Sonora.ID - Mencari rekomendasi kuliner khas Semarang, Anda pasti akan menemui Gulai Kambing Bustaman di urutan ke-sekian.
Gulai kambing yang dimasak tanpa santan dan disajikan beserta serundeng serta kuah kental racikan rempah berbahan utama kapulaga ini menghasilkan aroma pekat yang menggoda.
Tak ayal Gulai Kambing Bustaman menjadi sasaran perburuan bagi penikmat kuliner berkolesterol tinggi.
Seperti nama-nama sajian kuliner lokal lainnya, nama Gulai Kambing Bustaman diakhiri oleh daerah asal makanan itu berasal.
Bustaman, adalah nama perkampungan kuno di tengah kota sekitaran area Kota Lama Semarang.
Kampung ini terletak di Kawasan Mataram, pusat pertokoan di Jalan MT Haryono yang dulunya merupakan akses dari Semarang ke pusat Kerajaan Mataram.
Dalam semangkuk sajian gulai kambing yang hangat, terdapat kisah unik asal muasal serta kaitannya dengan tempat di mana sajian khas ini berasal, kampung kuno Bustaman.
Baca Juga: 10 Manfaat Kopi Hitam Tanpa Gula Bagi Kesehatan, Bantu Turunkan Berat Badan!
Kampung hadiah VOC untuk Ki Bustam
Dilansir dari Kajian Sejarah Kampung Bustaman Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarang, Kampung Bustaman adalah sebuah wilayah yang dihadiahi VOC kepada Ki Kertoboso Bustam (Sayid Abdullah Muhammad Bustam) karena peran serta kepiawaiannya sebagai akuntan, juru tulis, dan juru bahasa VOC.
Pada tahun 1742, Ki Bustam turut menjadi juru bahasa atau penerjemah Bahasa Belanda-Jawa yang menjembatani komunikasi antara VOC dengan Raja Mataram Islam.
Peran Ki Bustam cukup besar dalam terwujudnya Perjanjian Giyanti.
Dirinya turut andil dalam mewujudkan rekonsiliasi antara dua kubu dalam konflik Mataram Islam sebagai utusan untuk menemui Mangku Bumi.
Berkat intelektualitasnya sebagai penerjemah penjembatan dua pihak itulah sejumlah tanah cikal bakal Kampung Bustaman dihadiahi padanya.
Dirinya pun sempat diangkat sebagai Wakil Bupati Terbaya bergelar Ngabehi Kertabasa.
Baca Juga: Harga Cabai dan Gula Pasir Naik Signifikan di Sulsel
Kampung jagal Bustaman
Tak diketahui sejak kapan tepatnya Kampung Bustaman dikenal sebagai “kampung jagal”, namun pada catatan koran lokal de Locomotief terbitan 3 Juli 1896, terdapat penyembelihan kambing yang sangat masif dilakukan di Bustaman oleh para Haji dan orang-orang Cina.
Kambing dan domba juga dikembangbiakkan di rumah dan gang-gang Kampung Bustaman.
Karena besarnya transaksi kambing dan domba di Bustaman, pasar pun dibuka tiap pagi di kawasan kampung ini.
Praktik pemotongan hewan di Bustaman dapat dikatakan ilegal sampai pada tahun 1915.
Di tahun itu barulah didirikan pasar tradisional domba dan kambing yang legal dan disahkan pemerintah Kota Semarang.
Baca Juga: 8 Manfaat Minum Teh Tawar Tanpa Gula, Ternyata Bisa Cegah Kanker
Sistem rantai sosial-ekonomi pengolahan daging
Dari arsip koran Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indie pada 14 Desember 1926, tercatat bahwa bukan hanya olahan daging mentah yang diperjualbelikan di Bustaman, penduduk kampung juga mengolah daging utuh menjadi olahan siap makan.
Dari situlah tercipta pembagian kerja masyarakat kampung yang membentuk rantai ekonomi dan sistem organisasi tradisional pengolahan daging.
Ada penduduk yang berperan sebagai peternak, jagal, pemasok daging mentah, pengolah produk jadi, sampai pedagang daging keliling dengan pikulan.
Terdapat pula rumah pemotongan hewan yang bersebelahan dengan kandang, rumah pengolahan dan penusukan sate, dan rumah-rumah warga yang beberapa diantaranya dipakai untuk produksi bumbu rumahan.
Pembagian kerja secara tradisional ini juga melibatkan distribusi peran gender.
Laki-laki lebih sering terlibat dalam proses pemotongan daging, sedangkan perempuan mayoritas ibu-ibu dilibatkan lebih banyak dalam peracikan bumbu.
bersebelahan dengan kandang, rumah pengolahan dan penusukan sate, dan rumah-rumah warga yang beberapa diantaranya dipakai untuk produksi bumbu rumahan.
Pembagian kerja secara tradisional ini juga melibatkan distribusi peran gender.
Laki-laki lebih sering terlibat dalam proses pemotongan daging, sedangkan perempuan mayoritas ibu-ibu dilibatkan lebih banyak dalam peracikan bumbu.
Baca Juga: Beras, Gula, Minyak Goreng Murah di GPM Kukar
Kaum Boro, warga pendatang penjaja dagangan
Daging-daging yang telah dipotong jadi beberapa bagian serta bumbu yang sudah diracik tersebut kemudian diambil oleh para pedagang gulai dan sate keliling.
Kelompok penjual yang menjajakan dagangan ke luar kampung dengan pikulan ini adalah orang-orang pendatang dari daerah Kudus dan Jepara.
Para perantau ini kemudian dikenal dengan istilah kaum Boro.
Mereka kemudian membentuk permukiman di sekitar Kampung Bustaman.
“Biiiiiiing”, adalah pekikan khas para penjaja keliling menyusuri jalan-jalan Kota Semarang. Tanda bagi para penduduk bahwa penjual Sate dan Gulai Bustaman sudah dekat.
Berkat kerja kaum Boro ini kemudian nama Kampung Bustaman tersohor akan olahan daging kambingnya.
Baca Juga: 8 Manfaat Buah Nangka, Kelola Kadar Gula Darah sampai Sehatkan Jantung
Gulai awalnya bukan olahan utama
Awalnya, masyarakat Kampung Bustaman hanya mengolah daging-daging menjadi olahan sate saja yang memanfaatkan bagian “daging utama”.
Karena kebingungan mengolah bagian sisanya, akhirnya inisiatif untuk mengolahnya menjadi sajian gulai pun muncul. Olahan gulai ini memanfaatkan bagian otak, kepala, jeroan, hingga kaki kambing.
Konon katanya, dilansir dari web Pekakota, inisiatif ide ini diawali oleh penjual daging yang datang dari luar kampung bernama Mbah Man, pria asal Kebumen yang berjodoh dengan perempuan asli Bustaman.
Bumbu gulai dari kampung keturunan Arab
Seperti disebutkan di awal, Ki Bustam adalah seorang keturunan Jawa-Arab. Secara tidak langsung, relasi kuat antara Ki Bustam dan orang-orang Arab di sekitaran Bustaman memiliki andil besar munculnya resep bumbu Gulai Kambing Bustaman.
Pasalnya, asal-usul kapulaga yang menjadi bahan utama dalam racikan bumbu gulai khas kampung ini ternyata di masa lalu adalah komoditas yang dibawa langsung oleh pendatang Arab ke Semarang.
Baca Juga: 7 Manfaat Talas, Kontrol Kadar Gula Darah hingga Jaga Jantung
Bustaman hari ini
Hingga kini, masyarakat Kampung Bustaman masih banyak yang menggantungkan hidupnya pada daging kambing.
Namun, wajah sebagai “kampung jagal” berangsur redup. Kini, penjagal hanya tersisa empat orang.
Alasannya, sebagian tidak memiliki keturunan laki-laki, sudah beranjak lansia, naik turunnya nilai jual daging kambing, dan generasi muda yang lebih memilih profesi lain.
Bangunan rumah pemotongan hewan juga beberapa tak lagi beroperasi.
Meski begitu, peran-peran lain masih diisi beberapa warga Bustaman.
Resep olahan daging kambing dan racikan bumbu gulai khas Bustaman hingga kini masih diracik oleh ibu-ibu kompleks kampung untuk dijual ke pedagang gulai.
Kini, Gulai Kambing Bustaman dapat ditemui di berbagai sudut Kota Semarang.
Mulai dari Pasar Johar, Kota Lama, pintu Kampung Bustaman, hingga Pecinan Semarang.
Baca Juga: Bantuan Sembako untuk 1000 KPM, Program Penanganan Kemiskinan Ekstrem Pemkab Kukar
Penulis: Khizbulloh Huda