Banjarmasin, Sonora.ID - Tidak banyak yang tahu, jika tanggal 9 November menyimpan catatan sejarah bagi masyarakat Indonesia, khususnya di Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Satu hari sebelum peristiwa pertempuran 10 November 1945 di Kota Surabaya, Jawa Timur, perlawanan terhadap tentara sekutu yang ingin kembali menguasai Indonesia yang baru merdeka sekitar tiga bulan berlangsung sengit di Kota Banjarmasin.
Tercatat ada sembilan pejuang Barisan Pemberontakan Republik Indonesia Kalimantan (BPRIK) yang gugur dalam penyerangan besar-besaran ke markas tentara NICA (Netherlands Indies Civil Administration) atau Pemerintahan Sipil Hindia Belanda yang berlokasi di Jalan D.I Pandjaitan yang saat ini sudah menjadi Mako Polda Kalimantan Selatan.
Yakni Badran (22), Badrun (27), Utuh (58), Umar (58), Ta'im (58), Jumain (57), Sepa (56), Dullah (56) dan Pak Ma'ruf (45).
Kesembilan nama itu saat ini diabadikan di dua tempat, yakni di Monumen 9 November 1945 di Jalan Banua Anyar dan satu lagi di prasasti kecil di Jalan D.I. Pandjaitan atau tepat di depan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Banjarmasin.
Baca Juga: Manfaatkan Jalan Eks Tambang, dari Balangan ke IKN Hanya Perlu 1,5 Jam
Penyerangan berlangsung pada Jumat siang, tak lama setelah salat Jumat berakhir. Dari catatan sejarah, pertempuran yang melibatkan banyak pejuang dari berbagai penjuru Kota Banjarmasin itu berlangsung hingga petang.
Tak hanya senjata api, para pejuang juga menggunakan senjata tradsional, seperti mandau dan parang, untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang ingin kembali direbut oleh penjajah.
Meskipun bermodalkan senjata sederhana dan tidak seimbang karena tentara NICA mengerahkan senjata otomatis dan panser-pansernya, semangat perjuangan itu patut dirawat dan dipupuk sampai nanti dan diceritakan turun temurun.
Sayangnya, setelah 78 tahun peristiwa itu berlalu, banyak masyarakat Kota Banjarmasin yang tidak mengetahui fakta tersebut. Bahkan keberadaan monumen yang berada di Jalan Banua Anyar maupun prasasti di Jalan D.I Pandjaitan, terkesan diabaikan oleh para pengguna jalan yang melintas.
Dewi (27), warga Kayutangi, Banjarmasin Utara, mengaku hanya mengetahui momumen tersebut sebagai tugu biasa. Tak ada sejarah lengkap yang pernah diperdengarkan padanya, terutama ketika masih duduk di bangku sekolah.
"Biasanya yang diajarkan ya tentang peristiwa 10 November 1945 di Surabaya, kalau yang di Banjarmasin malah baru tahu belakangan," tuturnya.
Sementara itu, Okta (38) yang tinggal di kawasan dekat monumen, mengungkapkan bahwa saat ini sudah jarang ada pengunjung ke lokasi bersejarah itu.
Baca Juga: Musim Politik, ASN Banjarmasin Jangan Bikin Simbol-Simbol Aneh!
Padahal biasanya ada apel peringatan dan kegiatan lainnya yang menjadi penanda bahwa tempat tersebut memang punya makna besar bagi perjuangan bangsa ini.
Tak jarang, area monumen yang cukup luas dijadikan lokasi parkir mobil ataupun motor warga setempat.
"Apalagi sekarang penghuni di sekitar lokasi bukan warga asli alias pendatang, sehingga sejarahnya bisa dikatakan terlupakan," ungkapnya.
Ia berharap ada upaya dari pemerintah daerah untuk memperkenalkan sejarah peristiwa 9 November 1945 kepada masyarakat luas, tak hanya lewat apel rutin tiap tahun di lokasi tersebut.
Setidaknya agar sejarah penting itu tidak terlupakan dan hanya jadi monumen belaka.
Mengingat pertempuran sengit yang dibayar keringat dan darah para pejuang, berkontribusi besar bagi upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia.