Sonora.ID - Tahun 1940, di Solo, Gesang Martohartono sedang melamun di pinggiran Sungai Bengawan Solo. Memperhatikan debit airnya yang ketika kemarau surut, tetapi meluap ketika musim hujan. Musim kemarau, tak seberapa airmu// Di musim hujan air meluap sampai jauh. Dari kacamatanya melihat lanskap Sungai Bengawan Solo, langgam keroncong “Bengawan Solo” kemudian lahir sebagai lagu ketiganya.
Masa penjajahan Belanda berakhir pada 1942. Kala itu Jepang menduduki Indonesia menyingkirkan Belanda. Namun, siapa sangka lagu sederhana buah karya almarhum Gesang bertumbuh masif sejak saat itu. Mengalir jauh hingga negeri tetangga, menjadi evergreen Asia.
Usut punya usut, ini dipengaruhi visi Pan-Asia milik Jepang, yakni keinginan untuk mencapai lingkup kemakmuran Asia menyaingi Barat bersama Asia Timur Raya. “Dari Asia untuk Asia,” Jepang berkomitmen untuk menyatukan Asia termasuk dari budaya dan keseniannya. Lagu ini kemudian diintegrasikan ke dalam budaya pop Jepang dan proses Jepangisasi yang menyertainya.
Kemudian setelah merdeka, “Bengawan Solo” sering diputar di RRI. Soekarno juga meminta duta besar Indonesia di luar negeri mempromosikan lagu ciptaan Gesang ini sepanjang 1950-an, di mana saat itu meng-cover lagu menjadi budaya umum, bahkan bagi musisi populer seperti Frank Sinatra dan Nat King Cole. Ini dilakukan karena lebih mudah meraih popularitas dari musik yang sudah familiar.
Nah, sejak saat itu, muncul banyak versi berbahasa lain yang ternyata juga mengalami pergeseran makna. Jika Sahabat Sonora adalah sinefil, mungkin pernah menjumpainya di karya film Wong Kar-wai berjudul “In the Mood for Love”.
“Bengawan Solo” dan konteksnya yang menyertai menjadi multitafsir.
Baca Juga: Lirik Lagu Bengawan Solo yang Berasal dari Daerah Jawa Tengah
1. Di Indonesia: penggambaran Sungai Bengawan Solo secara gamblang
Sederhana, polos, dan murni. Pada versi aslinya yang diciptakan pada tahun 1940 sebelum kedatangan Jepang, Gesang gamblang mendeskripsikan sungai Bengawan Solo. Sungainya yang ketika kemarau surut, tetapi meluap ketika musim hujan. Juga kapal-kapal yang melintas konon katanya dipakai pedagang dulu.
Gesang berbicara tentang sensibilitas dan hubungan dirinya dengan Solo, geografis, serta pandangan pribadinya sebagai orang Solo. Menangkap lanskap, mencatat apa yang terjadi, melantunkannya, dan menjadikannya abadi.