Mengutip dari laman Kemdikbud, dijelaskan bahwa perang ini terjadi karena Pangeran Diponegoro tidak setuju dengan adanya campur tangan Belanda dalam urusan kerajaan.
Selain itu, diketahui bahwa sejak tahun 1821 para petani lokal hidup menderita karena adanya penyalahgunaan penyewaan tanah oleh warga Belanda, Inggris, Prancis, dan Jerman.
Van der Capellen kemudian mengeluarkan dekrit pada tanggal 6 Mei 1823 yang menyatakan bahwa semua tanah yang disewa orang Eropa dan Tionghoa wajib dikembalikan kepada pemiliknya per 31 Januari 1824.
Akan tetapi, untuk keperluan ini para pemilik lahan diwajibkan memberikan kompensasi kepada penyewa lahan Eropa.
Pangeran Diponegoro kemudian melakukan perlawanan dengan membatalkan pajak Puwasa agar para petani di Tegalrejo dapat membeli senjata dan makanan.
Kekecewaan Pangeran Diponegoro diketahui semakin memuncak ketika Patih Danureja atas perintah Belanda memasang tonggak-tonggak untuk membuat rel kereta api melewati makam leluhurnya.
Sejak saat itulah Pangeran Diponegoro membulatkan tekad dan menyatakan sikap perang kepada pihak Belanda.
Namun, pada hari Rabu tanggal 20 Juli 1825 pihak istana mengutus dua bupati keraton senior yang memimpin pasukan Jawa-Belanda untuk menangkap Pangeran Diponegoro dan Mangkubumi di Tegalrejo.
Beruntungnya Diponegoro dan sebagian besar pengikutnya berhasil lolos. Mereka kemudian bergerak ke barat hingga Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo.
Perjalanan mereka kemudian masih berlanjut ke arah selatan hingga keesokan harinya mereka tiba di Goa Selarong.