Baca Juga: Beras, Gula, Minyak Goreng Murah di GPM Kukar
Kaum Boro, warga pendatang penjaja dagangan
Daging-daging yang telah dipotong jadi beberapa bagian serta bumbu yang sudah diracik tersebut kemudian diambil oleh para pedagang gulai dan sate keliling.
Kelompok penjual yang menjajakan dagangan ke luar kampung dengan pikulan ini adalah orang-orang pendatang dari daerah Kudus dan Jepara.
Para perantau ini kemudian dikenal dengan istilah kaum Boro.
Mereka kemudian membentuk permukiman di sekitar Kampung Bustaman.
“Biiiiiiing”, adalah pekikan khas para penjaja keliling menyusuri jalan-jalan Kota Semarang. Tanda bagi para penduduk bahwa penjual Sate dan Gulai Bustaman sudah dekat.
Berkat kerja kaum Boro ini kemudian nama Kampung Bustaman tersohor akan olahan daging kambingnya.
Baca Juga: 8 Manfaat Buah Nangka, Kelola Kadar Gula Darah sampai Sehatkan Jantung
Gulai awalnya bukan olahan utama
Awalnya, masyarakat Kampung Bustaman hanya mengolah daging-daging menjadi olahan sate saja yang memanfaatkan bagian “daging utama”.
Karena kebingungan mengolah bagian sisanya, akhirnya inisiatif untuk mengolahnya menjadi sajian gulai pun muncul. Olahan gulai ini memanfaatkan bagian otak, kepala, jeroan, hingga kaki kambing.
Konon katanya, dilansir dari web Pekakota, inisiatif ide ini diawali oleh penjual daging yang datang dari luar kampung bernama Mbah Man, pria asal Kebumen yang berjodoh dengan perempuan asli Bustaman.
Bumbu gulai dari kampung keturunan Arab
Seperti disebutkan di awal, Ki Bustam adalah seorang keturunan Jawa-Arab. Secara tidak langsung, relasi kuat antara Ki Bustam dan orang-orang Arab di sekitaran Bustaman memiliki andil besar munculnya resep bumbu Gulai Kambing Bustaman.
Pasalnya, asal-usul kapulaga yang menjadi bahan utama dalam racikan bumbu gulai khas kampung ini ternyata di masa lalu adalah komoditas yang dibawa langsung oleh pendatang Arab ke Semarang.
Baca Juga: 7 Manfaat Talas, Kontrol Kadar Gula Darah hingga Jaga Jantung
Bustaman hari ini
Hingga kini, masyarakat Kampung Bustaman masih banyak yang menggantungkan hidupnya pada daging kambing.
Namun, wajah sebagai “kampung jagal” berangsur redup. Kini, penjagal hanya tersisa empat orang.
Alasannya, sebagian tidak memiliki keturunan laki-laki, sudah beranjak lansia, naik turunnya nilai jual daging kambing, dan generasi muda yang lebih memilih profesi lain.
Bangunan rumah pemotongan hewan juga beberapa tak lagi beroperasi.
Meski begitu, peran-peran lain masih diisi beberapa warga Bustaman.
Resep olahan daging kambing dan racikan bumbu gulai khas Bustaman hingga kini masih diracik oleh ibu-ibu kompleks kampung untuk dijual ke pedagang gulai.
Kini, Gulai Kambing Bustaman dapat ditemui di berbagai sudut Kota Semarang.
Mulai dari Pasar Johar, Kota Lama, pintu Kampung Bustaman, hingga Pecinan Semarang.
Baca Juga: Bantuan Sembako untuk 1000 KPM, Program Penanganan Kemiskinan Ekstrem Pemkab Kukar
Penulis: Khizbulloh Huda