Pontianak, Sonora.ID - Koalisi Transisi Energi Berkeadilan menggelar aksi damai di Kantor Gubernur Kalimantan Barat untuk memperingati Big Bad Biomass Internasional Day. Aksi ini menyoroti komitmen Indonesia dalam menurunkan emisi karbon melalui pengembangan energi bersih, sejalan dengan kebijakan pemerintah yang mendukung sektor energi dan kehutanan.
Indonesia, sebagai salah satu negara yang berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon, telah mengeluarkan sejumlah kebijakan strategis. Salah satunya adalah Peraturan Presiden No. 79 Tahun 2014, yang melahirkan Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan diperbarui pada tahun 2024. Dalam kebijakan ini, biomassa diakui sebagai sumber energi terbarukan yang utama dan diprioritaskan dalam bauran energi nasional hingga tahun 2040, bahkan mengungguli energi dari surya, angin, dan air.
Selanjutnya, Peraturan Presiden No. 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) mewajibkan badan usaha penyedia tenaga listrik untuk membeli listrik dari pembangkit listrik tenaga biomassa (PLTBm). Selain itu, kebijakan ini juga mendorong pembangunan minimal satu unit PLTBm di setiap provinsi di Indonesia.
Untuk mendukung pemenuhan kebutuhan biomassa kayu, pemerintah telah menetapkan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan Tanaman (PBPH-HT) melalui PP No. 23 Tahun 2021, yang mengatur perizinan multi usaha di sektor kehutanan. Tambahan pula, Permen LHK No. 7 Tahun 2021 menegaskan bahwa kawasan hutan produksi konversi akan dicadangkan untuk ketahanan energi, termasuk pengembangan Hutan Tanaman Energi.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor.SK.733/Menhut-II/2014 Tentang Kawasan Hutan dan Konservasi Perairan Provinsi Kalimantan Barat, luas kawasan hutan negara di Kalimatan Barat adalah 8.389.600 Ha atau 57,15 persen dari luas total wilayahnya.
Dari luasan kawasan hutan tersebut, 4.457.681 hektar atau setara 53,13 persen dari luas kawasan hutan adalah kawasan hutan produksi yang terdiri atas Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas 2.132.398 Ha, Kawasan Hutan Produksi (HP) seluas 2.127.365 Ha, dan Kawasan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK) seluas 197.918 Ha. Berarti terdapat ancaman dari proyek energi terhadap hutan alam di dalam fungsi HPK.
Sampai dengan tahun 2022, setidaknya terdapat 68 izin PBPH dengan luas 2.767.488 hektar dan merupakan area konsesi PBPH terluas di Indonesia.
Baca Juga: KOMIC PON Gelar Jamming Session Semarakkan HUT Kota Pontianak ke - 253 Tahun
Bahkan dalam rencana optimalisasi kebijakan transisi energi melalui pengembangan biomassa, sejumlah PLTU di Kalimantan Barat, setidaknya ada 7 PLTU, seperti PLTU Parit Baru Site Bengkayang 01 dan PLTU Ketapang 01 dapat dikembangkan dalam skema program Co-Firing.
Ketua Lingkaran Advokasi dan Riset (Link-AR) Borneo Ahmad Syukri menyebut, proyek transisi energi yang dijalankan saat ini berpotensi menimbulkan krisis lingkungan dan sosial yang lebih luas. Dimana masyarakat selalu menjadi pihak yang harus menanggung semua dampak negatif secara sosial, ekonomi dan lingkungan yang ditimbulkannya.
Menurut Ahmad Syukri, praktik kebijakan pembangunan dan pengembangan hutan tanaman industri maupun Hutan Tanaman Energi di Indonesia, termasuk di Kalbar selalu memicu terjadinya perampasan tanah-tanah masyarakat (land grabbing), dan melahirkan konflik lahan dan hutan dengan masyarakat lokal (land tenure dispute) yang terus berulang dan berlarut.
Pada banyak tempat di Kalimantan Barat, masyarakat yang menjadi korban dari pemberian izin konsesi dan beroperasinya perusahaan hutan tanaman industri adalah masyarakat adat. Bagi mereka, tanah dan hutan dengan semua sumber dayanya merupakan sumber penghidupan turun temurun.
Di sisi lain, perluasan izin konsesi HTI/HTE, tak terhindarkan justru akan mendorong pembukaan tutupan hutan, atau laju deforestasi dan degradasi lahan akan jauh lebih intensif dan luas. Dengan demikian, target penurunan emisi karbon melalui skema REDD dipastikan gagal terpenuhi. Bahkan mendorong perubahan struktur dan fungsi ekosistem hutan dan habitatnya, termasuk mengancam kepunahan beberapa jenis satwa langka, seperti Orangutan Kalimantan (Pongo Pygmaeus). Belum lagi pembakaran biomassa akan menghasilkan polusi udara yang dapat membahayakan kesehatan masyarakat.
Dalam dokumen Rencana Operasional Indonesia’s Forestry and Other Land Uses (FoLU) Net Sink 2030 yang selaras dengan target Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC), untuk memenuhi target Net Sink 2030 dibutuhkan pembangunan hutan tanaman, termasuk HTE baru hingga 6 juta hektar.
Data Forest Watch Indonesia (FWI) menyebutkan bahwa pengembangan Hutan Tanaman Energi (HTE) untuk proyek kayu biomassa justru akan menambah masalah baru. Pasalnya potensi deforestasi dari pembangunan HTE ini sangat masif. Total luas potensi HTE di Indonesia mencapai 1,29 juta hektar. Sebanyak 31 unit usaha telah berkomitmen mengembangkan HTE. Bahkan di Kalbar setidaknya ada tujuh korporasi yang mendapat izin untuk mengembangkan HTE.
Ketujuh perusahaan tersebut adalah PT. Muara Sungai Landak (MSL) dengan luas konsesi 13.000 Ha di Kabupaten Mempawah, PT. Hutan Ketapang Industri dengan luasan konsesi 100.150 Ha di Ketapang, PT. Gambaru Selaras Alam dengan luas konsesi 20.445 Ha di Sanggau, PT. Inhutani III Nanga Pinoh dengan luas konsesi 119.080 Ha di Melawi, PT. Bhatara Alam Lestari dengan luas konses 7.100 Ha di Mempawah, PT. Nityasa Idola dengan luas konsesi 113.196 Ha di Sanggau, dan PT. Daya Tani Kalbar dengan luas konsesi 56.060 Ha di Ketapang.
Manajer Kampanye Bioenergi Trend Asia Amalya Reza Oktaviani mengatakan, Pemerintah Indonesia kerap kali menyampaikan komitmennya untuk melakukan transisi energi, namun justru mengedepankan solusi palsu.
“Pengembangan industri biomassa melalui pembukaan HTE besar-besaran di Kalimantan Barat, hanya akan mengakibatkan krisis iklim yang makin parah. Masih ada 56.372 hektare hutan alam di dalam 7 konsesi HTE di Kalimantan Barat. Apabila hutan alam tersisa tersebut dibuka untuk ditanami tanaman energi, maka potensi pelepasan emisi karbonnya bisa mencapai 36,5 juta ton emisi karbon. Ditambah dengan emisi pembakaran biomassa di PLTBm. Seharusnya, Pemerintah Daerah Kalimantan Barat melakukan peninjauan kembali terhadap rencana pengembangan energi terbarukan di Kalimantan Barat. Cari sumber energi yang benar-benar terbarukan, dan terutama berkeadilan bagi masyarakat, ”ungkap Reza.
Kalimantan Barat merupakan salah satu provinsi dengan target mitigasi deforestasi hutan alam terluas dengan total 917.000 Ha. Sementara bila Kalimantan Barat dijadikan sentra pengembangan biomassa, maka potensi hutan alam yang hilang akan sangat besar.