3 Cerpen tentang Ayah yang Sangat Menyentuh Hati dan Penuh Pesan Moral

25 Oktober 2023 11:40 WIB
Ilustrasi cerpen tentang ayah
Ilustrasi cerpen tentang ayah ( freepik.com)

Sonora.ID - Artikel kali ini akan membahas tentang 3 cerpen tentang ayah yang menyentuh hati dan penuh dengan pesan moral.

Cerita pendek (Cerpen) merupakan salah satu karya sastra pendek yang berisikan sebuah kisah tentang suatu kejadian di kehidupan sehari-hari, seperti tentang ayah.

Adapun beberapa cerpen tentang ayah yang dapat kamu baca untuk mengisi waktu senggang di rumah.

Seluruh cerpen tersebut berisikan pesan moral yang baik dan sangat menyentuh hati ketika dibaca.

Berikut Sonora ID bagikan 3 cerpen tentang ayah yang sudah dirangkum dari berbagai sumber untuk kamu simak.

1. Contoh Cerpen tentang Ayah I

Baca Juga: 20 Contoh Cerpen Singkat Berbagai Tema Menarik dan Terbaru Oktober

Ayahku yang Terbaik

Oleh : Khairani Dwi Rivani

Namaku Syafa Dwi Putri. Orang-orang memanggilku Syafa. Aku sekarang duduk di kelas XI SMA yang cukup terkenal di kotaku. Aku memiliki 2 saudara, 1 kakak perempuan dan 1 adik perempuan. Aku, kakakku, dan adikku sekarang tinggal bersama Ayah. Ayahku adalah sosok laki-laki yang memiliki sifat tegas, taat beribadah, penuh kasih sayang, ceria, dan pekerja keras. Beliau tidak membeda-bedakan kasih sayangnya terhadap anak-anaknya. Meskipun beliau orang yang tegas, kasih sayang yang beliau tunjukkan kepada kami sangatlah besar. Karena, sejatinya setiap orang tua memiliki cara tersendiri dalam mendidik anak-anak mereka, bukan?

Semenjak Ibuku tiada, Ayah bekerja dengan sangat keras demi memenuhi kebutuhan hidup kami serta biaya pendidikan aku, kakakku, dan adikku. Sejak Ibu tiada Ayah pun menjadi semakin tegas dan sikapnya mulai berubah. Beliau yang awalnya ceria berubah menjadi pendiam. Beliau juga menjadi sangat protektif terhadap anak-anaknya apalagi ketiga anaknya adalah perempuan. Diamnya Ayah terkadang membuat kami merasa takut untuk berbicara dengannya. Dia juga sibuk bekerja mencari nafkah untuk melanjutkan hidup. Selama ini, Ayah banyak berada di rumah karena tidak memiliki pekerjaan tetap, sedangkan Ibu dulunya berprofesi sebagai guru. Oleh karena itu, sekarang Ayah mati-matian mencari uang.

Aku yang tidak dekat dengan Ayah menjadi semakin canggung dengan perubahan sikap Ayah yang menjadi pendiam dari biasanya. Ditambah sikap protektifnya yang terkadang membuatku merasa tertekan dan terkekang. Pernah suatu hari, aku menelepon Ayah untuk memberi tahu kalau aku akan pulang telat karena ada tugas kelompok yang harus dikerjakan bersama. “Assalamu’alaikum Ayah, Syafa nanti izin telat pulang Yah, Syafa mau ngerjain tugas kelompok di rumah teman. Boleh kan, Yah?”, kata ku ketika menelepon ayah. Ayah menjawab “Di mana rumah temannya? Jangan lama-lama. Sebelum magrib udah pulang. Nanti Ayah jemput kesana”.

Mendengar jawaban Ayah yang seperti itu membuat ku merasa kesal karena aku bukan anak kecil lagi. Namun aku hanya bisa diam dan mengiyakan apa yang dibilang Ayah. Parahnya lagi, ketika aku ingin pergi hangout dengan teman-teman Ayah akan menanyakan banyak pertanyaan seperti pergi dengan siapa, perginya kemana, naik kendaraan apa. Ayah juga akan menekankan untuk tidak berlama-lama dan pulang sebelum hari mulai gelap. Padahal aku ingin berlama-lama bersama teman-temanku, apalagi dalam perkumpulan perempuan pasti banyak hal yang ingin diceritakan dan butuh waktu yang cukup lama. Sehingga akhirnya, kakakku akan mengantar dan menemaniku berkumpul dengan teman-temanku agar Ayah mengiyakan permintaanku.

Namun, seiring berjalannya waktu aku pun sadar apa yang dilakukan Ayah ada positifnya. Aku sadar kalau sikap protektif Ayah juga untuk kebaikan ku sendiri. Sesuai dengan kepercayaan yang aku imani, sebagai seorang perempuan lebih baik untuk banyak menghabiskan waktu di rumah. Aku juga jadi bisa menggunakan waktu luang untuk menghabiskan waktu dengan keluarga dan diri ku sendiri, serta terhindar dari pergaulan bebas yang sekarang ini banyak terjadi di kalangan remaja. Itulah kenapa sekarang ini, aku selalu menuruti kata Ayah. Sosok yang selalu menjaga anak-anaknya namun dengan cara yang tak biasa. Bagiku Ayahku adalah yang terbaik.

2. Contoh Cerpen tentang Ayah II

Banting Tulang demi Anak

Aku adalah seorang dosen lulusan universitas Jepang, kiprahku di dunia pendidikan tidak diragukan lagi karena memang aku sudah 10 tahun mengajar di sebuah kampus di Jogja. Apa yang aku dapat ini semuanya adalah cita-citaku sedari kecil, dan aku bangga bisa mencapainya di umurku yang sudah 50 tahun ini.

Keberhasilan ini tidak lepas dari peran dari sang ayah yang mengupayakan keberhasilanku. Berkat beliau, aku bisa bersekolah hingga menyelesaikan S3. Bagiku, ayah adalah orang yang sangat hebat. Beliau mau bekerja keras, tak segan untuk bekerja keras demi keberhasilan keluarga dan anaknya.

Pernah pada suatu ketika pada saat aku masih duduk di bangku sekolah, aku hampir saja putus sekolah karena memang aku tidak tega melihat ayahku yang bekerja keras untuk keberhasilanku dan memberikan nafkah kepada keluarga kami. Namun, ayah melarangku untuk keluar dari sekolah karena memang ayah tidak mau nasib anaknya sama dengan ayahnya hanya kerja serabutan.

Ayah juga pernah menitip pesan yang hingga saat ini masih ku ingat,”Jangan pernah menyerah menghadapi masalah, bila kau mulai lelah maka ingatlah selalu niatmu dan cita-citamu yang begitu berharga”, begitulah kata ayah.

Aku merasa meski sudah puluhan tahun kata itu diucapkan namun masih teringat sangat jelas di memori otaku, karena memang aku sadar bahwa memang karena ucapan tersebutlah aku bisa berhasil seperti sekarang.

Karena mendengar kata-kata tersebut aku yang tadinya hampir saja putus sekolah, mampu menyelesaikan pendidikan hingga jenjang S3. Ini tentu karena doa dan upaya ayahku yang selalu memberikan dorongan dan motivasi kepadaku hingga aku bisa sukses seperti ini. Meskipun sebenarnya akupun tidak tega melihat ayahku bekerja keras setiap hari. Namun, ayahku tidak suka bila aku keluar dari sekolah dan ikut bersama-sama bekerja serabutan. Ayahku lebih suka bila aku bersekolah hingga ke jenjang yang tinggi dan kemudian menjadi sukses.

Karena memang hanya itu yang bisa membuat ayah bahagia, akhirnya akupun menuruti apa kata beliau dan sampailah aku jadi seperti saat ini.

Baca Juga: Contoh Cerpen tentang Anti Bullying di Sekolah, Mengandung Pesan Moral

3. Contoh Cerpen tentang Ayah III

Aku Rindu Ayah

Cerita oleh: Santi Hendrawati.

Saudaraku ada tujuh orang. Ditambah aku, Ayah, dan Ibu jumlahnyajadi sepuluh orang. Banyak, ya? lya, makanya suasana rumah kami selalu riuh rendah. Gelak tawa, rengek tangis, omelan, atau nyanyian, silih berganti. Suasana rumah tidak pernah lengang, kecuali bila Ayah di rumah.

"Titi, turunkan sikutmu dari meja!" perintah Ayah sewaktu makan bersama.

“Ya, Ayah," jawab Titi, kakakku dengan manis.

"Jangan bicara selagi makan, Oni!" tegur Ayah padaku.

"Baik, Ayah!" jawabku dengan patuh.

Itu sebagian aturan yang diberlakukan Ayah di meja makan. Aturan yang membuat suasana saat makan bersama terasa hikmat seperti saat upacara bendera di sekolah. Belum lagi aturan-aturan rumah lainnya. Duh, ampuuuunn, banyak sekali. Makanya, kalau Ayah di rumah, rumah jadi lengang.

Ayah punya seorang adik perempuan, kupanggil Tante Dita. Tante Dita tinggal di Semarang. Suasana rumah Tante Dita sangat berbeda dengan suasana rumahku. Soalnya, penghuni rumah Tante Dita tidak banyak. Anaknya cuma satu, sebaya denganku, namanya Tati.

"Sabtu ini ibumu mau ke Semarang, menengok Nenek di rumah Tante Dita. Kamu temani Ibu, mau?" tanya Ayah padaku, seusai makan malam. Aku terkesiap.

Adikku protes, "Kok Kak Oni boleh ke Semarang, aku tidak!"

"Kak Oni ulangannya bagus-bagus minggu ini, jadi dia dapat hadiah," jawab Ayah dengan tenang.

Adikku Eti cemberut.

"Kamu tidak mau, Oni?" tanya Ayah.

"Eh, mau, mau, Ayah!" jawabku cepat-cepat.

Ah, Ayah! Kalau aku tidak segera menjawab bukan karena aku menolak, tetapi aku terlalu gembira. Sudah lama aku ingin berlibur ke Semarang, di rumah Tante Dita. Ohoho, di sana tak ada macam-macam aturan ketat. Semula kami berencana hanya tinggal dua hari di Semarang, hari Sabtu dan Minggu. Ternyata, Nenek masih rindu padaku. Nenek meminta kami tinggal dua hari atau tiga hari lagi.

"Lo, Oni harus sekolah, Bu!" Ibu memberi alasan.

"Aku masih ingin bersama cucuku. Minta izin pada Bu Guru untuk bolos sehari lagi saja," ujar Nenek, ringan.

Ibuku kelihatan hendak membantah. Wah, apa kata Ayah nanti? Aku tak berani komentar. Aku, sih, mau saja berapa lama pun tinggal di rumah Tante Dita. Soalnya, segalanya serba menyenangkan. Tidak ada aturan begini, begitu! Mana mungkin Ibu menolak permintaan nenekku yang sudah hampir delapan puluh tahun itu? Jadilah, kami memperpanjang tinggal di rumah Tante Dita.

Ternyata, perpanjangan tinggal bukan cuma satu dua hari seperti permintaan Nenek semula. Sekarang ini sudah memasuki hari keempat!

Wah, wah, bagaimana sekolahku? Ibu bolak-balik telepon ke rumah, tapi Ayah masih dinas di luar kota. Duh, duh, aku mulai resah. Perlahan, kegembiraanku surut. Tetapi aku tidak berani mengeluh pada Ibu. Sebab kulihat setiap hari Ibu keletihan merawat Nenek. Hebatnya, Ibu tidak pernah mengeluh. Malah Ibu berkata, "Begitulah kalau sudah tua. Kita harus maklum, makin tua orang cenderung bertingkah seperti kanak-kanak."

Oh, begitukah?

Perlahan juga aku mulai merasakan ada sesuatu yang hilang dari keseharianku. Sebelum makan, aku terpaksa berdoa sendiri. Padahal biasanya aku berdoa bersama adik dan kakakku.

Tati berdoa juga sebelum makan. Tetapi Tati lebih suka makan di kamar tidur, atau di teras rumah, sendirian. Yang tidak enaknya lagi, sewaktu lidah menyentuh makanan lezat...tak ada teman yang bisa diajak bertukar pandang girang. Begitupun saat kecewa dengan makanan yang tidak enak rasanya. Tak ada teman untuk saling bertoleh dan mencibirkan bibir. Belum lagi kerinduanku pada teman-teman sekelas. Hoi, aku rindu bermain bersama mereka. Rinduuu

Ah, ternyata Ibu tahu perasaanku. Siang itu, waktu aku duduk di bawah pohon mangga di halaman depan rumah Tante Dita, Ibu mendekati.

“Tak usah sedih, besok kita pulang!" kata Ibu sambil mengelus rambutku.

"Oh?" aku menatap Ibu.

"Terima kasih, kamu bersedia berkorban, Oni. Mau bersabar, ikut menunggui Nenek. Ayah sudah memberi tahu wali kelasmu," kata Ibu.

Kudekap Ibu lekat-lekat. Ibu membalas dekapanku dengan mesra. Dekapan yang menunjukkan bahwa Ibu mengerti kegelisahan dan kerinduanku.

"Ya, ya, di rumah selalu ramai dan gaduh," kata Ibu. "Kamu selalu punya seseorang untuk bercanda dan tertawa, menangis atau saling menggoda. Di sini, semua serba sendiri. Bagaimanapun, kalau ada banyak orang, harus ada aturan... supaya segalanya berjalan tertib...." Ibu tersenyum manis.

Ah, ya, ya, aku menarik napas. Lega. Begini rupanya perbedaan rumahku dengan rumah Tante Dita, batinku. Tante Dita dan keluarganya memang baik padaku. Tetapi sosok seperti Ayah? Yang disiplin dan tegas seperti tentara, yang bisa menciptakan suasana rumah lengang atau gaduh tak terkira, hanya ada di rumahku.

"Oh, aku ingin cepat pulang, Bu. Aku rindu Ayah," kataku sambil mendekap ibuku sekali lagi.

Demikianlah 3 cerpen tentang ayah yang dapat kamu simak; sudah baca seluruh cerpen di atas?

Baca berita update lainnya dari Sonora.ID di Google News.

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
92.0 fm
98.0 fm
102.6 fm
93.3 fm
97.4 fm
98.9 fm
101.1 fm
96.7 fm
98.9 fm
98.8 fm
97.5 fm
91.3 fm
94.4 fm
102.1 fm
98.8 fm
95.9 fm
97.8 fm
101.1 fm
101.1 Mhz Fm
101.2 fm
101.8 fm