5 Contoh Kasus Amicus Curiae di Indonesia, Beserta Penjelasannya

19 April 2024 18:31 WIB
Ilustrasi Contoh Kasus Amicus Curiae di Indonesia
Ilustrasi Contoh Kasus Amicus Curiae di Indonesia ( Media Center PDIP)

Sonora.ID – Belakangan istilah Amicus Curiae sedang ramai diperbincangkan dan dicari di internet seiring dengan memanasnya sengketa Pilpres 2024.

Awal mula istilah ini viral di internet karena berita Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, yang mengajukan diri sebagai amicus curiae dalam perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK).

Dalam amicus curiae tersebut, Megawati meminta seluruh masyarakat berdoa agar putusan yang diambil MK dalam kasus sengekta Pilpres tidak seperti palu godam melainkan palu emas.

Sementara itu, Otto Hasibuan selaku Ketua Tim Hukum Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka menilai Megawati tidak tepat mengajukan diri sebagai amicus curiae.

Pasalnya, Mega termasuk dalam pihak yang bersengketa dalam perkara hasil Pilpres 2024. Otto berpendapat amicus curiae mestinya berasal dari pihak yang netral dan independen.

Baca Juga: Arti Serangan Fajar, Istilah Viral Ketika Pemilu 2024 dan Contohnya

Lantas apa sebenarnya arti Amicus Curiae?

Friends of court (sahabat peradilan) atau Amicus Curiae adalah konsep hukum yang memungkinkan pihak ketiga, baik itu dari individu ataupun organisasi yang bukan bertindak sebagai pihak dalam perkara namun menaruh perhatian atau lebih berkepentingan terhadap suatu kasus.

Seperti contoh, pada kasus sengketa pilpres, maka Amicus Curiae dapat berasal dari pengamat sosial politik ataupun akademisi.

Kendati demikian pendapat hukum yang disampaikan itu hanyalah sebatas opini semata dan bukan melakukan perlawanan.

Ketentuan berlakunya amicus curiae dalam sistem hukum Indonesia didasarkan pada ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Setelah mengetahui arti Amicus Curiae, supaya lebih jelas lagi, ada beberapa contoh Amicus Curiae dalam berbagai kasus di Indonesia yang bisa kamu pelajari.

Contoh Amicus Curiae di Indonesia

1. Pidana Jerinx oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR):

I Gede Ari Astina atau yang lebih akrab disapa Jerinx pernah mengkritik kebijakan wajibnya rapid test pada tahun 2020.

Saat itu, Jerinx membuat unggahan dan meminta penjelasan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentang kebijakan ini.

Alih-alih mendapat penjelasan, Jerinx dilaporkan ke kepolisian. Pada mulanya, Pengadilan Negeri Denpasar menjatuhkan vonis hukuman satu tahun dua bulan penjara plus denda 20 juta.

Ketika diajukan banding ke Pengadilan Tinggi Bali, vonis dikurangi menjadi sepuluh bulan penjara dan denda sepuluh juta subsider satu bulan.

ICJR sebagai organisasi non pemerintah menyimpulkan adanya kesalahan penerapan hukum, baik pada putusan pengadilan negeri yang juga disepakati oleh pengadilan tinggi. Karenanya, ICJR maju sebagai Amici untuk kasus ini.

2. Amicus Curiae dalam Kasus Yusniar

Pada kasus yang menjerat Yusniar, seorang ibu rumah tanggal asal Makassar, yang dituduh melanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE terkait pencemaran nama baik, peran amicus curiae yang disandang oleh Institute for Criminal Justice Reform atau ICJR sangat signifikan.

Dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri Makassar, ICJR memberikan pendapat sebagai amicus curiae yang terdiri dari dua poin penting.

Pertama, Pasal 27 ayat (3) UU ITE hanya dapat dilaporkan oleh korban langsung, sesuai dengan putusan Mahkamah Agung No 183 K/Pid/2010.

Kedua, untuk bisa melaporkan pencemaran nama baik, harus ada penyebutan nama dan tuduhan tertentu, sejalan dengan Putusan Nomor: 292/Pid.B/ 2014/PN. Rbi.

Namun, dalam kasus Yusniar, kedua hal tersebut tidak terpenuhi. Pendapat ICJR sebagai amicus curiae dipertimbangkan oleh majelis hakim dalam putusan Nomor 1933/Pid.Sus/2016/PN. Mks, yang memutuskan Yusniar bebas dari dakwaan.

Baca Juga: Arti Manuver Politik, Istilah yang Sering Disebut Jelang Pilpres 2024 

3. Amicus Curiae untuk Bharada E

Gabungan antara ICJR, PIL-NET, dan ELSAM mengajukan amicus curiae untuk melindungi Bharada Eliezer Pudihang Lumiuw atau lebih dikenal sebagai Bharada E, terdakwa dalam kasus penembakan Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat.

Amicus curiae tersebut, menyatakan bahwa Bharada E memenuhi syarat sebagai justice collaborator berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014, Surat Edaran Mahkamah Agung nomor 4 tahun 2011, dan Peraturan Bersama 5 Lembaga Tahun 2011 tentang Perlindungan bagi justtice collaborator.

Partisipasi Bharada E sebagai justtice collaborator harus dipertimbangkan hakim untuk meredakan hukumannya.

Hakim kemudian menerima pendapat dari amicus curiae tersebut dalam Putusan Nomor 798/PID.B/2022/PN Jkt.Sel.

Sehingga, hukuman Bharada E diringankan dari 12 tahun menjadi 1,5 tahun.

Penggunaan amicus curiae dalam peradilan pidana di Indonesia diterima, meski regulasi formalnya masih umum dan berdasarkan Pasal 5 (1) UU Kekuasaan Kehakiman.

Pengaturan mengenai amicus curiae dalam hukum pidana masih terbatas, dengan keberadaannya saat ini sebagai sumber informasi yang membantu keyakinan hakim dalam pembuktian berdasarkan Pasal 183 KUHAP.

4. Amicus curiae dalam kasus Time vs Soeharto

Kasus ini berawal ketika majalah Time edisi Asia Volume 153 Nomor 20 terbitan 24 Mei 1999 memuat pemberitaan dan gambar Presiden Soeharto dengan judul sampul “Soeharto Inc. How Indonesia’s longtime boss built a family fortune”.

Majalah ini mengupas tentang bagaimana Soeharto membangun kekayaan keluarganya atau Soeharto Inc atau Perusahaan Soeharto dan tentang kekayaan Soeharto senilai Rp 9 miliar dolar AS yang ditransfer dari Swiss ke Austria.

Pihak Soeharto menganggap pemberitaan yang dilakukan oleh majalah Time tersebut tendensius, insinuatif dan provokatif.

Soeharto lalu menggugat majalah tersebut ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.

Dalam putusannya pada 9 November 1999, majelis hakim PN Jakarta Pusat menolak seluruh tuntutan dari Soeharto selaku penggugat dikarenakan pemberitaan Time tidak memenuhi unsur perbuatan melawan hukum.

Soeharto lalu mengajukan upaya hukum banding, namun, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta melalui putusannya pada 6 Juni 2000, menguatkan putusan PN Jakarta Pusat.

Soeharto yang belum puas kembali melakukan upaya hukum dengan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).

Hasilnya, MA membatalkan putusan tingkat pertama dan banding pada 30 Agustus 2007.

MA menghukum Time untuk membayar ganti rugi imateriil kepada Soeharto senilai Rp 1 triliun dan meminta maaf secara terbuka di media nasional maupun internasional.

Tidak terima dengan keputusan ini, Time mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) kepada MA.

Kelompok pegiat kemerdekaan pers kemudian mengajukan amicus curiae kepada MA terkait kasus ini.

Majelis peninjauan kembali kemudian mengabulkan PK yang diajukan Time pada 16 April 2009 dan menyatakan majalah tersebut tidak melakukan perbuatan melawan hukum. Putusan ini sekaligus membatalkan putusan kasasi sebelumnya.

5. Amicus curiae dalam kasus Prita Mulyasari

Lima lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang hukum mengajukan amicus curiae dalam kasus Prita Mulyasari pada Oktober 2009.

Kelima LSM itu adalah Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dan Indonesia Media Defense Litigation Network (IMDLN).

Melalui amicus curiae tersebut, mereka memberikan pandangan tentang bagaimana tindak pidana penghinaan dapat dikategorikan sebagai pasal karet yang dapat menjerat siapa pun tanpa memerhatikan konteks pernyataan dan tidak sesuai dengan ketentuan hak asasi manusia yang telah diakui dan diratifikasi oleh negara Indonesia.

Dalam kasus ini, seorang ibu rumah tangga bernama Prita Mulyasari dituduh melakukan pencemaran nama baik terhadap Rumah Sakit Omni International.

Ibu tiga anak ini diperkarakan usai mengeluhkan pelayanan RS Omni International Serpong yang dialaminya, hingga kemudian tersebar di internet pada 2008.

Dalam perkara perdata, Prita diputuskan bersalah dan diwajibkan membayar ganti rugi.

Namun, pada 29 September 2010, MA mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan Prita sehingga ia dibebaskan dari seluruh ganti rugi yang nilainya Rp 204 juta.

Sementara itu, dalam perkara pidana, kasus Prita kembali bergulir di PN Tangerang.

Amicus curiae diajukan lima LSM di bidang hukum sebagai informasi pelengkap bagi majelis hakim yang memeriksa perkara Prita di PN Tangerang.

Prita kemudian diputus bebas oleh PN Tangerang pada 25 Juni 2009. Akan tetapi, kasasi yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dikabulkan MA pada 30 Juni 2011 sehingga Prita dinyatakan bersalah secara pidana dan divonis enam bulan penjara dengan masa percobaan satu tahun.

Tidak tinggal diam, Prita kembali mengajukan PK. MA akhirnya mengabulkan permohonan PK Prita dan menganulir putusan pidana PN Tangerang dan kasasi MA pada 17 September 2012. Prita pun akhirnya bebas.

Baca berita update lainnya dari Sonora.id di Google News

Baca Juga: Arti 'Amicus Curiae' yang Populer dalam Sistem Peradilan Pidana

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
92.0 fm
98.0 fm
102.6 fm
93.3 fm
97.4 fm
98.9 fm
101.1 fm
96.7 fm
98.9 fm
98.8 fm
97.5 fm
91.3 fm
94.4 fm
102.1 fm
98.8 fm
95.9 fm
97.8 fm
101.1 fm
101.1 Mhz Fm
101.2 fm
101.8 fm