Malang, Sonora.ID – Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang berintegritas merupakan salah satu pilar penting dalam menjaga keberlanjutan demokrasi di Indonesia.
Pelaksanaan pilkada yang jujur, adil, transparan, serta penegakan hukum yang ketat menjadi kunci utama untuk mewujudkan demokrasi yang sehat.
Namun, untuk mencapai hal tersebut, dibutuhkan kontribusi dari berbagai pihak, termasuk penyelenggara, pasangan calon (paslon), pemilih, pemantau, dan media.
Hal ini disampaikan oleh akademisi Sugeng Winarno, S.Sos., M.A. dalam acara Media Gathering dengan tema “Sinergitas untuk Pilkada Kota Malang yang Berintegritas” yang dilaksanakan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kota Malang pada Rabu (25/09/2024) di Hotel Zamzam Kota Batu.
Menurut Sugeng media memegang peranan penting dalam memastikan integritas pilkada tetap terjaga, antara lain:
Media sering disebut sebagai pilar keempat demokrasi. Setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif, media berfungsi sebagai pengawas dan penyeimbang kekuasaan.
Dalam Pilkada, peran media menjadi sangat vital dalam memberikan pengawasan terhadap seluruh proses yang berlangsung.
Media berperan memastikan setiap tahapan pilkada berjalan sesuai dengan aturan dan meminimalisir potensi kecurangan yang mungkin terjadi.
Selain sebagai pengawas, media juga bertugas sebagai penyedia informasi yang akurat dan objektif.
Di tengah derasnya arus informasi, masyarakat membutuhkan pemberitaan yang dapat diandalkan untuk menentukan pilihan secara bijak.
Media diharapkan mampu menyajikan informasi yang lengkap dan bebas dari kepentingan politik tertentu, sehingga publik dapat menilai para calon berdasarkan rekam jejak dan program kerja mereka.
Baca Juga: Ini Nomor Urut Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Malang
Media juga memiliki tanggung jawab besar dalam hal pendidikan politik masyarakat. Di masa kampanye, media berperan dalam menyampaikan informasi terkait hak dan kewajiban pemilih, tata cara memilih yang benar, serta pentingnya partisipasi aktif dalam pilkada.
Dengan demikian, masyarakat dapat memahami proses demokrasi dengan lebih baik dan terlibat aktif dalam menjaga kualitas pemilu.
Dalam pilkada, media sering kali berfungsi sebagai "watchdog", atau pengawas, terhadap potensi pelanggaran atau kecurangan yang terjadi.
Dengan melakukan investigasi jurnalistik yang mendalam, media dapat membantu mengungkap berbagai bentuk pelanggaran seperti politik uang, kampanye hitam, atau penyalahgunaan wewenang oleh kandidat atau pihak-pihak tertentu.
Media juga berperan sebagai "pemantau independen" dalam jalannya pilkada. Mereka bekerja sama dengan lembaga pemantau untuk memastikan bahwa proses pilkada berjalan sesuai aturan.
Mulai dari melaporkan hasil survei, menyiarkan debat kandidat, hingga memberikan hasil perhitungan cepat (quick count), media membantu meningkatkan transparansi dan kepercayaan publik terhadap proses pemilihan.
Selain itu, media menyediakan platform untuk debat publik, baik melalui siaran televisi, radio, atau media online.
Acara debat calon kepala daerah, wawancara eksklusif, dan diskusi politik di media menjadi ruang penting bagi masyarakat untuk menilai kompetensi dan visi-misi para calon.
Publik dapat melihat dan menilai langsung bagaimana para calon pemimpin merespons isu-isu krusial yang mereka hadapi.
Tak kalah penting, media juga berfungsi sebagai ruang aspirasi masyarakat, terutama bagi kelompok-kelompok yang terpinggirkan atau termarjinalkan. Dengan pemberitaan yang inklusif, media dapat menampung suara-suara dari kelompok yang selama ini mungkin tidak mendapat perhatian. Media menjadi jembatan yang mempertemukan aspirasi rakyat dengan kebijakan para pemimpin yang akan terpilih.
Dalam menjaga integritas Pilkada, media memiliki tanggung jawab besar untuk tetap netral dan objektif. Fungsi media sebagai pengawas, penyedia informasi, dan ruang aspirasi publik harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab. Namun, media juga dihadapkan dengam berbagai macam tantangan dalam menjalankan perannya untuk mengawal Pilkada.
Baca Juga: Siapkan Surat Suara, Ini Urutan Paslon Calon Wali Kota Malang
Sugeng menjelaskan bahwa tantangan utama yang dihadapi oleh media dalam mengawal Pilkada di antaranya yaitu:
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi media dalam konteks Pilkada adalah perubahan pola konsumsi informasi masyarakat. Jika dahulu masyarakat mengandalkan media arus utama seperti surat kabar, radio, dan televisi untuk mendapatkan informasi, kini platform digital dan media sosial telah menjadi sumber informasi utama bagi banyak orang.
Perubahan ini menuntut media konvensional untuk beradaptasi. Meskipun platform digital menawarkan akses informasi yang cepat dan mudah, banyak di antaranya tidak memiliki standar jurnalisme yang memadai. Akibatnya, berita yang disajikan cenderung sensasional tanpa melalui proses verifikasi yang baik. Di sisi lain, media mainstream harus berusaha mempertahankan integritas jurnalistik sambil tetap relevan di era digital.
Di tengah perkembangan teknologi, tantangan berikutnya adalah disinformasi dan hoaks. Pilkada sering kali menjadi ladang subur bagi penyebaran berita palsu yang bertujuan untuk menguntungkan atau merugikan kandidat tertentu. Disinformasi dapat membingungkan pemilih dan menurunkan kualitas demokrasi. Media memiliki tanggung jawab besar untuk memerangi hoaks dengan menyediakan informasi yang akurat dan terverifikasi.
Namun, fakta menunjukkan bahwa hoaks sering kali lebih cepat menyebar daripada klarifikasi atau fakta yang sesungguhnya. Hal ini membuat media harus bergerak lebih cepat dan cermat dalam menyajikan berita yang benar untuk menangkal disinformasi yang beredar.
Tantangan lain yang dihadapi media dalam pilkada adalah fenomena homeless media, di mana semakin banyak jurnalis atau penulis yang bekerja secara independen tanpa afiliasi dengan perusahaan media besar.
Praktik ini memungkinkan jurnalis untuk menulis artikel atau membuat konten tanpa kontrol redaksional yang ketat, yang sering kali berdampak pada kualitas dan akurasi informasi yang disajikan.
Meskipun homeless media dapat memberikan perspektif yang lebih independen, ketidakberpihakan dan kualitas jurnalisme yang tidak terjamin dapat merusak integritas informasi yang diterima masyarakat.
Ini bisa menjadi masalah besar saat berita yang tidak terverifikasi menyebar luas di tengah masa kampanye yang sensitif.
Baca Juga: Nonton Bareng Film ‘Tepatilah Janji’ Menjelang Pemilihan Kepala Daerah Kota Malang 2024
Media di Indonesia juga kerap menghadapi tekanan ekonomi dan politik, yang bisa mengancam independensi mereka. Banyak media yang dimiliki oleh tokoh atau kelompok politik tertentu, sehingga keberpihakannya terhadap calon tertentu bisa memengaruhi cara pemberitaan pilkada.
Selain itu, tekanan ekonomi dalam bentuk iklan politik juga sering kali memengaruhi netralitas media. Dengan semakin ketatnya persaingan bisnis media, banyak outlet berita yang tergantung pada pendapatan iklan politik, yang bisa membatasi ruang redaksi untuk bersikap netral. Hal ini mempersulit media untuk menjalankan fungsinya sebagai pengawas yang objektif selama proses pilkada.
Fenomena post-truth atau pasca-kebenaran, di mana fakta-fakta objektif menjadi kurang penting dibandingkan emosi atau keyakinan pribadi, juga menjadi tantangan serius bagi media. Dalam konteks Pilkada, narasi yang lebih mengutamakan emosi dibandingkan fakta sering kali lebih menarik perhatian publik. Akibatnya, berita yang tidak sepenuhnya berdasarkan fakta justru bisa lebih memengaruhi opini pemilih.
"Kadang para pembaca salam memahami berita yang kita tulis, karena orang memiliki pemahaman sendiri, kayak viral itu dipahami sebagai kebenaran, tapi tidak otomatis yang viral itu benar," tegas sugeng.
Media di era pasca-kebenaran harus berjuang lebih keras untuk mempertahankan akurasi informasi di tengah masyarakat yang semakin terpolarisasi secara politik. Menghadapi situasi ini, media harus tetap konsisten dalam memprioritaskan kebenaran di atas sensasi.
Terakhir, perkembangan teknologi informasi membawa tantangan dalam bentuk algoritma dan filter bubble. Platform digital seperti media sosial menggunakan algoritma untuk menyesuaikan konten yang ditampilkan kepada pengguna berdasarkan preferensi mereka. Akibatnya, pengguna cenderung hanya mendapatkan informasi yang mendukung pandangan mereka sendiri, yang menciptakan fenomena filter bubble atau ruang gema.
"Algoritma, filter bubble juga menjadi sebuah kesulitan tersendiri," tambahnya.
Fenomena ini mempersempit ruang debat publik dan mengurangi eksposur masyarakat terhadap pandangan yang berbeda. Media mainstream harus mampu memecah filter bubble ini dengan menyajikan berita yang berimbang dan memberikan akses informasi yang lebih luas kepada publik.
Dalam menghadapi tantangan-tantangan ini, media dituntut untuk terus beradaptasi dan mempertahankan integritas jurnalistiknya. Perubahan pola konsumsi informasi, disinformasi, tekanan ekonomi-politik, hingga fenomena post-truth dan algoritma digital adalah rintangan yang harus diatasi. Hanya dengan demikian, media dapat berperan optimal dalam mengawal Pilkada yang berintegritas dan menjaga kualitas demokrasi di Indonesia.
Baca Juga: Nonton Bareng Film ‘Tepatilah Janji’ Menjelang Pemilihan Kepala Daerah Kota Malang 2024