Gianyar,Sonora.Id - Perpustakaan Nawaksara. Demikian nama yang disematkan Bupati Gianyar ketika meresmikan perpustakaan umum daerah Gianyar bersama Kepala Perpustakaan Nasional, Jumat, (23/6/2023).
Nawa berarti sembilan, dan aksara artinya huruf (aksara). Nawa jika dikaitkan dengan sejarah, adalah sikap penegasan dan tanggung jawab Bung Karno di hadapan sidang MPRS atas pembangunan yang telah dilakukan.
"Perpustakaan umum Nawaksara saya yakinkan akan menjadi tonggak kemajuan pembangunan daerah," ujar Bupati Gianyar I Made Mahayastra.
Keseriusan Bupati bukan tanpa alasan disampaikan karena sedari awal perencanaan hingga proses pembangunan perpustakaan, ia mengaku terus terlibat.
"Saya serius ingin membangun sumber daya manusia Gianyar, tambah Made.
Made kembali mengisahkan ketika di masa tahun 90-an, perpustakaan yang ia datangi selalu dalam kondisi sepi dengan koleksi buku yang apa adanya. Seiring waktu, kini Gianyar tumbuh dengan perekonomian yang bagus, infrastruktur membaik.
Bupati menegaskan sektor pendidikan dan kesehatan memang sudah menjadi fokus pembangunan para pemimpin pusat dan daerah, namun jangan sampai melewatkan pembangunan SDM.
Perpustakaan Nawaksara berdiri diatas lahan seluas 883 meter persegi. Dibangun setinggi tiga lantai menggunakan dana alokasi khusus (DAK) 2022 senilai Rp8,3 miliar, sejumlah fasilitas mumpuni melekat didalamnya, seperti fasilitas ruang baca anak, ruang baca difabel dan lansia, alat peraga, area internet, ruang deposit, serta ruang pameran. Bahkan, Nawaksara digadang-gadang juga sebagai tempat baca lontar, naskah sejarah masyarakat Bali.
"Masyarakat harus tahu sejarah. Masyarakat harus tahu pengetahuan karena kita tidak bisa lepas dari pengetahuan," pesan Bupati.
Kepala Perpustakaan Nasional Muhammad Syarif Bando mengakui Gianyar beruntung punya pemimpin peduli dengan masyarakat. Sosok yang mau kerja kerja keras mendorong kemajuan masyarakatnya.
"Komitmen bupati telah melahirkan perpustakaan umum. Karena upaya mencerdaskan anak bangsa sesuai yang tertulis undang-undang telah menjadi tugas kolektif," imbuh Syarif Bando.
Sementara itu, pada kesempatan talk show Peningkatan Indeks Literasi Masyarakat (PILM), Bunda Literasi Gianyar yang baru dikukuhkan, Ida Ayu Ketut Surya Adnyani, mengatakan literasi merupakan proses pembelajaran bagi semua kalangan. Di negara-negara maju, membaca justru dijadikan budaya. Sedangkan, di Indonesia belum nampak jelas terlihat.
"Ini tentu bagian dari tugas bunda literasi untuk mengenalkan, membiasakan membaca sebagai aktivitas sehari-hari di lingkungan keluarga," ujarnya.
Massifnya program gerakan literasi yang dilakukan Perpusnas bersama perpustakaan daerah diapresiasi Atase Pendidikan dan Kebudayaan RI di London, Khoirul Munadi.
Di Inggris, tambah Khoirul, peran perpustakaan wilayah malah sentral sekali. Secara umum, perpustakaan wilayah di Inggris berkewajiban memberikan akses informasi yang luas dan gratis, memberikan program pengembangan keterampilan, menunjang kemampuan literasi digital warganya, serta sebagai pusat komunitas (community center) berupa ruang terbuka nan inklusif.
"Ini serupa dengan yang dilakoni perpustakaan umum di Indonesia," tambahnya.
Pada kesempatan akhir, Deputi Pengembangan Sumber Daya Perpustakaan Perpusnas Adin Bondar, menjelaskan konsep literasi untuk kesejahteraan melahirkan paradigma baru perpustakaan. Di mana perpustakaan tidak lagi berkutat dengan manajemen koleksi, tapi justru mengembangkan kemampuan dan kualitas SDM.
Namun, di sisi lain Adin menyayangkan karena masih banyak kebijakan pemerintah daerah yang belum berpihak pada pembangunan SDM. Mereka merasa fokus tersebut belum sesuatu yang esensial.
Padahal, di belakang majunya pembangunan sejumlah negara-negara hebat karena ditopang oleh budaya literasi yang kuat. Meski pun negara-negara tersebut tidak memiliki sumber daya alam yang melimpah.
"Literasi akan membentuk masyarakat berpengetahuan, percaya diri, dan bahagia," ungkap Adin.
Adin kembali mengingatkan, pembentukan masyarakat literasi diawali dengan kebiasaan atau budaya baca yang kuat. Ketika hal tersebut sudah ajeg, maka kreativitas dan inovasi menjadi garansi
Di era yang high disruption, peranan perpustakaan mau tidak mau harus bersikap inklusi, beradaptasi sebagai ruang terbuka untuk belajar kontekstual dan berbagi pengalaman masyarakat. Inilah konsep dari Transformasi Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial (TPBIS).