Hingga saat ini menurut Gogot, ada 39 bakal paslon yang mendaftar dari jalur parpol dan tiga dari jalur perseorangan.
"Prinsip pelaksanaan pemilihan lanjutan ini adalah penerapan protokol kesehatan. Ditengah belum adanya tren penurunan pandemi Covid-19. Pertama kali melaksanakan pemilihan serentak di era pandemi," ungkapnya.
Namun demikian dikatakan bahwa target parmas bisa mencapai 77,5 persen. Meskipun hasil evaluasi tren rata-rata parmas di Jatim masih fluktuatif. Sehingga tetap dilakukan sosialisasi langsung dan tak langsung.
Kegiatan sosialisasi secara daring ini juga menghadirkan Ketua Bawaslu Jawa Timur
Moh. Amin yang turut menyampaikan beberapa materi. Amin mengatakan, pelaksanaan pemilihan serentak lanjutan saat ini berada dalam kondisi Covid-19.
Baca Juga: Sasar Surabaya, Ratusan Warga Ditangkap Tim Pemburu Pelanggar Protkes Covid-19
"Pilkada dalam kondisi sosial yang tidak sehat. Semua tahapan pelaksanaan pemilihan harus mematuhi protokol kesehatan," kata Amin.
Lebih lanjut ia juga memberikan perhatian dalam hal teknis pengawasan, penindakan pelanggaran hingga penyelesaian sengketa. Namun demikia, keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Komitmen protokol Covid-19 yang harus dipatuhi pada berbagai tahapan pilkada.
"Pada tahapan fervak, coklit, telah berhasil dilewati. Bahkan pada tahapan pendaftaran bakal paslon," imbuhnya.
Amin menjelaskan, walaupun ada berbagai temuan dan laporan terkait munculnya kluster baru Covid-19 saat dua proses tahapan pilkada berlangsung, namun untuk Jatim hingga saat ini belum ada yang berasal dari tahapan pilkada.
"Bukan dari dampak proses tahapan. Termasuk melaksanakan rapid tes pada petugas penyelengara KPU dan Bawaslu," ujar Amin.
Namun demikian, perhatiannya justru pada pengamatan tentang kerawanan pelanggaran protokol kesehatan. Seperti saat perjalanan para paslon ke kantor KPU.
"Itu diluar kendali kita. Ditengah proses perjalanan dari posko menuju KPU, dari start tempat berangkatnya calon menuju KPU tempat pendaftaran. Hampir seluruh paslon dinyatakan atau diduga melanggar terhadap aturan Covid-19. seperti kurang maksimalnya penggunaan masker, kurang mengurangi kontak antar sesama dan jaga jarak," imbuhnya.
Perlu komitmen protokol Covid-19 lanjutnmya, yang harus dilakukan agar pilkada ini sukses di tengah pandemi oleh pemegang otoritas dan pemberi keputusan. Seperti menyiapkan kerangka hukum, terutama saat setelah proses pemberian sanksi atau hukuman kepada pelanggar yang tidak taat protokol kesehatan.
"Kita akui belum kita temukan aturan teknis yang harus kita ikuti dan yang harus kita ambil jalan keluar untuk memberikan daya jera kepada semua pihak agar tidak melakukan pelanggaran. Di aturan elektoral, seperti pelanggran kampanye, larangan konvoi, secara normal sudah kita punya, termasuk sanksi-sanksinya," urai Amin.
Namun lanjutnya, hal tersebut hanya terkait dengan pelanggaran terhadap protokol Covid-19. Hnya pada pemberikan teguran, dan bila teguran tak diindahkan maka KPU dan Bawaslu melakukan koordinasi untuk memberiakn sanksi.
"Sanksi yang sesuai dengan aturan, sanksi yang sesuai dengan hukum, termasuk pelanggaran apabila ada para pihak baik itu penyelenggara, peserta, masyarakat yang terlibat dalam setiap tahapan melakukan pelanggran, belum ada," ungkapnya.
Selanjutnya ia mengatakan, apabila ada pelanggaran terhadap ketaaatan protokol Covid-19, itu temasuk pelanggaran pemilihan atau tidak.
"Kalau iya, termasuk pada delik pelanggaran yang mana," lanjutnya. Dijelaskan, bahwa posisi pelanggaran protokol kesehatan dalam delik pemilu bisa pada posisi pelanggaran administrasi. Hal ini karena aturan protokol Covid sudah terlanjur diatur di PKPU.
"Bisa juga pada tindak pidana pemilihan, bisa juga pada pelanggaran perundangan lain," imbuhnya. Pelanggaran administrasi meliputi tata cara prosedur, termasuk bagaimana melaksanakan tahapan di masa pandemi.
"Pelanggaran kesehatan protokol covid ini belum lengkap. Termasuk sanksi dan semacamnya. Ini yang membikin kita ragu, apakah pelanggran covid ini harus kita tangani pakai pelanggaran admntrsi," ujarnya.
Amin juga mengatakan, Bawaslu tidak memiliki kewenangan eksekutorial terhadap pelanggaran yang melanggar terhadap hukum atau peratutan lainnya. Seperti pelanggaran netralitas ASN, pelanggaran terhadap pemasangan APK di tempat yang dilarang oleh perda atau perwali.
"Kita tidak dapat mengeksekusi, tapi memberikan rekomendasi untuk diputuskan apakah ini melanggar atau tidak," tegasnya.
Sementar itu ia juga mencontohkan seperti aturan tentang wabah dan karantina yang masuk kriteria pidana hukum lainnya. Hal ini karena delik pidana hanya diatur oleh undang undang.
"Perintah hasil rapat dengar pendapat Komisi II kepada Bawaslu dan KPU untuk segera merumuskan susunan sanksi konkret terhadap para pelanggar protokol kesehatan harus segera diselesaikan. Agar proses pengawasan dan penanganan pelanggaran protokol covid bisa kita laksanakan bersama," pungkasnya.