Pertama, Pasal 27 ayat (3) UU ITE hanya dapat dilaporkan oleh korban langsung, sesuai dengan putusan Mahkamah Agung No 183 K/Pid/2010.
Kedua, untuk bisa melaporkan pencemaran nama baik, harus ada penyebutan nama dan tuduhan tertentu, sejalan dengan Putusan Nomor: 292/Pid.B/ 2014/PN. Rbi.
Namun, dalam kasus Yusniar, kedua hal tersebut tidak terpenuhi. Pendapat ICJR sebagai amicus curiae dipertimbangkan oleh majelis hakim dalam putusan Nomor 1933/Pid.Sus/2016/PN. Mks, yang memutuskan Yusniar bebas dari dakwaan.
Baca Juga: Arti Manuver Politik, Istilah yang Sering Disebut Jelang Pilpres 2024
3. Amicus Curiae untuk Bharada E
Gabungan antara ICJR, PIL-NET, dan ELSAM mengajukan amicus curiae untuk melindungi Bharada Eliezer Pudihang Lumiuw atau lebih dikenal sebagai Bharada E, terdakwa dalam kasus penembakan Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat.
Amicus curiae tersebut, menyatakan bahwa Bharada E memenuhi syarat sebagai justice collaborator berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014, Surat Edaran Mahkamah Agung nomor 4 tahun 2011, dan Peraturan Bersama 5 Lembaga Tahun 2011 tentang Perlindungan bagi justtice collaborator.
Partisipasi Bharada E sebagai justtice collaborator harus dipertimbangkan hakim untuk meredakan hukumannya.
Hakim kemudian menerima pendapat dari amicus curiae tersebut dalam Putusan Nomor 798/PID.B/2022/PN Jkt.Sel.
Sehingga, hukuman Bharada E diringankan dari 12 tahun menjadi 1,5 tahun.
Penggunaan amicus curiae dalam peradilan pidana di Indonesia diterima, meski regulasi formalnya masih umum dan berdasarkan Pasal 5 (1) UU Kekuasaan Kehakiman.
Pengaturan mengenai amicus curiae dalam hukum pidana masih terbatas, dengan keberadaannya saat ini sebagai sumber informasi yang membantu keyakinan hakim dalam pembuktian berdasarkan Pasal 183 KUHAP.
4. Amicus curiae dalam kasus Time vs Soeharto
Kasus ini berawal ketika majalah Time edisi Asia Volume 153 Nomor 20 terbitan 24 Mei 1999 memuat pemberitaan dan gambar Presiden Soeharto dengan judul sampul “Soeharto Inc. How Indonesia’s longtime boss built a family fortune”.
Majalah ini mengupas tentang bagaimana Soeharto membangun kekayaan keluarganya atau Soeharto Inc atau Perusahaan Soeharto dan tentang kekayaan Soeharto senilai Rp 9 miliar dolar AS yang ditransfer dari Swiss ke Austria.
Pihak Soeharto menganggap pemberitaan yang dilakukan oleh majalah Time tersebut tendensius, insinuatif dan provokatif.
Soeharto lalu menggugat majalah tersebut ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.
Dalam putusannya pada 9 November 1999, majelis hakim PN Jakarta Pusat menolak seluruh tuntutan dari Soeharto selaku penggugat dikarenakan pemberitaan Time tidak memenuhi unsur perbuatan melawan hukum.
Soeharto lalu mengajukan upaya hukum banding, namun, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta melalui putusannya pada 6 Juni 2000, menguatkan putusan PN Jakarta Pusat.
Soeharto yang belum puas kembali melakukan upaya hukum dengan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).
Hasilnya, MA membatalkan putusan tingkat pertama dan banding pada 30 Agustus 2007.
MA menghukum Time untuk membayar ganti rugi imateriil kepada Soeharto senilai Rp 1 triliun dan meminta maaf secara terbuka di media nasional maupun internasional.
Tidak terima dengan keputusan ini, Time mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) kepada MA.
Kelompok pegiat kemerdekaan pers kemudian mengajukan amicus curiae kepada MA terkait kasus ini.
Majelis peninjauan kembali kemudian mengabulkan PK yang diajukan Time pada 16 April 2009 dan menyatakan majalah tersebut tidak melakukan perbuatan melawan hukum. Putusan ini sekaligus membatalkan putusan kasasi sebelumnya.
5. Amicus curiae dalam kasus Prita Mulyasari
Lima lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang hukum mengajukan amicus curiae dalam kasus Prita Mulyasari pada Oktober 2009.
Kelima LSM itu adalah Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dan Indonesia Media Defense Litigation Network (IMDLN).
Melalui amicus curiae tersebut, mereka memberikan pandangan tentang bagaimana tindak pidana penghinaan dapat dikategorikan sebagai pasal karet yang dapat menjerat siapa pun tanpa memerhatikan konteks pernyataan dan tidak sesuai dengan ketentuan hak asasi manusia yang telah diakui dan diratifikasi oleh negara Indonesia.
Dalam kasus ini, seorang ibu rumah tangga bernama Prita Mulyasari dituduh melakukan pencemaran nama baik terhadap Rumah Sakit Omni International.
Ibu tiga anak ini diperkarakan usai mengeluhkan pelayanan RS Omni International Serpong yang dialaminya, hingga kemudian tersebar di internet pada 2008.
Dalam perkara perdata, Prita diputuskan bersalah dan diwajibkan membayar ganti rugi.
Namun, pada 29 September 2010, MA mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan Prita sehingga ia dibebaskan dari seluruh ganti rugi yang nilainya Rp 204 juta.
Sementara itu, dalam perkara pidana, kasus Prita kembali bergulir di PN Tangerang.
Amicus curiae diajukan lima LSM di bidang hukum sebagai informasi pelengkap bagi majelis hakim yang memeriksa perkara Prita di PN Tangerang.
Prita kemudian diputus bebas oleh PN Tangerang pada 25 Juni 2009. Akan tetapi, kasasi yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dikabulkan MA pada 30 Juni 2011 sehingga Prita dinyatakan bersalah secara pidana dan divonis enam bulan penjara dengan masa percobaan satu tahun.
Tidak tinggal diam, Prita kembali mengajukan PK. MA akhirnya mengabulkan permohonan PK Prita dan menganulir putusan pidana PN Tangerang dan kasasi MA pada 17 September 2012. Prita pun akhirnya bebas.
Baca berita update lainnya dari Sonora.id di Google News
Baca Juga: Arti 'Amicus Curiae' yang Populer dalam Sistem Peradilan Pidana