Palembang, Sonora.ID – Pada penghujung masa pemerintahannya, Presiden Joko Widodo meneken aturan baru terkait Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).
Aturan baru tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024. Dalam peraturan ini, gaji para pekerja akan dikenakan potongan sebesar 3 persen, dengan 2,5 persen ditanggung oleh karyawan dan 0,5 persen oleh pemberi kerja.
Artinya, para pekerja akan mengalami pemotongan gaji setiap bulannya untuk Tapera.
Tapera merupakan program penyimpanan dana dalam jangka waktu tertentu untuk pembiayaan rumah.
Mengomentari perihal Tapera, Dr. MH Thamrin, Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Sriwijaya, menyatakan bahwa kebijakan tersebut kurang dialog sehingga terkesan membebani.
Baca Juga: Gen Z Banyak yang Menganggur, Akademisi Sumsel Beberkan Penyebabnya
“Kebijakan ini terlihat memperhatikan masyarakat, tapi dialognya kurang sehingga terkesan membebani. Tiga persen itu beban. Dari sisi 0,5 persen, tidak jelas apa manfaatnya. Pekerja dan pengusaha sudah terbebani oleh iuran BPJS, belum lagi cicilan lain. Tapi persoalannya, nasib tabungan ini belum jelas dari kebijakan ini. Bagaimana perhitungan inflasinya? Manfaat dan peraturan memotong gaji harus diperjelas dahulu,” ujarnya kepada Sonora Palembang (29/05/2024).
Ia mengatakan pemerintah sebaiknya mempertimbangkan kembali kebijakan ini. Setiap kebijakan problem utamanya adalah implementasi, apalagi kebijakan ini masih abu-abu. Sebelum aturan jelas, sebaiknya kebijakan ini ditunda.
“Mudah-mudahan seperti UKT, presiden berkenan membatalkan,” tambahnya.
Ia menambahkan, tabungan seharusnya bersifat sukarela. Setelah uang terkumpul, apakah nanti bisa dibelikan rumah tanpa bantuan pemerintah lainnya?
"Butuh fasilitas likuiditas dari real estate, juga yang bergaji UMR pasti butuh bantuan lainnya. Kebijakan ini harus tertulis implementasinya, bila tidak jelas akan jadi masalah, ada kebingungan pekerja dan potensi koruptif,” ujarnya.
Terkait UKT yang batal naik, Thamrin menilai bahwa ada ketidaksinkronan antara orkestra dalam bidang pendidikan.
Memang undang-undang mengamanatkan agar menganggarkan dana yang besar untuk pendidikan.
Baca Juga: Buka Sriwijaya Expo 2024, Pj Gubernur Sumsel Komitmen Kembalikan Kejayaan Bumi Sriwijaya
Hal tersebut sudah dilakukan, namun dalam prakteknya dana dibagi-bagi lagi.
Mau tidak mau, perguruan tinggi yang berbadan hukum harus mencari kreasi lain, salah satunya lewat UKT.
Seharusnya pemerintah tidak memberikan semua ke Kemendikbud. Pendidikan harus bisa dinikmati oleh semua kalangan. Biaya UKT sebaiknya sebagian harus ditanggung pemerintah, tutupnya.