Untuk merayakan kebahagiaan hari ini, mari bernyanyi bersama (sachi no hi tatae tomoni utawan)
Sungai yang suci, (seinaru kawayo)
Hati ibu kami (waga kokoro no haha)
Ini nyanyian doa, (inori no uta nose)
Alirannya terus berlanjut (nagare taezu)
Bunga yang mekar, (hana wa saki)
Bunga yang berguguran (hana wa chiredo)
Sumpah cinta kita, (ai no chikai wa)
Selamanya tidak berubah (towa ni kawaraji)
Dalam versi aransemen lirik dan orkestra karya Takio Nishi yang direkam dan dinyanyikan Toshi Matsuda ini, lagu dibawakan dengan nada yang lebih tinggi dan menyisipkan gaya musik militer Jepang, “Gunka”, pada instrumennya, menggambarkan ambisi kekaisaran Jepang.
Setelah meninggalkan Indonesia, tentara Jepang mengenang lagu ini dengan penuh nostalgia akan Indonesia. Namun, nostalgia itu berupa rasa kepemilikan dari lensa militeristik, sebuah kerinduan akan surga tropis Jawa sebagai koloni yang hilang, yang seharusnya menjadi milik mereka seandainya tidak kalah perang.
Mentalitas ambisi kekaisaran Jepang dibungkus dalam romantisme dua sejoli, seperti tersirat dalam film Bungawan Soro/ River Solo Flows (1951) karya Kon Ichikawa, kisah ala Pocahontas antara seorang gadis Jawa bernama Sariya (Sari) dan seorang kopral Jepang bernama Fukami yang menonjolkan eksotisme Indonesia. Dibuktikan dengan Sariya yang walaupun sebenarnya adalah orang Jawa, namun latarnya lebih sering menonjolkan budaya eksotisme Bali ketimbang budaya akurat Jawa.
Asami Kuji selain memerankan Sariya dalam film itu, juga mengisi lagu dalam film, membawakan “Bengawan Solo” dengan lirik asli.
Drama teater kondang “Minami Juujisei” yang turut mendongkrak populeritas “Bengawan Solo” di Jepang juga bernarasi sama. Kisah cinta yang dirajut antara Lina Ningrat, wanita Indonesia yang harus kembali ke Indonesia untuk membela tanah airnya, dengan Isao Hoshina, militer Jepang yang dikirim ke Indonesia untuk berperang dengan Belanda. “Bengawan Solo” adalah lagu yang diajarkan Lina kepada Isao sebagai lagu yang membawa janji mereka berdua. Drama teater ditampilkan dengan versi lirik Takio Nishi.
Baca Juga: Pasar Johar Semarang: Tempat Berwisata dan Berbelanja yang Kaya akan Sejarah
3. Di Tiongkok, Hongkong, dan Komunitas Tionghoa: romantisme sungai cinta
Bengawan Solo telah populer di Tiongkok sejak Perang Dunia II dan di komunitas Tionghoa di Hong Kong dan Singapura. Di Hong Kong, versi piano lounge yang lebih easy-listening dan versi karaoke laser disc saat ini tersedia, begitu pula versi penyanyi Tionghoa yang membawakan lagu tersebut dalam bahasa Mandarin, Kanton, atau Indonesia. Pada tahun 1966, versi dalam bahasa Mandarin digunakan dalam iklan jam tangan terkenal di Hong Kong dan Asia Tenggara.
Versi dengan lirik dan vokal yang menarik untuk dibahas adalah milik Rebecca Pan yang dirilis pada tahun 1963. Aktris dan penyanyi berkebangsaan Hong Kong ini memiliki versi tersendiri dalam teks lirikalnya yang bergeser dari makna aslinya. Lagunya menjadi populer dan diangkat dalam film arahan sutradara kenamaan Hong Kong, Wong Kar-wai dalam judul “In the Mood for Love (2000)”.
Bengawan Solo
River of love, behold
Where the palms are swaying low
And lovers that so's enthralled
Bengawan Solo
River of love we know
Where my heart was set aglow
When we loved not long ago
Nightingales softly singing
To a guitar is gently playing
Moon and stars brightly shining
Shining for you and I
In that moment divine
You whispered you were mine
And you vowed we'd never part
Down by the river of love
Lagu ini mengimajinasikan kembali penggambaran sungai Bengawan Solo sebagai tempat sepasang kekasih bertemu, menggambarkan Bengawan Solo sebagai sungai cinta. Serupa dengan bait terakhir versi Takio Nishi dan Toshi Matsuda yang berbicara tentang janji cinta yang abadi, Rebecca Pan mengeksplor lebih jauh tema cinta dan suasana sungai yang romantis. Nuansa folk juga berhasil dibangun mengenang masa-masa Hong Kong tahun 1960-an.
Kini, versi yang dipopulerkan Rebectioca Pan melejit dan diperdengarkan di mana-mana. Versi ini juga menjadi jingle toko roti terkenal di Singapura bernama “Bengawan Solo”.
Popularitas lagu “Bengawan Solo” diikuti popularitasnya di tanah China selama bertahun-tahun telah menjadikan negara lain salah kaprah mengelompokkan “Bengawan Solo” sebagai lagu Tiongkok. Kini, setelah “Bengawan Solo” memiliki versi beragam bahasa dalam bahasa lokal, bahkan beberapa orang di negara-negara Asia Tenggara atau Asia Timur lainnya juga mengira itu berasal dari negara mereka.
Beruntung kini sistem hak intelektual Indonesia telah lebih baik mendukung hak Gesang. Pengacara Indonesia telah membawa kasus ini ke pengadilan pada tahun 1990, yang juga menetapkan undang-undang kekayaan intelektual di Indonesia pada saat itu.
Baca Juga: 7 Wisata Sejarah Yang Menarik Untuk Awali Tahun 2024
Penulis: Khizbulloh Huda