Publik dapat melihat dan menilai langsung bagaimana para calon pemimpin merespons isu-isu krusial yang mereka hadapi.
Tak kalah penting, media juga berfungsi sebagai ruang aspirasi masyarakat, terutama bagi kelompok-kelompok yang terpinggirkan atau termarjinalkan. Dengan pemberitaan yang inklusif, media dapat menampung suara-suara dari kelompok yang selama ini mungkin tidak mendapat perhatian. Media menjadi jembatan yang mempertemukan aspirasi rakyat dengan kebijakan para pemimpin yang akan terpilih.
Dalam menjaga integritas Pilkada, media memiliki tanggung jawab besar untuk tetap netral dan objektif. Fungsi media sebagai pengawas, penyedia informasi, dan ruang aspirasi publik harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab. Namun, media juga dihadapkan dengam berbagai macam tantangan dalam menjalankan perannya untuk mengawal Pilkada.
Baca Juga: Siapkan Surat Suara, Ini Urutan Paslon Calon Wali Kota Malang
Sugeng menjelaskan bahwa tantangan utama yang dihadapi oleh media dalam mengawal Pilkada di antaranya yaitu:
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi media dalam konteks Pilkada adalah perubahan pola konsumsi informasi masyarakat. Jika dahulu masyarakat mengandalkan media arus utama seperti surat kabar, radio, dan televisi untuk mendapatkan informasi, kini platform digital dan media sosial telah menjadi sumber informasi utama bagi banyak orang.
Perubahan ini menuntut media konvensional untuk beradaptasi. Meskipun platform digital menawarkan akses informasi yang cepat dan mudah, banyak di antaranya tidak memiliki standar jurnalisme yang memadai. Akibatnya, berita yang disajikan cenderung sensasional tanpa melalui proses verifikasi yang baik. Di sisi lain, media mainstream harus berusaha mempertahankan integritas jurnalistik sambil tetap relevan di era digital.
Di tengah perkembangan teknologi, tantangan berikutnya adalah disinformasi dan hoaks. Pilkada sering kali menjadi ladang subur bagi penyebaran berita palsu yang bertujuan untuk menguntungkan atau merugikan kandidat tertentu. Disinformasi dapat membingungkan pemilih dan menurunkan kualitas demokrasi. Media memiliki tanggung jawab besar untuk memerangi hoaks dengan menyediakan informasi yang akurat dan terverifikasi.
Namun, fakta menunjukkan bahwa hoaks sering kali lebih cepat menyebar daripada klarifikasi atau fakta yang sesungguhnya. Hal ini membuat media harus bergerak lebih cepat dan cermat dalam menyajikan berita yang benar untuk menangkal disinformasi yang beredar.
Tantangan lain yang dihadapi media dalam pilkada adalah fenomena homeless media, di mana semakin banyak jurnalis atau penulis yang bekerja secara independen tanpa afiliasi dengan perusahaan media besar.
Praktik ini memungkinkan jurnalis untuk menulis artikel atau membuat konten tanpa kontrol redaksional yang ketat, yang sering kali berdampak pada kualitas dan akurasi informasi yang disajikan.
Meskipun homeless media dapat memberikan perspektif yang lebih independen, ketidakberpihakan dan kualitas jurnalisme yang tidak terjamin dapat merusak integritas informasi yang diterima masyarakat.
Ini bisa menjadi masalah besar saat berita yang tidak terverifikasi menyebar luas di tengah masa kampanye yang sensitif.
Baca Juga: Nonton Bareng Film ‘Tepatilah Janji’ Menjelang Pemilihan Kepala Daerah Kota Malang 2024
Media di Indonesia juga kerap menghadapi tekanan ekonomi dan politik, yang bisa mengancam independensi mereka. Banyak media yang dimiliki oleh tokoh atau kelompok politik tertentu, sehingga keberpihakannya terhadap calon tertentu bisa memengaruhi cara pemberitaan pilkada.
Selain itu, tekanan ekonomi dalam bentuk iklan politik juga sering kali memengaruhi netralitas media. Dengan semakin ketatnya persaingan bisnis media, banyak outlet berita yang tergantung pada pendapatan iklan politik, yang bisa membatasi ruang redaksi untuk bersikap netral. Hal ini mempersulit media untuk menjalankan fungsinya sebagai pengawas yang objektif selama proses pilkada.
Fenomena post-truth atau pasca-kebenaran, di mana fakta-fakta objektif menjadi kurang penting dibandingkan emosi atau keyakinan pribadi, juga menjadi tantangan serius bagi media. Dalam konteks Pilkada, narasi yang lebih mengutamakan emosi dibandingkan fakta sering kali lebih menarik perhatian publik. Akibatnya, berita yang tidak sepenuhnya berdasarkan fakta justru bisa lebih memengaruhi opini pemilih.
"Kadang para pembaca salam memahami berita yang kita tulis, karena orang memiliki pemahaman sendiri, kayak viral itu dipahami sebagai kebenaran, tapi tidak otomatis yang viral itu benar," tegas sugeng.
Media di era pasca-kebenaran harus berjuang lebih keras untuk mempertahankan akurasi informasi di tengah masyarakat yang semakin terpolarisasi secara politik. Menghadapi situasi ini, media harus tetap konsisten dalam memprioritaskan kebenaran di atas sensasi.
Terakhir, perkembangan teknologi informasi membawa tantangan dalam bentuk algoritma dan filter bubble. Platform digital seperti media sosial menggunakan algoritma untuk menyesuaikan konten yang ditampilkan kepada pengguna berdasarkan preferensi mereka. Akibatnya, pengguna cenderung hanya mendapatkan informasi yang mendukung pandangan mereka sendiri, yang menciptakan fenomena filter bubble atau ruang gema.
"Algoritma, filter bubble juga menjadi sebuah kesulitan tersendiri," tambahnya.
Fenomena ini mempersempit ruang debat publik dan mengurangi eksposur masyarakat terhadap pandangan yang berbeda. Media mainstream harus mampu memecah filter bubble ini dengan menyajikan berita yang berimbang dan memberikan akses informasi yang lebih luas kepada publik.
Dalam menghadapi tantangan-tantangan ini, media dituntut untuk terus beradaptasi dan mempertahankan integritas jurnalistiknya. Perubahan pola konsumsi informasi, disinformasi, tekanan ekonomi-politik, hingga fenomena post-truth dan algoritma digital adalah rintangan yang harus diatasi. Hanya dengan demikian, media dapat berperan optimal dalam mengawal Pilkada yang berintegritas dan menjaga kualitas demokrasi di Indonesia.
Baca Juga: Nonton Bareng Film ‘Tepatilah Janji’ Menjelang Pemilihan Kepala Daerah Kota Malang 2024