Bencana juga menjadi faktor penghambat pembangunan. Oleh karena itu, pemantauan kondisi alam dan aktivitas terhadap potensi bencana di daerah yang memiliki risiko tinggi perlu dilakukan secara terus-menerus.
Menurut data Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur, luas kawasan hutan Provinsi Jawa Timur tahun 2017 seluas 1,354.296,05 Ha. Sementara luas lahan kritis di dalam kawasan konservasi seluas 8.776,45 Ha.
Kawasan Konservasi ini berada di Balai Taman Nasional (BTN) Baluran, Semeru Betiri, Bromo Tengger Semeru, Alas Purwo, Tahura R. Soerjo dan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Timur.
Baca Juga: Resmikan Tahura, Risma Harap Jadi Alternatif Wisata & Perekonomian Warga
Dengan adanya Gerakan Nasional Pengurangan Risiko Bencana, maka upaya tersebut memberikan penekanan pada penyelamatan dan pelestarian lingkungan, sebagaimana imbauan yang disampaikan Gubernur Jawa Timur pada 24 Desember 2019 lalu bahwa akan dilakukan rehabilitasi hutan di wilayah Jawa Timur. Tujuannya yakni untuk memulihkan, mempertahankan serta meningkatkan fungsi hutan.
"Sehingga daya dukung, produktivitas, dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga," jelasnya.
Setelah mengetahui risiko bencana di suatu wilayah, langkah selanjutnya adalah dengan melakukan tata kelola upaya penanggulangan bencana yang lebih baik. Hal ini sejalan dengan perubahan paradigma upaya penanggulangan bencana di tingkat global.
Baca Juga: Musyawarah Kota PMI Surabaya, Pemkot Siapkan Unit Transfusi Darah Cadangan
Yaitu dari upaya responsif yang berfokus pada saat terjadinya bencana ke upaya preventif yang lebih menitikberatkan pada upaya sebelum kejadian bencana dan pengelolaan risiko bencana.