Sonora.ID - Pangeran Diponegoro merupakan salah satu pahlawan nasional Republik Indonesia yang sangatlah berperan dalam peristiwa sejarah, yakni Perang Jawa atau Perang Diponegoro.
Perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro ini termasuk perang yang menelan korban terbanyak dalam sejarah Indonesia.
Diketahui bahwa perang yang berlangsung 1825 – 1830 menelan korban tewas sebanyak 200.000 jiwa penduduk Jawa, sementara korban tewas di pihak Belanda berjumlah 8.000 tentara Belanda dan 7000 serdadu pribumi.
Baca Juga: 5 Contoh Cerita Inspiratif dengan Tema Kepahlawanan yang Pendek
Pangeran Diponegoro
Siapa sih sosok Pangeran Diponegoro itu? Pangeran Diponegoro adalah putra dari Sri Sultan Hamengku Buwono III.
Pangeran Diponegoro memiliki nama asli Raden Mas Ontowiryo. Ia lahir pada 11 November 1785 di Yogyakarta.
Nama Pangeran Diponegoro semakin dikenal secara luas oleh masyarakat karena ia merupakan sosok yang memimpin Perang Jawa yang terjadi di Tanah Jawa.
Selain melawan Belanda, perang ini juga merupakan perang saudara antara orang-orang keraton yang berpihak pada Diponegoro dan yang anti-Diponegoro (antek Belanda).
Perjuangan Pangeran Diponegoro
Mengutip dari laman Kemdikbud, dijelaskan bahwa perang ini terjadi karena Pangeran Diponegoro tidak setuju dengan adanya campur tangan Belanda dalam urusan kerajaan.
Selain itu, diketahui bahwa sejak tahun 1821 para petani lokal hidup menderita karena adanya penyalahgunaan penyewaan tanah oleh warga Belanda, Inggris, Prancis, dan Jerman.
Van der Capellen kemudian mengeluarkan dekrit pada tanggal 6 Mei 1823 yang menyatakan bahwa semua tanah yang disewa orang Eropa dan Tionghoa wajib dikembalikan kepada pemiliknya per 31 Januari 1824.
Akan tetapi, untuk keperluan ini para pemilik lahan diwajibkan memberikan kompensasi kepada penyewa lahan Eropa.
Pangeran Diponegoro kemudian melakukan perlawanan dengan membatalkan pajak Puwasa agar para petani di Tegalrejo dapat membeli senjata dan makanan.
Kekecewaan Pangeran Diponegoro diketahui semakin memuncak ketika Patih Danureja atas perintah Belanda memasang tonggak-tonggak untuk membuat rel kereta api melewati makam leluhurnya.
Sejak saat itulah Pangeran Diponegoro membulatkan tekad dan menyatakan sikap perang kepada pihak Belanda.
Namun, pada hari Rabu tanggal 20 Juli 1825 pihak istana mengutus dua bupati keraton senior yang memimpin pasukan Jawa-Belanda untuk menangkap Pangeran Diponegoro dan Mangkubumi di Tegalrejo.
Beruntungnya Diponegoro dan sebagian besar pengikutnya berhasil lolos. Mereka kemudian bergerak ke barat hingga Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo.
Perjalanan mereka kemudian masih berlanjut ke arah selatan hingga keesokan harinya mereka tiba di Goa Selarong.
Pangeran Diponegoro pun menjadikan Goa Selarong sebagai markasnya. Sementara itu, Pangeran Diponegoro menempati Goa Kakung, yang juga menjadi tempat pertapaannya.
Selanjutnya, Raden Ayu Retnaningsih (selir yang paling setia menemani Pangeran Diponegoro) dan pengiringnya menempati Goa Putri di sebelah Timur.
Perang Diponegoro yang berlangsung selama 5 tahun ini didukung oleh kalangan petani hingga golongan priyayi.
Mereka bahkan menyumbangkan uang dan barang-barang berharga lainnya sebagai dana perang.
Perjuangan Diponegoro ini pun dibantu Kyai Mojo yang juga menjadi pemimpin spiritual pemberontakan.
Pangeran Diponegoro juga berkoordinasi dengan I.S.K.S. Pakubuwono VI dan Raden Tumenggung Prawirodigdoyo Bupati Gagatan.
Setelah itu atau tepatnya pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit.
Bahkan di tahun 1829, Kyai Mojo sebagai pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap. Penangkapan Kyai Mojo ini kemudian disusul oleh Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya bernama Alibasah Sentot Prawirodirjo yang menyerah kepada Belanda.
Akibatnya pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock kemudian berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang.
Di Magelang Pangeran Diponegoro menyatakan bahwa dirinya bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan.
Oleh karena itu, Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado. Ia kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.
Akhir perang ini menegaskan penguasaan Belanda atas Pulau Jawa. Setelah perang Diponegoro, pada tahun 1832 seluruh raja dan bupati di Jawa tunduk menyerah kepada Belanda kecuali bupati Ponorogo Warok Brotodiningrat III yang justru menyerang seluruh kantor belanda yang berada di kota-kota karesidenan Madiun dan di Jawa Tengah.
Baca Juga: Biografi Bung Tomo: Riwayat Keluarga, Perjuangan hingga Akhir Hayatnya
Baca berita update lainnya dari Sonora.id di Google News.