Banjarmasin, Sonora.ID - Temuan benda hasil galian pemugaran Langgar AL-Hinduan 1937 di kawasan siring Piere Tendean, telah sampai ke telinga Wali Kota Banjarmasin, Ibnu Sina.
Berdasarkan laporan tim ahli cagar budaya, benda tersebut hampir dipastikan adalah ketel uap pada kapal angkutan.
"Praduga pertama memang meriam. Kalau meriam dia akan menyatu sejarahnya dengan benteng tatas dan melengkapi koleksi yang sudah ada," ucap Ibnu, saat ditemui Smart FM Banjarmasin di Balai Kota, Selasa (22/8).
Ibnu menganggap, bahwa temuan itu adalah hal yang luar biasa. Benda tersebut juga memastikan, sudah ada kapal-kapal bermesin yang mengarungi sungai Martapura pada zaman itu.
Baca Juga: Balai Kota Banjarmasin Mendadak Gaduh, Massa Lakukan Penyerangan?
"Di dalam benda itu juga ada jelaga batubaranya. Benda ini bisa menjadi dokumen sejarah," ungkapnya.
Lantas, bakal dikemanakan benda penemuan tersebut?
Terkait hal itu, Ibnu menyebut ada dua kemungkinan. Yakni ditempatkan ke mesum Kayuh Baimbai kota Banjarmasin atau dibuatkan di lokasi penemuannya.
"Dibuatkan monumen dan jenis angkutannya seperti apa. Semacam miniatur untuk sarana edukasi kepada masyarakat generasi akan datang," jelasnya.
Dalam hal ini, pihaknya tetap meminta pekerja pemugaran Langgar AL-Hinduan untuk tetap berhati-hati di lapangan.
Karena tidak menutup kemungkinan, ada benda-benda bersejarah lain ada terpendam di dalam bangunan itu.
"Sekecil apapun temuan nilai sejarah, maka harus diamankan. Seperti keramik dan benda lainnya yang secara arkeolog memiliki nilai sejarah," tuntasnya.
Diketahui, Kesimpulan sementara berdasarkan hasil penelitian Tim Ahli Cagar Budaya Kota Banjarmasin, Mansyur dan peneliti di Lembaga Kajian Sejarah, Sosial dan Budaya Kalsel, Syahreza, kuat dugaan benda yang sebelumnya diduga berupa meriam itu adalah material ketel uap (alat pendidih).
"Ketel uap dengan model Cochran Boiler, produksi sekitar tahun 1885. Itu berdasarkan kesimpulan sementara hasil penelitian. Saat ini, masih terus kami dalami dan lengkapi data-datanya," ungkap Mansyur.
Mansyur mengatakan, material ketel uap itu menurutnya ada pada kapal uap kecil yang melintasi sungai (river steamer), dengan jenis boiler pipa air berbahan bakar batu bara.
Disinggung mengapa benda itu bisa sampai ada hingga terkubur di kawasan lahan pengerjaan proyek Musala AL-Hinduan?
Mansyur menjelaskan, bahwa ada kemungkinan itu masih berkaitan dengan pernah ditemukannya bangkai sebuah kapal peninggalan Hindia Belanda di bantaran Sungai Martapura, di kawasan Jalan Pierre Tendean.
"Penemuan itu terjadi pada tahun 1997. Namun pada saat itu diketahui, bahwa kapal tidak memiliki mesin," ucapnya.
Sejarawan di Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin, itu pun menjelaskan, bahwa laporan adanya temuan bangkai kapal itu dituangkan dalam sebuah jurnal hasil penelitian dan pengembangan situs arkeologi bawah air di Kalimantan.
Jurnal itu sendiri dikeluarkan oleh Balai Arkeologi Kalsel pada tahun 2019 lalu.
Di situ disebutkan, bahwa pada tahun 1997 Balai Arkeologi Banjarmasin melakukan penelitian di Sungai Martapura yang terletak di Kampung Sungai Mesa, Kelurahan Seberang Mesjid, Banjarmasin Tengah.
Saat itu, penelitian dimulai dari adanya kabar tentang temuan berupa mangkok, keramik, mata uang logam kuno, kepala peluru dan plat besi di kawasan jalur hijau di wilayah tersebut.
Dari informasi itu, tim gabungan Balai Arkeologi Banjarmasin dan Kanwil Depdikbud Provinsi Kalsel pun melakukan peninjauan ke lokasi.
Baca Juga: Lapak Baca Gratis Gembel Banjarmasin, Tumbuhkan Minat Literasi
Saat kondisi Sungai Martapura tampak surut, terlihat adanya bagian kemudi kapal, dengan bagian badan kapal yang diduga masih tenggelam.
Peninjauan pun lantas ditindaklanjuti dengan penelitian ekskavasi penyelamatan, dengan tujuan untuk mengetahui bentuk kapal dan hubungan temuan lepas itu dengan keberadaan kapal.
Lebih jauh penelitian yang dilakukan, juga untuk memahami transportasi air sebagai mekanisme budaya masa lalu dan upaya penyelamatannya.
Ekskavasi sendiri dilakukan di bagian tepi sungai pada saat air surut. Mengingat pada saat air pasang lokasi penelitian terendam air dengan sejumlah material yang ditinggalkan.
Misalnya, tanah lumpur bercampur bebatuan lunak dan batang pohon yang membusuk.
Alhasil, pembersihan dari material sisa rendaman pun harus dibersihkan terlebih dahulu. Kondisi itu berlangsung setiap hari.
Sementara itu, dari ekskavasi dengan sistem grid ukuran 5x5 meter yang dilakukan membuahkan hasil dengan tampak adanya sisa kapal.
Yakni, bagian dinding berupa pelat baja atau besi, buritan, kemudi kapal, tongkat kontrol kemudi, gading-gading, rantai, jangkar, dan tambang pengikat kapal.
Bagian kapal yang tampak, sekitar 30 persen dari total bagian kapal secara utuh yang tenggelam itu. Yang berdasarkan hasil penelitian, ukuran panjang kapal mencapai 15 meter, dengan lebar 4 meter.
Adapun bahan pembuat kapal adalah pelat besi baja (untuk badan kapal) dan besi siku (kerangka kapal).
Dari analisis itu juga diketahui bahwa kapal yang tenggelam merupakan kapal tarik, tidak bermesin.
Kapal itu digerakkan dengan cara ditarik oleh kapal lain yang bermotor (tugboat). Itu, mengingat bahwa kapal menggunakan plat besi baja dan besi siku yang baru mulai diproduksi pada awal abad ke 20.
Adapun peruntukannya, kapal itu merupakan armada distribusi barang antar pelabuhan atau dermaga sungai dari muara hingga pedalaman.
Lalu, masih berdasarkan jurnal yang dikeluarkan oleh Balai Arkeologi Kalsel pada tahun 2019 lalu, kapal itu dahulu sengaja ditinggalkan karena tidak layak pakai.
Di sisi lain, kapal dengan konstruksi dan teknologi jenis itu merupakan satu-satunya di Kalimantan sehingga juga perlu diselamatkan.
Baca berita update lainnya dari Sonora.id di Google News