Terapi plasma darah dipakai dokter di Rumah Sakit Syaiful Anwar Malang. Berdasarkan penelitian, plasma darah dapat meningkatkan angka kesempuan pasien positif dengan derajat berat 95 persen sembuh, derajat kritis 59 persen sembuh.
“Intinya semuanya masih dalam taraf penelitian, tapi menjanjikan di saat belum ada obat pasti,” kata Ariani.
Penjelasan Ariani sekaligus membantah keraguan dari sebagian kalangan dokter yang mengatakan terapi plasma darah tidak efektif menolong pasien positif, bahkan sudah ditinggalkan negara maju seperti Inggris.
Baca Juga: Ungkap Efek Samping Setelah Dua Kali Disuntik Vaksin Sinovac, Ridwan Kamil: Jujur...
Pencanangan Gerakan Nasional Pendonor Plasma Kovalesen oleh Wapres menunjukkan terapi ini efektif dan menjadi pilihan saat ini.
“Jika memang tidak efektif sepertinya mustahil pemerintah lakukan ini. Terapi plasma kovalesen memang dalam taraf uji klinis di seluruh negara di dunia,” jelas Ariani.
Menurut Ariani, saat ini minat penyintas COVID-19 untuk mendonorkan plasma darahnya masih rendah, sementara permintaan sangat tinggi. Sejak berdiri 25 Desember 2020, Komunitas Pendonor Plasma sudah memfasilitasi 241 penyintas.
Baca Juga: Jabar Siapkan RS Darurat Covid-19 di Secapa Angkatan Darat Kota Bandung
Namun saat ini permintaan plasma darah terus meningkat, sementara tidak semua PMI melayani donor plasma darah.
Jika ada, tidak membuka pendaftaran secara sukarela tapi berdasarkan permintaan dari rumah sakit. Jika tidak ada permintaan, maka PMI tidak akan mencari pendonor. Di satu sisi, stok plasma darah antardaerah tidak merata.
“Padahal sebetulnya antar-PMI dapat saling mengirim plasma darah jika ada kebutuhan,” ungkapnya.
Baca Juga: Ganjar Pranowo Menyerukan Donor Plasma Konvaselen untuk Bantu Pasien Berjuang Hadapi Covid-19
Menurut Ariani, minat penyintas COVID-19 mendonorkan plasma darahnya rendah disebabkan beberapa hal.
“Pertama karena mereka tidak tahu. Kedua, ada yang masih ogah untuk ke PMI. Kita tidak bisa memaksa, donor sifatnya hanya sukarela, apalagi kita kasih nomor hape penyintas tanpa izin,” katanya.
Ketiga, stigma pun menjadi salah satu pertimbangan.
“Karena ada stigma ini penyintas banyak yang merasa malu atau tidak mau ditampilkan jika mendaftar (jadi pendonor plasma), nanti takut dikucilkan,” katanya.
Baca Juga: Wali Kota Banjarbaru Nadjmi Adhani Direncanakan Terapi Plasma Konvalesen Secara Intensif
Rendahnya donor plasma pun dapat disebabkan banyak penyintas yang sebetulnya sudah bersedia jadi pendonor, tapi setelah dites kesehatan ternyata tidak memenuhi syarat. Contohnya, saat positif yang bersangkutan terkategori orang tanpa gejala, atau perempuan yang pernah hamil.
“Perempuan yang pernah hamil itu punya antigen HLA dan HNA, kalau plasma darahnya didonorkan akan terjadi penolakan dari penerima,” jelas Ariani.
Ariani menyambut baik ide bahwa kepala daerah dan pejabat publik penyintas COVID-19, mau mendonorkan plasma darahnya.
“Baik banget itu. Pejabat publik bisa jadi influencer,” tutupnya.
Baca Juga: Obati Pasien Covid-19, PMI Kota Bandung Layani Donor Plasma Konvalesen