Khairul juga menekankan ditengah luasnya wilayah Indonesia dan tantangan kedepannya, TNI AU perlu memperhatikan tiga aspek dalam pembangunan kekuatan udara Indonesia. Ketiga aspek itu masing-masing yaitu aspek organisasi, teknologi dan kesiapan operasi.
Pertama, untuk aspek organisasi, Khairul berpendapat TNI AU harus mampu mengembangkan organisasi agar sesuai ragam ancaman dengan mempertimbangkan kondisi geopolitik-geostrategis, dan mampu menjawab tantangan dan mengantisipasi kendala. Kedua, aspek teknologi, yang berarti TNI AU membutuhkan alutsista udara yang bukan saja modern, tapi juga siap tempur, memiliki efek deteren yang memadai serta mampu beroperasi multimisi dan multi peran. Hal tersebut, tambah Khairul, perlu dimiliki pesawat tempur, pesawat angkut, kemampuan pertahanan pangkalan, alutsista anti-serangan udara, bahkan sistem radar TNI AU.
“Ketiga, yakni aspek kesiapan operasi. Ini meliputi upaya memelihara kesiapsiagaan tempur dan meningkatkan kecakapan SDM dalam pengembangan strategi operasi, serta penggunaan dan pemeliharaan alutsista. TNI AU perlu memastikan alutsista dalam keadaan terawat, terpelihara dan siap tempur, juga memastikan ketersediaan dukungan logistik,” tambahnya
Ditengah ancaman konflik global dan tekanan geopolitik, Khairul menegaskan bagi Indonesia, kekuatan udara nasional berperan penting menjaga kedaulatan NKRI di udara. Dengan keberadaan pesawat tempur andal, TNI AU akan disegani di kawasan. Maka dari itu, dalam konteks postur pertahanan udara Indonesia, belanja alpalhankam-alutsista harus dilihat sebagai bagian dari keseluruhan upaya meningkatkan kemampuan TNI AU.
"Karena itu harus selalu dipastikan bahwa usulan-usulan belanja TNI AU benar-benar berbasis kebutuhan bukan sekadar keinginan," ungkap Khairul
Khairul Fahmi, Pengamat Militer ISESS menjelaskan belanja itu juga harus merupakan bagian dari upaya membangun supremasi dan superioritas udara sebagai variabel penting untuk meningkatkan kewibawaan, bargaining position, dan mengamankan arah kepentingan nasional Indonesia agar tetap terjaga. Jadi walaupun kapasitas kekuatan udara saat ini masih kalah dari Australia dan Singapura, setidaknya upaya Indonesia untuk menjadi stabilisator kawasan akan berjalan di jalur yang tepat.
Mengenai kekuatan udara Indonesia, Khairul mengakui masih belum cukup memadai untuk menjaga ruang udara sepenuhnya. Apalagi untuk benar-benar menjadi kekuatan yang disegani dunia. Indikatornya, bisa diilihat dari capaian Minimum Essential Force (MEF) TNI AU yang masih paling bawah.
"TNI AU baru separuh capaian, baru mendekati 50 persen MEF. Itu artinya masih tertinggal dengan matra lain sehingga tentu saja perlu menjadi perhatian supaya peremajaan maupun pengembangan kekuatan ini tetap proporsional. Termasuk juga dalam hal pengembangan Komando Pasukan Gerak Cepat (Kopasgat) TNI AU sebagai kekuatan pemukul andalan matra udara," tambahnya
Ke depan, Khairul Fahmi berharap TNI AU juga harus terus memperkuat kemampuan interoperabilitas baik antar kesatuan di lingkungan TNI AU sendiri, maupun antarmatra. Ia menjelaskan interoperabilitas adalah kemampuan bertindak bersama secara koheren, efektif dan efisien untuk mencapai tujuan taktis, operasional dan strategis.
Secara khusus, interoperabilitas memungkinkan kekuatan, unit dan/atau sistem untuk beroperasi bersama, berkomunikasi dan berbagi kesamaan doktrin dan prosedur, serta infrastruktur dan basis masing-masing. Interoperabilitas akan mengurangi duplikasi, memungkinkan pengumpulan sumber daya dan menghasilkan sinergi.
"Jadi TNI AU harus memproyeksikan kebutuhan alpalhankam-alutsista dan kompetensi prajurit yang mampu menghadirkan efek gentar di udara sekaligus memberikan dukungan serangan darat maupun operasi-operasi maritim. Artinya, interoperabilitas TNI diharapkan juga akan meningkat dengan dukungan kehadiran peralatan persenjataan dan personel yang andal," pungkasnya.