Menurut Ahmad Syukri, praktik kebijakan pembangunan dan pengembangan hutan tanaman industri maupun Hutan Tanaman Energi di Indonesia, termasuk di Kalbar selalu memicu terjadinya perampasan tanah-tanah masyarakat (land grabbing), dan melahirkan konflik lahan dan hutan dengan masyarakat lokal (land tenure dispute) yang terus berulang dan berlarut.
Pada banyak tempat di Kalimantan Barat, masyarakat yang menjadi korban dari pemberian izin konsesi dan beroperasinya perusahaan hutan tanaman industri adalah masyarakat adat. Bagi mereka, tanah dan hutan dengan semua sumber dayanya merupakan sumber penghidupan turun temurun.
Di sisi lain, perluasan izin konsesi HTI/HTE, tak terhindarkan justru akan mendorong pembukaan tutupan hutan, atau laju deforestasi dan degradasi lahan akan jauh lebih intensif dan luas. Dengan demikian, target penurunan emisi karbon melalui skema REDD dipastikan gagal terpenuhi. Bahkan mendorong perubahan struktur dan fungsi ekosistem hutan dan habitatnya, termasuk mengancam kepunahan beberapa jenis satwa langka, seperti Orangutan Kalimantan (Pongo Pygmaeus). Belum lagi pembakaran biomassa akan menghasilkan polusi udara yang dapat membahayakan kesehatan masyarakat.
Dalam dokumen Rencana Operasional Indonesia’s Forestry and Other Land Uses (FoLU) Net Sink 2030 yang selaras dengan target Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC), untuk memenuhi target Net Sink 2030 dibutuhkan pembangunan hutan tanaman, termasuk HTE baru hingga 6 juta hektar.
Data Forest Watch Indonesia (FWI) menyebutkan bahwa pengembangan Hutan Tanaman Energi (HTE) untuk proyek kayu biomassa justru akan menambah masalah baru. Pasalnya potensi deforestasi dari pembangunan HTE ini sangat masif. Total luas potensi HTE di Indonesia mencapai 1,29 juta hektar. Sebanyak 31 unit usaha telah berkomitmen mengembangkan HTE. Bahkan di Kalbar setidaknya ada tujuh korporasi yang mendapat izin untuk mengembangkan HTE.
Ketujuh perusahaan tersebut adalah PT. Muara Sungai Landak (MSL) dengan luas konsesi 13.000 Ha di Kabupaten Mempawah, PT. Hutan Ketapang Industri dengan luasan konsesi 100.150 Ha di Ketapang, PT. Gambaru Selaras Alam dengan luas konsesi 20.445 Ha di Sanggau, PT. Inhutani III Nanga Pinoh dengan luas konsesi 119.080 Ha di Melawi, PT. Bhatara Alam Lestari dengan luas konses 7.100 Ha di Mempawah, PT. Nityasa Idola dengan luas konsesi 113.196 Ha di Sanggau, dan PT. Daya Tani Kalbar dengan luas konsesi 56.060 Ha di Ketapang.
Manajer Kampanye Bioenergi Trend Asia Amalya Reza Oktaviani mengatakan, Pemerintah Indonesia kerap kali menyampaikan komitmennya untuk melakukan transisi energi, namun justru mengedepankan solusi palsu.
“Pengembangan industri biomassa melalui pembukaan HTE besar-besaran di Kalimantan Barat, hanya akan mengakibatkan krisis iklim yang makin parah. Masih ada 56.372 hektare hutan alam di dalam 7 konsesi HTE di Kalimantan Barat. Apabila hutan alam tersisa tersebut dibuka untuk ditanami tanaman energi, maka potensi pelepasan emisi karbonnya bisa mencapai 36,5 juta ton emisi karbon. Ditambah dengan emisi pembakaran biomassa di PLTBm. Seharusnya, Pemerintah Daerah Kalimantan Barat melakukan peninjauan kembali terhadap rencana pengembangan energi terbarukan di Kalimantan Barat. Cari sumber energi yang benar-benar terbarukan, dan terutama berkeadilan bagi masyarakat, ”ungkap Reza.
Kalimantan Barat merupakan salah satu provinsi dengan target mitigasi deforestasi hutan alam terluas dengan total 917.000 Ha. Sementara bila Kalimantan Barat dijadikan sentra pengembangan biomassa, maka potensi hutan alam yang hilang akan sangat besar.