Sonora.ID - Artikel kali ini akan membahas lengkap tentang 7 contoh sudut pandang orang pertama yang lengkap sebagai referensi belajar menulis.
Dalam penulisan suatu karya sastra, seorang penulis bisa menggunakan beberapa sudut pandang di alur cerita, salah satunya adalah sudut pandang orang pertama.
Adapun beberapa contoh sudut pandang orang pertama yang bisa kamu pelajari sebelum menulis karya sastra fiksi.
Dengan memahami seluruh contoh sudut pandang ini, kamu bisa lebih fokus dan jelas dalam menggambarkan alur cerita kepada para pembaca.
Sebelum masuk ke dalam contoh, kamu harus mengetahui sudut pandang orang pertama yang didefinisikan sebagai sudut pandang yang membuat penulisnya seperti masuk ke dalam alur cerita dan menjadi tokoh utama.
Berikut Sonora ID bagikan 7 contoh sudut pandang orang pertama yang sudah dirangkum dari berbagai sumber.
1. Sudut Pandang Orang Pertama I
Baca Juga: Ragam Kalimat dalam Teks Prosedur, Materi Bahasa Indonesia Kelas 7
Bila dunia melihat milenial sebagai generasi gagal, itu tidak salah. Hal-hal dasar seperti membuka kaleng sarden, mengemas barang, menyalakan bara api; mereka kesusahan.
Belum lagi social anxiety, baperan, insomnia dini; semuanya diborong. Yang paling dibenci generasi sebelumnya, tentu, manajemen waktu yang buruk. Aku bagian dari generasi ini.
Pagi ini matahari cerah, ruangan kosan terasa lebih hangat bangun. Sinar matahari tidak benar-benar masuk karena terhalang gedung Gandaria 8 Tower.
Alarm berbunyi sejak pukul enam namun sejam kemudian baru bangkit.
Masuk kantor jam delapan. Jarak ke kantor bisa ditempuh dalam waktu 12 menit saja. Diawali dengan berjalan kaki dari Jalan Pandan menyebrang ke jalan Gandaria II.
Lalu, belok kiri ke Gandaria Tengah II dan tibalah di tujuan. Harusnya bisa masuk tepat jam delapan, kenyataanya tidak. Dasar millennial.
Setelah itu bukannya langsung bekerja malah sibuk buka sosial media.
Butuh asupan motivasi, itu yang terbersit. Rale L, hanya itu nama yang masih kental di memori. Menyesal tak kuminta nomor ponselnya.
Pulang kerja larut malam jum’at pekan lalu tidak pernah semenyenangkan itu. Jalanan di depan Menara BTN tidak begitu ramai.
Tanganku melambai kepada dua taksi yang melintas, keduanya lewat begitu saja. Lalu, taxi ketiga melambat dan berhenti ke sisi jalan tempat ku berdiri menunggu.
Satu langkah turun dari trotoar langsung mengantarkanku di depan pintu belakang.
Ku masuk dan mobil pun melaju di kawasan Harmoni. Punggung ini sudah terbebas dari tas ransel berisi laptop berat. Lega rasanya.
2. Sudut Pandang Orang Pertama II
Seperti biasa, aku selalu menunggu di halte bus ini untuk menunggu bisa yang mengantarku pulang. Meski kini sudah ada kendaraan berbasis daring, aku masih tetap setia menaiki bus kota. Tak ada alasan spesifik mengapa aku masih suka menaiki bus kota. Kenyamanan. Mungkin itu adalah salah satu alasannya.
Seumur hidupku, aku tak pernah sekalipun naik bus kota bersama teman atau keluargaku. Teman-temanku semuanya sebagian sudah punya kendaraan sendiri, meski kendaraan yang mereka punya adalah pemberian orangtua mereka. Keluargaku juga sama. Mereka sudah punya kendaraan pribadi masing-masing. Toh, jika mereka malas naik kendaraan pribadi, mereka biasanya sering menaiki ojek daring.
Meski di halte dan bahkan di bus sesak oleh banyak orang, namun tak pernah sekalipun aku merasa di dalam keramian. Suasana di sekitarku memang bramai. Namun, jauh di sudut hatiku, aku merasa kesepian. Ingin rasanya aku punya teman yang bisa aku ajak bicara, entah di halte atau bahkan di bus.
Di tengah permenunganku, sesosok perempuan duduk di sampingku. Aku ingin seakali menanyainya. Tapi aku takut, takut dikira aku ada niat buruk dengannya. Dan di tengah rasa takut itu, perempuan itu justru berinisiatif mengenalkan dirinya padaku.
Namanya Gita. Dia seumuran denganku. Dia sedang menggu bus yang ternyata sejurusan denganku. Sebuah kebetulan? Ah, entahlah! Selepas perkenalan itu, kami pun berbincang-bincang secara intim. Banyak hal yang kami perbincangkan, mulai dari sekolah kami, hobi, hingga hal-hal yang membuat kami fobia.
“Wah, bus kita telah tiba,” ujarnya tatkala sebuah bus berwarna biru tua datang menghampiri halte kami. Kami pun menaikki bus itu. Aku dan dia duduk di sebelah kanan baris keempat. Setelah duduk, kami tak banyak berbincang. “Wah, gedung itu bagus ya, kalau dilihat dari sini, ” ucapnya memulai pembicaraan. “Wah, iya juga ya,” timpalku.
Singkat cerita, kami pun sampai ke halte tujuan kami. “Aku pulang duluan ya,” ujarnya dengan ramh kepaku. “Oke, hati-hati ya,” timpalku.
Setelah berpisah dengannya, hanya ada satu perasaan yang membuncah di dadaku: senang. Akhirnya, ada juga yang bisa kuajak berbincang, baik di halte maupun di bus.
Aku pun sampai di rumah. Tatkala aku memasuki ruang keluarga, aku melihat ayah sedang menonton berita di televisi. “Seorang gadis berusia 17 tahun tewas tertabrak sepeda motor saat hendak menyeberangi Jalan Kenangan,” ujar reporter berita itu.
Tunggu, Jalan Kenangan? Bukankah itu jalan yang akan dilalui Gita setelah meniki bus tadi? Apakah gadis yang dimaksud reporter itu adalah Gita?
Semburat air mata pun mulai muncul di dua bola mataku.
3. Sudut Pandang Orang Pertama III
Aku menganggap diriku beruntung. Saat semua departemen lain memiliki konsentrasi dan penelitian yang begitu berbahaya, departemen tempatku bekerja hanyalah bagian kesejahteraan dari semua yang bekerja di sini.
Semua pekerja dari seluruh departemen yang membutuhkan pertolongan kesehatan bisa langsung mengunjungi klinik yang tak pernah tutup ini.
Pekerjaan harianku hanyalah melayani pasien, membuat resep dari dokter, mengecek persediaan obat, membersihkan peralatan pengobatan, dan satu yang paling kusenangi yaitu mengantarkan multivitamin dan suplemen ke semua departemen.
Itulah waktu di mana aku bisa melihat sedikit apa yang orang-orang berwajah serius ini lakukan di ruangan serba putih tertutup itu.
Troli setinggi pinggang yang kudorong saat ini untuk menjalankan tugas tersebut dirancang agar sama sekali tidak menimbulkan bunyi.
Entah apa yang dilakukan para engineer perancangnya di departemen ask and build namun benar-benar tak sedikitpun suara gesekan dari empat rodanya terdengar.
Dengannya saat aku membawa masuk troli ke setiap departemen, tak ada yang menyadari kehadiranku.
Pekerjaan ini memakan waktu tidak lebih dari dua jam sampai semua departemen mendapatkan stok multivitamin dan suplemen. Bahkan kadang aku bisa menyelesaikannya lebih cepat.
Waktu yang tersisa terkadang aku manfaatkan untuk berlama-lama di dua departemen terakhir di lantai enam dan tujuh.
Lantai enam adalah lantai departemen trans & energy yang merupakan tempat meninggalnya dua ilmuwan India. Sementara lantai tujuh merupakan departemen neuroscience.
Departemen paling atas merupakan tempat ternyaman bagiku. Karena yang diteliti adalah semua kompleksitas otak manusia, semua instrumen di laboratorium terkesan sederhana.
Ada tempat untuk melihat koleksi foto, beberapa sofa nyaman untuk melihat video, dan ada juga ruangan serba putih dengan dinding yang terlihat sepertinya empuk dengan lantai yang juga terlihat nyamannya seperti bantalan sofa.
4. Sudut Pandang Orang Pertama IV
Aku menemukanmu kembali di kedai teh. Entah, hanya kedai ini satu-satunya yang menjual segala macam teh. Dan aku bisa menebak pesananmu adalah teh kental dengan gula batu.
Ah, aku bisa menduga semuanya. Caramu menuangkan teh ke canggih hingga cara menyesapnya. Kamu punya cara yang unik ketika menikmatinya.
Aku menemukanmu di kedai teh. Kamu penggila teh, bukan kopi seperti kebanyakan orang. Katamu, dengan teh kamu tak harus deg-degan. Katamu, dengan teh, ragamu masih sehat meskipun usiamu sudah kepala tujuh.
Perjalanan yang kutempuh barusan lumayan macet. Jalanan Jakarta belum berubah ternyata. Orang-orang masih saja egois mengendarai kendaraan pribadi.
Rela berlama-lama dan menua di jalan meskipun ke tempat yang dekat.
Bersedia menikmati kesendirian dalam sebuah kabin kecil yang dingin karena AC daripada terbebas di jalanan dengan udara yang asli.
Antusias menghabiskan bahan bakar untuk membuat bumi semakin panas.
Dan itu pula yang membuatmu memilih teh. Dengan teh, meskipun tinggal di sebuah kota yang penuh penat ini, pikiran bisa lebih rileks.
Baca Juga: 7 Contoh Paragraf Induktif, Lengkap dengan Pengertiannya
Katamu lagi, dengan teh, meskipun usia tidak lagi muda namun kulitmu lebih sehat. Semua fakta itu pun memang ada benarnya berdasarkan science. Kau begitu pintar merayuku kala itu.
Aku begitu menikmati pembicaraan kita lima belas tahun lalu di kencan resmi pertama kita. Ya, kita memang bertemu sebelumnya namun tidak di tempat dengan suasana sedamai ini.
Ingat dimana kita pertama kali bertemu? Di sebuah club di Jakarta Pusat. Tempat terkutuk, tempat semua yang mencari kenikmatan sementara berkumpul dan melepas penat masalah.
Waktu itu aku sedang putus asa dengan hidup. Hampir satu tahun bertahan di Ibukota tanpa pekerjaan tetap membuatku luntang-lantung tidak jelas.
Club adalah tempat yang kuhindari namun beberapa teman kerap mengajakku. Santai saja, kata mereka, pasti dibayarin. Aku yang memang tidak memiliki kesibukan akhirnya ikut saja.
5. Sudut Pandang Orang Pertama V
Pagi hari aku bangun dari tidur panjang yang telah melelapkanku, aku bergegas pergi ke kamar mandi untuk mandi sebelum berangkat ke sekolah. Setelah itu aku membereskan tempat tidur dan sarapan pagi terlebih dahulu, lalu setelah selesai sarapan barulah aku berangkat ke sekolah dan berpamitan kepada orang tua…
6. Sudut Pandang Orang Pertama VI
Aku masih menunggu di halte bus ini. Sudah hampir setengah jam bus yang kutunggu tak kunjung datang juga. Satu persatu orang-orang yang menunggu bersamaku mulai pergi seiring hadirnya bus yang mereka tuju. Setengah jam sudah berlalu, bus yang kutuju masih saja tak kunjung tiba. Hujan pun turun, dan aku masih menunggu di halte ini.
7. Sudut Pandang Orang Pertama VII
Pagi ini begitu cerah hingga mampu mengubah suasana jiwaku yang tadinya penat karena setumpuk tugas yang masih terbengkalai menjadi sedikit meringankan. Namun, aku harus segera bangkit dari tidurku dan bergegas mandi karena pagi ini aku harus meluncur ke Kedubes Australia untuk mengumpulkan berita yang harus segera aku laporkan hari ini juga.
Demikianlah 7 contoh sudut pandang orang pertama yang dapat kamu gunakan sebagai referensi dalam belajar menulis; sudah siap menuliskan suatu karya sastra?
Baca berita update lainnya dari Sonora.ID di Google News.