel, Surabaya.
Bung Tomo kemudian resmi ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada peringatan Hari Pahlawan tahun 2008 di Istana Merdeka.
Baca Juga: Biografi Ki Hajar Dewantara: Bapak Pendidikan Indonesia
Baca berita update lainnya dari Sonora.id di Google News.