“Lihat, bengkaknya sebesar ujung kelingkingku! Warnanya merah. Pasti sakit sekali.”
“Biarkan saja, nanti juga hilang sendiri,” kata Ayah kalem.
“Bagaimana mungkin Ayah bilang begitu? Ini mata Parki! Bagaimana kalau bintitan itu sesuatu yang berbahaya? Dia harus
dibawa ke dokter!”
“Astaga!” kata Ayah.
“Tenang, Bu! Ayah dahulu sering mengalaminya waktu kecil. Ini bukan hal yang gawat.”
“Tidak bisa! Ini pasti buruk! Parki harus dibawa ke dokter!”
Parki memandang kedua orang tuanya berganti-ganti. Sebenarnya, ia juga tidak terlalu paham apa yang terjadi. Ia merasa sependapat dengan Ayah. Bintitan bukan hal yang gawat kok. Temannya, si Alex, juga pernah mengalaminya. Biasanya, bintitan itu hilang dalam seminggu, tetapi Parki merasa ngeri dengan Ibu. Jika Ayah dan Ibu berdebat, Ibu pasti menjadi pemenang. Hal itu sudah terjadi berkalikali.
“Baiklah,” kata Ayah kemudian, “nanti sore kita ke dokter.” Tuh, benar, ‘kan? Pasti Ibu yang menang.
Baca Juga: Kunci Jawaban Matematika Kelas 8 Halaman 124, 125, 126 Kurikulum Merdeka
Akhirnya, sore itu mereka ke dokter. Dokter memeriksa mata Parki beberapa kali sebelum akhirnya bertanya. “Pernah mengalami hal ini sebelumnya?” “Tidak pernah,” jawab Ibu. “Debu bisa menjadi penyebabnya,” kata Dokter. “…, tetapi selama ini Parki selalu bermain di luar. Matanya pasti sering kemasukan debu,” kata Ibu, “tetapi mengapa sebelum ini matanya tidak pernah bengkak?”
“Hmm …,” Dokter mengangguk-angguk. “Kemarin Parki makan apa saja?” tanyanya. “Jeruk,” jawab Parki. Ia tidak suka jeruk. Ia berharap jeruklah penyebab matanya bintitan supaya besok-besok ia tidak makan jeruk lagi.
“Tadi malam dia makan nasi goreng,” kata Ibu.
“Siangnya?” tanya dokter.
“Siang dia makan …,” Ibu mengingat-ingat, “nasi dan telur dadar.”
“Paginya?”
“Pagi dia makan bubur kacang hijau.”
“Kemarinnya lagi?” tanya dokter.
“Apakah dia makan udang?”
“Tidak. Dia makan nasi dan telur rebus,” jawab Ibu.
“Oh, ya?” dokter memandang Ibu.
“Tiga hari lalu dia makan apa?”
“Telur dadar,” kata Ibu.
Karena Ibu memberi Parki telur setiap hari, makanan Parki yang dia ingat cuma itu.
“Empat hari lalu?” tanya dokter.
“Telur.”
“Telur lagi?” dokter itu melongo.
“Iya.”
“Seminggu sebelumnya?”
“Telur juga.”
Dokter itu membuka kacamatanya dan menghela napas. “Mengapa ia makan telur setiap hari?” tanyanya.
“Karena telur itu bergizi. Parki membutuhkan gizi bagus supaya bisa tumbuh tinggi,” kata Ibu.
“Itu betul,” kata dokter, “tetapi sesuatu yang berlebihan itu tidak baik. Sepertinya Parki alergi telur.”
“Alergi telur?” tanya Ibu heran.
Dokter mengangguk.
“Kompreslah kelopak matanya yang bengkak dengan air hangat dua kali sehari,” kata dokter. “Mudah-mudahan lima hari kemudian
bengkaknya hilang. Untuk sementara, jangan beri dia telur!”
“Apa?” Ibu tak percaya. “Apakah dokter baru saja mengatakan, Parki tidak boleh makan telur? Tidak mungkin.”
“Benar,” dokter mengangguk.
“…, tapi …, tapi …,” Ibu tidak setuju.
“Baiklah, kami pikir juga begitu,” kata Ayah tiba-tiba.
“Terima kasih atas nasihat Anda, Dokter. Terima kasih.”
“Sama-sama.”
Mereka lalu keluar dari ruang periksa. Ibu tidak mampu berkatakata. Wajahnya tampak sedih sekali. Sebaliknya, Parki justru merasa gembira. Ingin rasanya ia melompat-lompat karena tidak perlu lagi makan telur. Ia merasa bengkak di kelopak matanya adalah suatu anugerah yang teramat istimewa.
Ayah senyum-senyum memandangnya. “…, tetapi gizi Parki, bagaimana? Aduh …!” Ibu menutup wajahnya dengan telapak tangan.
“Tenang, Ibu. Toh sesekali ia masih boleh makan telur,” kata Ayah sambil merangkul bahu Ibu.
“Baiklah,” kata Ibu. Ia menurunkan tangannya. Wajahnya sangat nelangsa. Dipandangnya Parki dengan suatu cara yang membuat Parki merasa baru saja divonis dokter tidak boleh membaca buku seumur hidup!
Baca berita update lainnya dari Sonora.ID di Google News.