Sonora.ID – Berikut kumpulan teks khutbah Jumat Awal Ramadhan, penuh makna dan menyejukkan hati.
Ramadhan merupakan bulan suci umat muslim yang penuh dengan keistimewaan serta keutamaan.
Keutamaan bulan Ramadhan atau bulan Puasa ini salah satu di antaranya adalah ada segudang amalan yang bisa dilakukan untuk mendapatkan pahala dari Allah.
Saat ini seluruh umat Islam di dunia sudah mulai menjalan ibadah puasa Ramadhan.
Maka dari itu, materi khutbah Jumat awal Ramadhan menarik untuk disampaikan Khatib saat salat Jumat, sebagai pengingat pentingnya bulan Ramadhan bagi umat Islam.
Ada banyak topik khutbah Jumat awal Ramadhan yang bisa dibawakan misalnya, khutbah Jumat 10 hari pertama bulan ramadhan, khutbah Jumat puasa tapi tidak shalat, dan masih banyak lagi.
Sebagai referensi, berikut 3 khutbah Jumat awal Ramadhan, penuh makna dan menyejukkan hati.
Baca Juga: 3 Khutbah Jumat tentang Menyambut Bulan Suci Ramadhan yang Menyentuh
Khutbah Jumat 10 Hari Pertama Bulan Ramadhan
اَلْحَمْدُ ِللّٰهِ جَعَلَ رَمَضَانَ شَهْرًا مُبَارَكًا، وَفَرَضَ عَلَيْنَا الصِّيَامَ لِأَجْلِ التَّقْوٰى. أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ . اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلٰى سَيِّدِنَا مَحَمَّدٍ الْمُجْتَبٰى، وَعَلٰى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَهْلِ التُّقٰى وَالْوَفٰى. أَمَّا بَعْدُ، فَيَاأَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ! أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ فَقَدْ فَازَ مَنِ اتَّقَى. فَقَالَ اللهُ تَعَالٰى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ. يَاۤأَيُّهَا الَّذِيْنَ ءٰمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
Hadirin jamaah Jumat rahimakumullah,
Tak terasa saat ini kita telah berada pada Jumat pertama dari syahrillah, syahrin mubarak, yaitu bulan Ramadhan.
Bulan mulia ini adalah satu-satunya bulan dalam sistem penanggalan Hijriah yang disebut dalam Al-Qur’an. Ketika Nabi Muhammad ﷺ menjelaskan kemuliaan Ramadhan, maka beliau bersabda:
رَمَضَانُ شَهْرُ اللهِ وَفَضْلُهُ عَلَى سَائِرِ الشُهُوْرِ كَفَضْلِ اللهِ عَلَى خَلْقِهِ
Artinya: Ramadhan adalah bulan Allah. Keutamaannya dibanding bulan-bulan lain adalah bagaikan keutamaan Allah dibanding dengan makhluk-Nya. (Syekh Nashr ibn Muhammad as-Samarqandi, Tanbihu-l Ghafilin fi Ahaditsi Sayyidi-l Anbiyai wal Mursalin, Daru-l Kutubi-l Ilmiyyah, h. 186).
Dalam satu kesempatan ketika ketika Ramadhan tiba, beliau menyampaikan kepada para sahabat.
وَقَدْ دَنَا شَهْرُ رَمَضَانَ لَوْ يَعْلَمُ الْعِبَادُ مَا فِيْ رَمَضَانَ لَتَمَنَّتْ اُمَّتِي اَنْ يَكُوْنَ سَنَةً
Artinya: Ramadhan telah tiba. Seandainya para hamba Allah mengetahui terhadap apa-apa yang ada dalam Ramadhan, maka umatku pasti berharap agar bulan ini tetap ada selama setahun penuh. (Syekh Nashr ibn Muhammad as-Samarqandi, Tanbihu-l Ghafilin fi Ahaditsi Sayyidi-l Anbiyai wal Mursalin, h. 186).
Hadirin rahimakumullah
Membahas Ramadhan maka tak bisa lepas dari membahas salah satu rukun Islam, yaitu puasa, yang diwajibkan pada seluruh orang beriman yang telah memenuhi syarat wajibnya.
Puasa merupakan ibadah yang sangat mulia sebab pahala yang diperoleh langsung diberikan oleh Allah tanpa perlu ditanyakan jumlah lipat-gandanya.
Allah berfirman dalam hadits qudsi, “Setiap kebaikan yang dilakukan anak Adam akan dilipatgandakan dari sepuluh hingga tujuh ratus kali lipat kecuali puasa, sebab puasa itu adalah untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya kepada orang-orang yang telah menahan syahwat, makan, dan minum karena-Ku. Puasa adalah perisai. Ada dua kebahagiaan bagi orang yang berpuasa: bahagia ketika berbuka dan bahagia ketika berjumpa dengan Rabb-nya pada hari kiamat” (Syekh Nashr ibn Muhammad as-Samarqandi, Tanbihu-l Ghafilin fi Ahaditsi Sayyidi-l Anbiyai wal Mursalin, h. 185).
Dalam lain waktu, Nabi Muhammad ﷺ menjelaskan keutamaan puasa Ramadhan
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ اِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Artinya: Barang siapa yang berpuasa Ramadhan dalam keadaan iman dan ihtisab, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. (Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki, Khashaisu Ummati-l Muhammadiyyah, Hai’atu-sh Shofwati-l Malikiyyah, h. 192).
Hadirin rahimakumullah
Berkaca pada hadits tersebut, agar kita bisa memperoleh keutamaan-keutamaan yang telah dijelaskan, maka setidaknya ada dua syarat yang harus dilakukan:
Pertama, puasa dalam keadaan iman. Iman yang dimaksud adalah membenarkan semua balasan dan pahala yang telah dijanjikan oleh Allah.
Kedua, puasa dalam keadaan ihtisab, yaitu mengharap ridha Allah. Bukan puasa karena takut menjadi bahan penggunjingan orang lain.
Oleh karena itu, seyogianya kita dalam menjalani puasa Ramadhan mengetahui kemuliaan ibadah ini, menjaga lisan dari bohong, ghibah, fitnah, menjaga anggota badan dari perbuatan maksiat, menjaga hati dari sifat hasad, dan tidak memusuhi sesama.
Jika kita tidak menjauhi sifat-sifat tercela tersebut, maka dikhawatirkan kita masuk dalam golongan orang yang disabdakan oleh Rasulullah.
ﷺ, كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ اِلَّا الْجُوْعُ وَالْعَطَشُ
Artinya: Betapa banyak orang yang berpuasa tapi tidak mendapat secuil apapun dari puasanya kecuali hanya lapar dan haus. (Imam al-Ghazali, Bidayatu-l Hidayah, bab Adabu-sh Shiyam).
Hadirin rahimakumullah,
Ramadhan tidak melulu tentang kemuliaan, tapi ada juga ancaman yang ditujukan bagi segelintir orang.
Dikisahkan ketika Nabi menaiki mimbar, pada tangga pertama beliau berucap âmîn.
Pada tangga kedua dan ketiga beliau juga berucap âmîn. Para sahabat akhirnya bertanya, “Wahai Rasulullah, kami mendengar engkau mengucapkan âmîn tiga kali.” Nabi menjelaskan, “Pada tangga pertama tadi, Jibril mendatangiku dan mengatakan,
شَقِيَ عَبْدٌ أَدْرَكَ رَمَضَانَ، فَانْسَلَخَ مِنْهُ وَلَمْ يُغْفَرْ لَهُ
Artinya: Celaka orang yang menjumpai Ramadhan dan melewatinya tapi dosa-dosanya tidak diampuni.
Maka aku mengucapkan ‘âmîn’. Pada tangga kedua Jibril berkata,
شَقِيَ عَبْدٌ أَدْرَكَ وَالِدَيْهِ أَوْ أَحَدَهُمَا فَلَمْ يُدْخِلَاهُ الْجَنَّةَ
Artinya: Celaka orang yang menjumpai kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya tapi hal itu tidak bisa memasukkannya ke surga.
Maka aku mengucapkan ‘âmîn’. Pada tangga ketiga Jibril berkata,
شَقِيَ عَبْدٌ ذُكِرْتَ عِنْدَهُ وَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْكَ
Artinya: Celaka orang yang ketika namamu disebut di dekatnya, tapi ia tidak bershalawat padamu.
Maka aku mengucapkan ‘âmîn’. (Imam al-Bukhari, al-Adabu-l Mufrad, bab Man Dzukira ‘Indahu an-Nabiyyu Falam Yushalli ‘Alaihi).
Doa tersebut disampaikan oleh malaikat terbaik dan diaminkan oleh manusia sekaligus makhluk terbaik. Maka sungguh rugi orang beriman yang dosanya tidak diampuni oleh Allah setelah berlalunya Ramadhan. Nau’udzubillahi min dzalik.
Hadirin rahimakumullah
Berdasarkan keterangan-keterangan tersebut, para Hadirin, marilah kita bersama-sama mengisi Ramadhan dengan penuh kekhusyukan, dan bersama-sama memaksimalkan ibadah di dalamnya.
Semoga kita semua bisa memperoleh ridha Allah swt dari keutamaan bulan Ramadhan, serta semoga dijauhkan dari akhlak tercela yang bisa membatalkan pahala puasa.
Âmîn yâ rabbal ‘âlamîn.
أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ باَرَكَ اللهُ لِيْ وَلكمْ فِي القُرْآنِ العَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيّاكُمْ بِالآياتِ والذِّكْرِ الحَكِيْمِ. إنّهُ تَعاَلَى جَوّادٌ كَرِيْمٌ مَلِكٌ بَرٌّ رَؤُوْفٌ رَحِيْمٌ
Khutbah Jumat Puasa tapi Tidak Shalat
Pada kesempatan kali ini ini kita masih dipertemukam tamu yang sangat mulia, yakni bulan suci Ramadhan.
Oleh sebab itu, marilah kita bersama-sama menyambut bulan suci ini dengan ucapan ahlan wa sahlan wa marhaban ya ramadhan, selamat datang Ramadahan 1442 H, bulan yang dimuliakan Allah, bulan yang penuh dengan barokah dan ampunan.
Umat Islam diperintahkan untuk menyambut bulan ini dengan penuh rasa kegembiraan sebagaimana keterangan dalam sebuah hadis Rasulullah SAW :
قَدْ آتَاكُمْ رَمَضَانُ سَيِّدُ الشُّهُوْرِ فَمَرْحَبًا بِهِ وَاَهْلاً جَاءَ شَهْرُ الصِّيَامِ بِبَرَكَاتٍ فَأكْرِمْ بِهِ
Artinya: "Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, penghulu segala bulan. Maka hendaklah engkau mengucapkan selamat datang kepadanya. Telah datang bulan puasa dengan segenap berkah di dalamnya maka hendaklah engkau memuliakannya."
Pada bulan puasa ini terdapat kemuliaan, keberkahaan sebaba pada bulan Ramadhan ini banyak kejadian mulia terjadi.
Diantaranya diturunkannya Al-Qur'an dan waktu yang ditunggu bagi seluruh umat sekalian alam.
Yakni satu malam di bulan ramadhan yang lebih baik dari seribu bulan lantaran pada waktu itu dibuka pintu maghfirah ampunan selebar-lebarnya serta dilipatkan gandakan luar biasa segala amal kebaikan kita.
Betapa mulianya bulan Ramadhan ini sehingga sepantasnya kita berbahagia dalam menyambutnya dan mengisinya dengan penuh ketakwaan kualitas keimanan terbaik dan mengisinya amalan terbaik pula.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah.
Kewajiban Ibadah puasa tidak hanya datang pada saat Islam muncul namun sudah diwajibkan kepada umat-umat sebelumnya.
Sebagaimana firman Allah SWT:
يا ايُّهَا الّذِيْنَ امَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلّكُمْ تَتَّقُوْنَ
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." (QS Albaqarah 2: 183)
Perintah ayat dalam alquran ini sangat jelas bahwa puasa merupakan perkara yang wajib bahkan sudah diberlakukan kepada umat-umat sebelumnya bahkan sebelum datangnya Islam.
Orang yang mengingkari kewajiban puasa Ramadhan, maka ia kafir keluar dari lingkaran Islam.
Namun, bagaimana dengan orang yang rajin puasa tapi tidak shalat?
Apakah ibadah puasa yang dilakukan diterima?
Secara hukum, shalat Lima waktu adalah ibadah yang hukumnya wajib.
Konsekuensi hukum bagi orang yang meninggalkan shalat, amalannya tidak ada yang diterima oleh Allah ‘Azza wa Jalla, baik berupa haji, puasa, zakat, atau amalan apapun.
Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Buraidah, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berrsabda,
مَنْ تَرَكَ صَلاةَ الْعَصْرِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ
“Barangsiapa meninggalkan shalat Ashar, maka terhapuslah amalannya.” (HR. Al-Bukhari, 520)
Makna dari habitha ‘amaluhu adalah batal, tidak bermanfaat sama sekali.
Hadits ini menunjukkan bahwa orang yang meninggalkan shalat amalannya tidak akan diterima oleh Allah ‘Azza wa Jalla.
Amalan yang pernah dia lakukan sama sekali tidak akan mendatangkan manfaat bagi dirinya.
Amalannya tidak akan sampai kepada Allah ‘Azza wa Jalla; tidak diterima.
Tentang hadits di atas, Ibnu Qayyim rahimahullah menjelaskan, makna yang terkandung dari hadits tersebut bahwa bentuk at-tarku/meninggalkan itu ada dua: meninggalkan secara keseluruhan, tidak pernah shalat sama sekali.
Bentuk ‘meninggalkan’ jenis ini berkonsekuensi pada kesia-siaan seluruh amalannya.
Kemudian bentuk yang kedua, meninggalkan pada bagian atau waktu tertentu saja; tidak shalat pada hari-hari tertentu saja.
Bentuk ‘meninggalkan’ jenis ini berkonsekwensi pada kesia-siaan amal hanya pada hari itu saja.
Kesia-siaan amal adalah konsekwensi dari meninggalkan shalat keseluruhan, kesia-siaan tertentu adalah konsekwensi dari meninggalkan shalat pada waktu tertentu saja. (Ash-Shalat, 65)
Syaikh Ibnu Utsaimin pernah ditanya tentang status puasanya orang yang meninggalkan shalat. Beliau menjawab,
Baca Juga: 3 Khutbah Jumat tentang Pemilu, Pesan Perdamaian dan Persaudaraan
تَارِكُ الصَّلَاةِ صَوْمُهُ لَيْسَ بِصَحِيْحٍ وَلَا مَقْبُوْلٍ مِنْهُ؛ لِأَنَّ تَارِكَ الصَّلَاةِ كَافِرٌ مُرْتَدٌّ
Orang yang meninggalkan shalat puasanya tidak sah dan tidak diterima. Sebab orang yang meninggalkan shalat statusnya adalah kafir murtad. (Fatawa ash-Shiyam, 87)
Pernyataan beliau ini didasarkan pada firman Allah ‘Azza wa Jalla,
فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ
“Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama.” (QS. At-Taubah: 11)
Kemudian didasarkan pula pada sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاةِ
“Pemisah antara seseorang dengan syirik dan kufur adalah ditinggalkannya shalat.” (HR. Muslim, 82)
Beliau juga bersabda,
الْعَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ الصَّلاةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ
“Perjanjian antara kami dan mereka adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya, maka ia telah kafir.” (HR. At-Tirmidzi, no. 2621, dishahihkan oleh al-Albani)
Pernyataan tersebut juga telah menjadi pendapat umum para sahabat.
Abdullah bin Syaqiq, salah seorang ulama tabi’in mengatakan, para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui sebuah amalan yang jika ditinggalkan maka ia menjadi kafir kecuali shalat.
Oleh sebab itu, jika seseorang melaksanakan puasa tapi tidak shalat maka puasanya tidak diterima dan sama sekali tidak bermanfaat baginya saat hari kiamat.
Maka kami katakan, “Shalatlah, lalu puasalah, karena meskipun engkau puasa tapi tidak shalat, maka puasamu tertolak, sebab orang kafir ibadahnya tidak akan pernah diterima!” (islamqa.info)
Majelis fatwa Lajnah ad-Daimah pernah ditanya, jika ada seseorang yang rajin puasa Ramadhan dan hanya melaksanakan shalat di bulan Ramadhan saja, kemudian meninggalkan shalat seusai bulan Ramadhan, apakah puasanya diterima.
Majelis fatwa tersebut menjawab,
“Shalat adalah salah satu rukun Islam, rukun yang paling urgen setelah syahadat, dan termasuk kewajiban personal (Fardhu ‘Ain). Maka orang yang meninggalkannya baik karena faktor penentangan terhadap hukum wajibnya shalat atau karena faktor meremehkan dan bermalas-malasan maka ia telah kafir.
Dan orang-orang yang hanya puasa dan shalat di bulan Ramadhan saja maka ini adalah bentuk penipuan terhadap Allah ‘Azza wa Jalla.
Betapa buruknya orang yang tidak mengetahui Allah ‘Azza wa Jalla kecuali hanya ketika di bulan Ramadhan saja.
Puasa mereka tidak sah karena mereka meninggalkan shalat di selain bulan Ramadhan. Bahkan, status mereka adalah kafir dengan kekufuran yang besar meskipun tidak menentang atas wajibnya hukum shalat, menurut pendapat yang benar dari para ulama. (Fatawa al-Lajnah ad-da-imah, 10/140)
Syaikh Abdul Aziz bin Marzuq ath-Thurifi dalam fatwanya menyatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat secara keseluruhan maka ia telah kafir.
Seluruh amalannya tidak diterima, termasuk puasa.
Kemudian bagi orang yang kadang-kadang shalat, kadang-kadang meninggalkan shalat, maka orang seperti ini amalan puasanya masih diterima atas kehendak Allah.
Namun ia berstatus sebagai Muslim yang bermaksiat, banyak dosa.
Dari uraian di atas, disimpulkan bahwa orang yang rajin puasa tapi tidak shalat berada dalam dua kondisi.
Pertama, jika orang tersebut meninggalkan shalat seluruhnya, tidak pernah shalat sama sekali, maka otomatis ibadah lainnya tidak diterima, termasuk puasa.
Sebab secara hukum ia telah kafir.
Kedua, jika ia hanya meninggalkan shalat sebagian saja, terkadang shalat terkadang tidak shalat, maka ia masih berstatus sebagai Muslim, tapi Muslim yang bermaksiat.
Amal ibadah lainnya masih mungkin untuk diterima, atas kehendak Allah ‘Azza wa Jalla.
Dengan demikian, hendaknya setiap Muslim selalu menjaga dan melaksanakan seluruh amal ibadah yang hukumnya wajib tanpa tebang pilih, agar seluruh amal ibadah yang ia kerjakan diterima oleh Allah ‘Azza wa Jalla.
Bagi masyarakat Muslim yang masih masih terbiasa meninggalkan shalat, hendaknya segera bertaubat kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Sebab, meskipun rajin puasa tapi tidak shalat, amalan puasa yang dilakukan hanyalah sia-sia. Wallahu a’lam.
Khutbah Jumat Minggu Pertama Ramadhan
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْ جَعَلَ الصَّوْمَ حِصْنًا لِأَوْلِيَائِهِ وَ جُنَّةً، وَفَتَحَ لَهُمْ بِهِ أَبْوَابَ الْجَنَّةِ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لَانَبِيَّ بَعْدَهُ. اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ قَائِدِ الْخَلْقِ وَمُمَهِّدِ السُّنَّةِ، وَعَلَى اٰلِهِ وَأَصْحَابِهِ ذَوِيْ الْأَبْصَارِ الثَّاقِبَةِ وَالْعُقُوْلِ الْمُرَجِّحَةِ
أَمَّا بَعْدُ، فَيَااَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، اِتَّقُوْااللهَ حَقَّ تُقَاتِه وَلَا تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنـْتُمْ مُسْلِمُوْنَ فَقَدْ قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
Ma’asyiral muslimīn a’azzakumullāh.
Mengawali khutbah yang singkat ini, khatib berwasiat kepada kita semua, terutama kepada diri khatib pribadi untuk senantiasa berusaha meningkatkan ketakwaan dan keimanan kita kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan menjalankan semua kewajiban dan menjauhkan diri dari segala yang dilarang dan diharamkan.
Jamah yang dimuliakan Allah.
Alhamdulillah, tahun ini kita kembali dipertemukan dengan bulan suci Ramadhan. Bulan yang di dalamnya mempunyai sejuta keistimewaan dan keutamaan bagi umat Muslim.
Oleh karena itu, tidak heran jika pada bulan ini intensitas ibadah umat Islam semakin meningkat, baik dengan lebih serius lagi menunaikan kewajiban-kewajiban agama maupun rajin mengamalkan ibadah-ibadah sunnah di dalamnya.
Rasulullah sendiri pernah menyampaikan bahwa saat tiba bulan Ramadhan umat Muslim didorong untuk memperbanyak ibadah.
Sebab, pahala amal kebaikan di dalamnya mendapat balasan berkali-kali lipat. Dalam satu hadits diriwayatkan,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعمِائَة ضِعْفٍ، قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: إِلَّا الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ، يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِي، لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ: فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ، وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ، وَلَخُلُوفُ فَمِ الصائم أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ
Artinya, “Dari Abu Hurairah ra, dia berkata, ‘Rasulullah saw bersabda, ‘Setiap amal anak Adam dilipatgandakan pahalanya. Satu (amal) kebaikan diberi pahala sepuluh hingga tujuh ratus kali. Allah azza wajalla berfirman, ‘Kecuali puasa, karena puasa itu adalah bagi-Ku dan Akulah yang akan membalasnya. Sebab, dia telah meninggalkan nafsu syahwat dan nafsu makannya karena-Ku.’
Dan bagi orang yang berpuasa ada dua kebahagiaan. Kebahagiaan ketika dia berbuka, dan kebahagiaan ketika dia bertemu dengan Rabb-Nya.
Sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa lebih wangi di sisi Allah daripada wanginya kesturi.’” (HR Bukhari dan Muslim)
Ma’asyiral muslimīn a’azzakumullāh.
Ada tiga hal besar yang Allah janjikan untuk umat Muslim saat Ramadhan tiba, yaitu ampunan, rahmat, dan balasan surga. Rasulullah pernah bersabda,
.أَوَّلُ شَهْرِ رَمَضَانَ رَحْمَةٌ، وأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ، وَآخِرَهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ
Artinya, “Awal Bulan Ramadhan adalah rahmat, pertengahannya ampunan, dan akhirnya pembebasan dari api neraka.” (Ibnu Khuzaimah)
Pertama adalah rahmat. Rahmat merupakan kasih sayang Allah kepada hamba-Nya.
Berkat rahmat inilah kelak umat Muslim bisa mendapat ampunan di akhirat dan memperoleh balasan surga.
Bahkan dikatakan bahwa rahmat merupakan penentu nasib seseorang kelak di hari akhir. Boleh jadi orang rajin beribadah, tapi jika belum meraih rahmat Allah ia tidak mendapat jaminan masuk surga.
Meski demikian, bukan berarti kita meremehkan ibadah dengan alasan mengandalkan rahmat, karena penyebab rahmat sendiri adalah ketaatan seorang hamba kepada Allah.
Berkaitan dengan ini, ada kisah menarik tentang seorang hamba taat yang sepanjang hayatnya digunakan untuk beribadah, tapi ia masuk surga bukan sebab ibadahnya itu, melainkan karena anugerah rahmat Allah.
Kisah ini disampaikan Syekh Abul Laits as-Samarqandi dalam Tanbīhul Ghāfilīn dengan mengutip riwayat Al-Hakim dalam Mustadrak-nya.
Dikisahkan, sekali waktu Malaikat Jibril as bercerita kepada Nabi Muhammad saw, “Hai, Muhammad! demi Allah yang telah menugaskan engkau menjadi nabi. Allah memiliki seorang hamba yang ahli ibadah. Hamba tersebut hidup dan beribadah selama 500 tahun di atas gunung.”
Ringkas kisah, hamba itu memohon kepada Allah untuk mencabut nyawanya dalam keadaan sujud dan jasadnya tetap utuh sampai tiba hari kiamat.
Doanya dikabulkan. Begitu di akhirat, Allah berkata padanya, "Hamba-Ku, engkau Aku masukkan ke surga berkat rahmat-Ku!"
Hamba tersebut menyangkal. Seharusnya, protes dia, yang membuatnya masuk surga adalah ibadahnya yang ratusan tahun itu, bukan rahmat Allah.
Setelah ditimbang, ternyata bobot rahmat-Nya lebih besar daripada amal ibadah tersebut. Allah pun memerintahkan malaikat untuk memasukan dia ke neraka.
Sebelum dimasukkan ke dalam neraka, hamba itu mau mengakui bahwa rahmat Allah lebih besar dan bisa membuatnya masuk surga. Ia pun tidak jadi dimasukkan ke dalam neraka. (Abul Laits as-Samarqandi, Tanbihul Ghafilin, t.t, h. 63)
Ma’asyiral muslimīn a’azzakumullāh.
Keutamaan Ramadhan berikutnya adalah maghfirah atau ampunan Allah. Sebagai manusia, tentu sadar diri bahwa kita memiliki banyak dosa yang kian hari semakin bertambah. Sebab, berbuat salah dan dosa merupakan fitrah manusia. Rasulullah saw bersabda,
كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ.
Artinya, “Setiap anak Adam (manusia) pasti berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang bertaubat.” (HR Tirmidzi).
Hadits ini menegaskan bahwa sebagai manusia kita tidak bisa terbebas dari dosa.
Tidak peduli dia rakyat biasa atau pejabat, seorang awam atau agamawan, santri ataupun kiai, semua pasti memiliki dosa.
Hanya, yang membedakan kita semua adalah siapa yang mau mengakui atas dosa-dosanya dan bertaubat kepada Allah.
Pada momen Ramadhan ini, Allah menjanjikan limpahan ampunan bagi hamba-hamba-Nya yang bertaubat.
Oleh karena ini, jangan sia-siakan kesempatan emas yang hanya datang satu bulan dalam setahun ini.
Ma’asyiral muslimīn a’azzakumullāh.
Keistimewaan yang Allah janjikan saat Ramadhan berikutnya adalah balasan surga bagi hamba-Nya yang taat. Rasulullah pernah bersabda,
إِذَا جَاءَ رَمَضَانَ فُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنَ
Artinya, “Ketika Ramadhan tiba, dibukalah pintu-pintu surga, ditutuplah pintu-pintu neraka dan setan pun dibelenggu.” (HR Muslim)
Berkaitan dengan hadits di atas, Syekh ‘Izzuddin bin Abdissalam menjelaskan, maksud ‘dibukanya pintu surga’ merupakan simbol imbauan bagi umat Muslim untuk memperbanyak amal ibadah di bulan suci Ramadhan, sementara ‘dibelengguhnya setan’ merupakan simbol untuk mencegah diri dari perbuatan maksiat. (Syekh ‘Izzuddin bin Abdissalam, Maqashidush Shaum, 1922: 12).
Ma’asyiral muslimīn a’azzakumullāh.
Sekian khutbah yang bisa khatib sampaikan. Semoga kita bisa melalui Ramadhan tahun ini dan tahun-tahun berikutnya dengan maksimal sehingga bisa meraih ampunan, rahmat, dan balasan surga dari Allah swt.
أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ