Bengawan Solo” Didengar Sampai Jauh: Alasan Kenapa “Bengawan Solo” Punya Banyak Versi Bahasa

26 Januari 2024 17:00 WIB
Gesang Martohartono berdiri di tepi Sungai Bengawan Solo
Gesang Martohartono berdiri di tepi Sungai Bengawan Solo ( Arsip sampul XRCD “Bengawan Solo” Combak Corporation)

Sonora.ID - Tahun 1940, di Solo, Gesang Martohartono sedang melamun di pinggiran Sungai Bengawan Solo. Memperhatikan debit airnya yang ketika kemarau surut, tetapi meluap ketika musim hujan. Musim kemarau, tak seberapa airmu// Di musim hujan air meluap sampai jauh. Dari kacamatanya melihat lanskap Sungai Bengawan Solo, langgam keroncong “Bengawan Solo” kemudian lahir sebagai lagu ketiganya.

Masa penjajahan Belanda berakhir pada 1942. Kala itu Jepang menduduki Indonesia menyingkirkan Belanda. Namun, siapa sangka lagu sederhana buah karya almarhum Gesang bertumbuh masif sejak saat itu. Mengalir jauh hingga negeri tetangga, menjadi evergreen Asia.

Usut punya usut, ini dipengaruhi visi Pan-Asia milik Jepang, yakni keinginan untuk mencapai lingkup kemakmuran Asia menyaingi Barat bersama Asia Timur Raya. “Dari Asia untuk Asia,” Jepang berkomitmen untuk menyatukan Asia termasuk dari budaya dan keseniannya. Lagu ini kemudian diintegrasikan ke dalam budaya pop Jepang dan proses Jepangisasi yang menyertainya.

Kemudian setelah merdeka, “Bengawan Solo” sering diputar di RRI. Soekarno juga meminta duta besar Indonesia di luar negeri mempromosikan lagu ciptaan Gesang ini sepanjang 1950-an, di mana saat itu meng-cover ­lagu menjadi budaya umum, bahkan bagi musisi populer seperti Frank Sinatra dan Nat King Cole. Ini dilakukan karena lebih mudah meraih popularitas dari musik yang sudah familiar.

Nah, sejak saat itu, muncul banyak versi berbahasa lain yang ternyata juga mengalami pergeseran makna. Jika Sahabat Sonora adalah sinefil, mungkin pernah menjumpainya di karya film Wong Kar-wai berjudul “In the Mood for Love”.

“Bengawan Solo” dan konteksnya yang menyertai menjadi multitafsir.

 Baca Juga: Lirik Lagu Bengawan Solo yang Berasal dari Daerah Jawa Tengah

1.       Di Indonesia: penggambaran Sungai Bengawan Solo secara gamblang

Sederhana, polos, dan murni. Pada versi aslinya yang diciptakan pada tahun 1940 sebelum kedatangan Jepang, Gesang gamblang mendeskripsikan sungai Bengawan Solo. Sungainya yang ketika kemarau surut, tetapi meluap ketika musim hujan. Juga kapal-kapal yang melintas konon katanya dipakai pedagang dulu.

Gesang berbicara tentang sensibilitas dan hubungan dirinya dengan Solo, geografis, serta pandangan pribadinya sebagai orang Solo. Menangkap lanskap, mencatat apa yang terjadi, melantunkannya, dan menjadikannya abadi.

2.       Di Jepang: kenangan akan surga tropis yang seharusnya dimiliki

Masyarakat Jepang lumayan familiar dengan “Bengawan Solo”. Mereka mengenalnya dari film-film hingga penampilan drama teater. Banyak film-film Jepang yang menggunakan musik “Bengawan Solo”, baik instrumental maupun disertai vokal. Daftar panjang film ini terdiri dari: Bungawan Soro (1951) karya Kon Ichikawa, Stray Dogs (1949) karya Akira Kurosawa, The Quiet Duel (1949) karya Akira Kurosawa, dan An Autumn Afternoon (1962) karya Yasujiroo Ozu. Selain itu, drama teater berjudul “Minami Juujisei” juga turut menyumbang popularitas lagu ini.

Pada tahun 1944, musisi Ichiroo Fujiyama mentranskrip “Bengawan Solo” dan membawanya ke Jepang. Kemudian pada 1947, Toshi Matsuda merilis sebuah rekaman yang dinamakan dengan judul yang sama dalam aksara katakana, ブンガワン・ソロ (Bungawan Soro). Banyak perubahan dalam liriknya jika diterjemahkan.

Baca Juga: Sejarah Panjang Sepanjang Sungai Bengawan Solo

Bengawan Solo,

Tak ada habisnya (hate shinaki)

Berdoa untuk arus yang bersih hari ini (kiyoki nagare ni kyoo mo inoran)

 

Bengawan Solo,

Bertaburan mimpi (yume ooki)

Untuk merayakan kebahagiaan hari ini, mari bernyanyi bersama (sachi no hi tatae tomoni utawan)

 

Sungai yang suci, (seinaru kawayo)

Hati ibu kami (waga kokoro no haha)

Ini nyanyian doa, (inori no uta nose)

Alirannya terus berlanjut (nagare taezu)

 

Bunga yang mekar, (hana wa saki)

Bunga yang berguguran (hana wa chiredo)

Sumpah cinta kita, (ai no chikai wa)

Selamanya tidak berubah (towa ni kawaraji)

Dalam versi aransemen lirik dan orkestra karya Takio Nishi yang direkam dan dinyanyikan Toshi Matsuda ini, lagu dibawakan dengan nada yang lebih tinggi dan menyisipkan gaya musik militer Jepang, “Gunka”, pada instrumennya, menggambarkan ambisi kekaisaran Jepang.

Setelah meninggalkan Indonesia, tentara Jepang mengenang lagu ini dengan penuh nostalgia akan Indonesia. Namun, nostalgia itu berupa rasa kepemilikan dari lensa militeristik, sebuah kerinduan akan surga tropis Jawa sebagai koloni yang hilang, yang seharusnya menjadi milik mereka seandainya tidak kalah perang.

Mentalitas ambisi kekaisaran Jepang dibungkus dalam romantisme dua sejoli, seperti tersirat dalam film Bungawan Soro/ River Solo Flows (1951) karya Kon Ichikawa, kisah ala Pocahontas antara seorang gadis Jawa bernama Sariya (Sari) dan seorang kopral Jepang bernama Fukami yang menonjolkan eksotisme Indonesia. Dibuktikan dengan Sariya yang walaupun sebenarnya adalah orang Jawa, namun latarnya lebih sering menonjolkan budaya eksotisme Bali ketimbang budaya akurat Jawa.

Asami Kuji selain memerankan Sariya dalam film itu, juga mengisi lagu dalam film, membawakan “Bengawan Solo” dengan lirik asli.

Drama teater kondang “Minami Juujisei” yang turut mendongkrak populeritas “Bengawan Solo” di Jepang juga bernarasi sama. Kisah cinta yang dirajut antara Lina Ningrat, wanita Indonesia yang harus kembali ke Indonesia untuk membela tanah airnya, dengan Isao Hoshina, militer Jepang yang dikirim ke Indonesia untuk berperang dengan Belanda. “Bengawan Solo” adalah lagu yang diajarkan Lina kepada Isao sebagai lagu yang membawa janji mereka berdua. Drama teater ditampilkan dengan versi lirik Takio Nishi.

Baca Juga: Pasar Johar Semarang: Tempat Berwisata dan Berbelanja yang Kaya akan Sejarah

3.       Di Tiongkok, Hongkong, dan Komunitas Tionghoa: romantisme sungai cinta

Bengawan Solo telah populer di Tiongkok sejak Perang Dunia II dan di komunitas Tionghoa di Hong Kong dan Singapura. Di Hong Kong, versi piano lounge yang lebih easy-listening dan versi karaoke laser disc saat ini tersedia, begitu pula versi penyanyi Tionghoa yang membawakan lagu tersebut dalam bahasa Mandarin, Kanton, atau Indonesia. Pada tahun 1966, versi dalam bahasa Mandarin digunakan dalam iklan jam tangan terkenal di Hong Kong dan Asia Tenggara.

Versi dengan lirik dan vokal yang menarik untuk dibahas adalah milik Rebecca Pan yang dirilis pada tahun 1963. Aktris dan penyanyi berkebangsaan Hong Kong ini memiliki versi tersendiri dalam teks lirikalnya yang bergeser dari makna aslinya. Lagunya menjadi populer dan diangkat dalam film arahan sutradara kenamaan Hong Kong, Wong Kar-wai dalam judul “In the Mood for Love (2000)”.

Bengawan Solo
River of love, behold
Where the palms are swaying low
And lovers that so's enthralled

 

Bengawan Solo
River of love we know
Where my heart was set aglow
When we loved not long ago

 

Nightingales softly singing
To a guitar is gently playing
Moon and stars brightly shining
Shining for you and I

 

In that moment divine
You whispered you were mine
And you vowed we'd never part
Down by the river of love

 

Lagu ini mengimajinasikan kembali penggambaran sungai Bengawan Solo sebagai tempat sepasang kekasih bertemu, menggambarkan Bengawan Solo sebagai sungai cintaSerupa dengan bait terakhir versi Takio Nishi dan Toshi Matsuda yang berbicara tentang janji cinta yang abadi, Rebecca Pan mengeksplor lebih jauh tema cinta dan suasana sungai yang romantis. Nuansa folk juga berhasil dibangun mengenang masa-masa Hong Kong tahun 1960-an.

Kini, versi yang dipopulerkan Rebectioca Pan melejit dan diperdengarkan di mana-mana. Versi ini juga menjadi jingle toko roti terkenal di Singapura bernama “Bengawan Solo”.

Popularitas lagu “Bengawan Solo” diikuti popularitasnya di tanah China selama bertahun-tahun telah menjadikan negara lain salah kaprah mengelompokkan “Bengawan Solo” sebagai lagu Tiongkok. Kini, setelah “Bengawan Solo” memiliki versi beragam bahasa dalam bahasa lokal, bahkan beberapa orang di negara-negara Asia Tenggara atau Asia Timur lainnya juga mengira itu berasal dari negara mereka.

Beruntung kini sistem hak intelektual Indonesia telah lebih baik mendukung hak Gesang. Pengacara Indonesia telah membawa kasus ini ke pengadilan pada tahun 1990, yang juga menetapkan undang-undang kekayaan intelektual di Indonesia pada saat itu.

Baca Juga: 7 Wisata Sejarah Yang Menarik Untuk Awali Tahun 2024

Penulis: Khizbulloh Huda

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
92.0 fm
98.0 fm
102.6 fm
93.3 fm
97.4 fm
98.9 fm
101.1 fm
96.7 fm
98.9 fm
98.8 fm
97.5 fm
91.3 fm
94.4 fm
102.1 fm
98.8 fm
95.9 fm
97.8 fm
101.1 fm
101.1 Mhz Fm
101.2 fm
101.8 fm