Solo, Sonora.ID – Sambut 10 hari terakhir bulan Ramadan, Keraton Kasunanan Surakarta gelar kirab bertajuk Hajad Dalem Malam Selikuran pada Minggu (31/3/2024).
Kirab tersebut dimulai pukul 20.00 dari Siti Hinggil Keraton Solo menuju Taman Sriwedari dan dipimpin langsung oleh Paku Buwono (PB) XIII beserta permaisuri GKR Pakubuwana dan putra mahkota KGPH Purbaya.
Kirab tersebut juga diikuti oleh anggota keluarga kerajaan serta ratusan abdi dalem, dan disaksikan oleh ribuan masyarakat yang sudah menunggu di sepanjang jalan Slamet Riyadi.
Para peserta kirab tiba di taman Sriwedari tepat pukul 21.30. Kemudian, seusai kirab juga diadakan pengajian di area taman Sriwedari.
KGPH Dipokusumo, Pengageng Perentah Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, mengungkapkan bahwa tradisi kirab memperingati malam Lailatul Qadar ini merupakan inisiasi dari PB XIII untuk melestarikan tradisi yang telah ada sejak zaman PB X.
Baca Juga: 5 Tempat di Solo Ini Cocok untuk Buka Puasa Bersama Rombongan Besar
"Jadi malam ini merupakan hajad dalem malam selikuran untuk memperingati tumurining (turunnya) Lailatul Qadar. Seperti pesan dari PB XIII, Keraton Surakarta melestarikan tara cara adat tradisi ini, dimana malam selikuran yang isinya sentir, lampion, dan juga tumpeng Sewu yang memaknai turunnya malam Lailatul Qadar yang seindah seribu bulan," kata Dipokusumo.
Setelah tiba di Taman Sriwedari, tumpeng sewu dan sejumlah makanan yang menjadi arak-arakan kirab akan diserahkan untuk didoakan dan kemudian dibagikan kepada masyarakat.
"Nanti dibawa ke taman Sriwedari yang kemudian diterima oleh Imam Masjid Agung Solo dan Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan untuk didoakan dan kemudian dibagikan kepada masyarakat," ucapnya.
Sedangkan saat ditanya makna di balik benda-benda yang diarak dalam kirab, seperti ting atau sentir, Dipokusumo menjelaskan bahwa hal itu merupakan simbol atau gambaran dari seribu bulan dan bintang yang dalam Al Qur'an ketika malam Lailatul Qadar.
"Kalau Ting dan lampion itu dulu di sekitar keraton itu masih belum ada listrik. Jadi dulu penduduk-penduduk waktu itu supaya membuat lampion tapi juga sebagian lampion itu disertakan kirab seperti seribu bulan dan bintang yang artinya malam penuh dengan berkah dan rahmat sesuai seperti malam Lailatul Qadar," jelasnya.
Pada saat itu, Dipokusumo pun juga sedikit menyinggung terkait tradisi yang telah berjalan puluhan tahun tersebut.
"Dimulai sejak PB X, karena waktu itu setiap malam Lailatul Qadar hanya diselenggarakan dari Keraton sampai Masjid Agung. Kemudian muncul seperti pasar malam. Karena pasar malam sudah ada di sini yaitu Sekaten setiap Maulid Nabi," ujarnya.
Dipokusumo juga mengungkapkan bahwa tradisi Malam Selikuran ini memiliki kaitan yang erat dengan adanya tradisi Maleman Sriwedari, sebuah pesta rakyat yang pernah populer di Taman Sriwedari sejak masa pemerintahan Paku Buwono X hingga awal tahun 2000-an.
"Kemudian setelah ada Taman Sriwedari, maka kegiatan ini dilanjutkan dari keraton menuju taman Sriwedari," tandasnya.
Penulis : Kharissa Herawati
Baca berita update lainnya dari Sonora.id di Google News