semua makhluk hidup.
Namun, kematian bukan akhir dari segalanya. Pertanyaan yang lebih penting adalah: bagai-
mana akhir hidup kita? Apakah dengan baik (ḥusnul khātimah) atau dengan buruk (su`ul khātimah)?
Saudaraku Jemaah yang dirahmati Allah Yang Maha Cinta,
Bagaimana kehidupan kita bisa dikuasai oleh komunikasi, jiwa, dan hati yang salah? Akarnya terletak pada pendapat, ayat, dan pemikiran yang tidak tepat untuk kita konsumsi.
Kita mencerna informasi, mengucapkannya, dan membiarkannya membentuk hati kita. Hati yang penuh dengan informasi yang salah kemudian menjadi jiwa yang kacau.
Bahkan begini, ada ayat dalam Surah al-Ankabūt bunyinya begini:
“Apakah manusia itu mengira mereka dicampakkan begitu saja? di bumi ini maksudnya ya, lalu dengan seenaknya mengatakan “kami beriman”, padahal mereka belum difitnah (maknanya belum diuji). Padahal mereka belum diuji, kok seenaknya mengatakan demikian.
Bahkan dalam sebuah ḥadīṡ yang diriwayatkan oleh aṭ-Ṭabrānī:
“Kalau Allah senang pada suatu kaum, maka Allah pasti mengujinya.” Bahkan, diredaksi yang lain, kata qauman menjadi ‘abdan, “Kalau Allah mencintai seseorang, maka Allah mengujinya.”
Lalu apa sih tujuan Allah memberikan musibah itu? apa? Dalam Surah al-Baqarah ayat-156 yang berbunyi:
Rupanya tujuannya untuk perbaikan jiwa kita, supaya ada dinamika. Karena kalau hidup ini mulus terus, tidak ada cobaan, ujian, musibah, dan sebagainya, maka orang-orang akan jumawa, sombong, songong, bahkan lupa statusnya sebagai hamba.
Jadi Allah membuat sebuah mekanisme dari kalimat “innā lillāhi wa innā ilaihi rāji`ūn” bahwa se-
bagai fungsi agar manusia sabar, dengan kesabaran paling sempurna.
Apa itu kesabaran dari kalimat innā lillāhi itu, Ibnu Asyūr menyebutnya kesabaran itu bersamaan dengan basyīrah, eye of heart, mata hati. Kesabaran yang muncul dari hati.
Bukan hanya memandang peristiwanya, tapi meta peristiwa (peristiwa di balik peristiwa).
Jadi begitu bencana datang, Ia tidak hanya meratakan, meluluhlantahkan yang durhaka, yang zalim, yang menyalahgunakan ilmunya, yang menyalahgunakan kuasanya, yang menyalahgunakan falisitas Tuhan saja.
Tapi semuanya ditimpa. Di sini, ada orang-orang yang derajatnya mukhliṣīn (sabar
dengan itu), ada orang yang mau tidak mau dipaksa sabar, dipaksa ikhlas, namanya mukhlaṣīn.
Lanjut menurut Imām ar-Rāzy, bahwa orang yang ditimpa musibah harus rida. Dengan menyatakan “innā lillāhi wa innā ilaihi rāji`ūn”, kita rida kepada what next.