Bank Jago dan Potensi Bank Digital di Indonesia

18 Mei 2021 11:07 WIB
Ilustrasi
Ilustrasi ( Kompas.com)

Sonora.ID - Bank Jago (ARTO) menjadi Bank Digital dengan ekosistem yang besar setelah Gojek memiliki ARTO sebesar 21.4%. Perkembangan Bank Digital pun diyakini masih memiliki potensi yang besar di masa depan karena faktor:

  • Penetrasi Internet yang pesat
  • Bonus Demografi Indonesia
  • Literasi keuangan yang semakin meningkat
  • Populasi masyrakat unbanked yang tinggi
  • Aturan yang akomodatif

UMKM memiliki peran strategis bagi ARTO untuk menyalurkan kredit dan ARTO sudah memiliki jalan yang lancar untuk ‘menggarap’ pasar tersebut melalui Gojek. Gojek memiliki ekosistem dengan mitra yang mayoritas adalah UMKM. Dengan trend UMKM yang terus bertumbuh, tentu sangat menguntungkan ARTO. Ekosistem Gojek bisa menjadi modal awal ARTO sebagai bank digital dalam bersaing dengan bank lain.

Baca Juga: Menghitung Enterprise Multiple (EV/EBITDA)

Saat ini EMtrade merekomendasi ARTO HOLD. Saat ini ARTO diperdagangkan di PBV 18.3x, di atas rata-rata PBV 5 tahun sebesar 13.9x. Pendapatan bunga bersih naik 232,28% yoy, menjadi Rp33,47 miliar. Beban operasional lainnya neto meningkat 102% yoy menjadi Rp71,82 miliar. Bank Jago mencatat rugi Rp38,13 miliar per 31 Maret 2021 meningkat dibanding hun lalu Rp25,38 miliar.

Potensi Pasar yang Besar
Potensi dunia digital kedepan baik melihat pengguna internet di Indonesia yang terus bertumbuh. Berdasarkan data APJII, jumlah pengguna internet mencapai 196,7 juta jiwa per Juni 2020. Dari angka tersebut, 55.8% responden membeli kebutuhan secara online. Faktanya adalah, baru 9.8% yang menggunakan layanan keuangan digital seperti m-banking, i-banking, dan uang elektronik untuk membayar transaksinya belanja online tersebut.

 

Dunia digital dekat dengan dengan generasi Post generasi Z, generasi Z dan Milenialls. Indonesia sendiri memiliki demografi usia yang mayoritasnya adalah penduduk di usia muda sebesar 64.69% dari total penduduk Indonesia atau sebesar 174.8 juta jiwa. Maka dari itu, perusahaan digital termasuk ARTO (bank digital) akan berebut “kue” di pasar demografi tersebut. Para milenials dan gen-z bagi ARTO dapat menjadi user atau sumber funding ARTO.

Jumlah UMKM Indonesia per 2019 mencapai 65.5 juta unit usaha. UMKM di Indonesia memiliki pengaruh yang signifikan terhadap ekonomi Indonesia karena berkontribusi kurang lebih 60% terhadap PDB Indonesia. Selain itu UMKM menyerap tenaga kerja sebesar 119.6 juta orang. Total pinjaman UMKM terhadap total PDB mencapai 7% sebesar Rp 1098 triliun.

Sementara itu 91,3 juta penduduk unbanked dan 63 juta UMKM menuju ekonomi dan keuangan formal dan sustainable. UMKM ini menjadi potensi besar untuk penyaluran kredit ARTO. Apalagi Gojek memiliki mitra yang didominasi oleh UMKM. Sehingga peluang ARTO untuk penetrasi ke segmen UMKM sudah terbuka.

Baca Juga: Waspada Angka Covid-19 Naik Paska Lebaran, Investing Saham Murah Masih Jadi Pilihan

Ekosistem Online Gojek
Gojek menjadi pemilik ARTO melalui PT Dompet Karya Anak Bangsa sebesar 21.4%. Kepemilikan ini memberikan ARTO potensi pasar yang besar dari Gojek. Gojek sendiri memiliki 38 juta user aktif bulanan di Indonesia (per 2020). Selain itu, Gojek juga memiliki hampir 1juta merchant yang mayoritas merupakan UKM/UMKM dan 20 juta driver yang tergabung menjadi mitra Gojek

Pengguna aktif, merchant dan mitra ini menguntungkan ARTO dalam hal akuisisi cutomer yang lebih efektif dan biaya yang murah bagi ARTO. SuperApps Gojek bisa menjadi penghubung ARTO dan calon customernya. Para user misanya berpotensi membuka akun dan meggunakan layanan keuangan di Bank Jago. Sedangkan UMKM dan driver bisa menjadi saluran pemberian kredit usaha bagi ARTO.

Jika kabar merger Gojek dengan Tokopedia terlaksana dapat menambah jumlah pengguna aktif dan merchant. Per Desember 2020, jumlah penjual di Tokopedia tercatat 9.9 juta. Hal ini membuat ekosistem online Gojek lebih besar lagi dan akan membuat penetrasi ARTO akan lebih luas dari hasil merger kedua unicorn tersebut.

Penyaluran kredit perlu menjadi perhatian. Jika melihat bagaimana penyaluran kredit online saat ini sangat mudah sekali dan berbeda dengan Bank Konvensional yang memliki verivikasi yang cukup panjang. Jika dengan embel-embel digital kemudian Bank Jago mengadopsi sistem pinjaman online,tentu saja hal ini bisa meningkatkan risiko kredit bagi Bank Jago. Karena verifikasi yang lebih mudah dibanding bank konvensiaonal yang memerlukan beberapa tahap verifikasi.

Trend Profibilitas Bank Digital
Dunia digital seperti yang kita tahu identik dengan ‘bakar uang’ dan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk BEP bahkan mencapai profit. Lalu bagaimana dengan Bank Digital?
Berdasarkan riset The Asian Banker, rata-rata Bank Digital di Asia mencapai BEP (Break Event Point) di tahun kedua setelah 5 tahun atau kurang beroperasi. Hal ini didorong dengan pengembangan teknologi baru dan permintaan yang terus meningkat. Sedangka yang sudah beroperasi lebih dari 6 tahun, mencapai titik impasnya di tahun ke-4.

Di tahap awal, memang ada potensi bank digital tidak langsung mendapatkan untung walaupun potensi sangat besar. Ini dikarenakan oleh biaya-biaya cukup tinggi yang digunakan untuk akuisisi konsumen/nasabah. Namun, pada akhirnya kita bisa berasumsi Bank Digital akan membaik di tahun-tahun berikutnya.

Ada beberapa faktor yang mendorong hal tersebut. Pertama, tingkat efisiensi yang tingi nantinya di Bank digital dibanding Bank Konvensiaonal karena berkurangnya beban fisik (karyawan, teller, kantor cabang, ATM, dll) akibat digitalisasi operasional. Pada akhirnya akan membuat ROE Bank Digital bisa di level yang tinggi. Jika dilihat trendnya, ROE Bank Digital bisa menembus level 2 digit.

Selain itu, potensi bunga kredit yang rendah dan bersaing bisa menjadi andalan Bank Digital. Cost of Fund juga diperkirakan akan rendah sehingga bisa menjaga level NIM Bank digital di level yang cukup tinggi.

Baca Juga: Capai 30-40%, Emiten-emiten Properti Rilis Kinerja Pre-sales di 1Q21

Aturan Bank Digital
Selama pandemi COVID-19, sudah terjadi perubahan perilaku di kalangan masyarakat menjadi lebih digital, tidak luput juga dari perbankan yang mulai mengurangi transaksi tatap muka karena dinilai lebih praktis dan bisa melakukan transaksi dimana saja dengan teknologi smartphone.

OJK berencana mengeluarkan peraturan mengenai perbankan konvensional dan digital sebelum akhir semester I, meliputi:

  • Adanya perubahan modal inti dari 1 triliun rupiah menjadi 3 - 10 triliun rupiah
  • Untuk yang ingin langsung mendirikan bank fully digital harus memiliki modal inti min. 10 triliun rupiah
  • Memastikan para investor yang ingin menyuntikkan dana ataupun mendirikan bank sudah melengkapi syarat-syarat dan ketentuan yang berlaku

OJK menjelaskan rancangan POJK ini tidak bertujuan untuk menghilangkan bank-bank kecil, melainkan dengan merubah modal inti dari 1 T jadi 3 T, untuk bank-bank kecil yang tidak mampu menambah modal intinya, bisa mencari induk usaha, sehingga bank kecil kalau masuk kelompok usaha bank jadi bisa menutup kekurangannya. Contohnya bank BCA mengambil bank royal dijadikan bank digital BCA.

Perubahan modal inti ini sudah sesuai penelitian agar bank dapat beroperasi dengan baik. Di dalam OJK, pendirian bank baru harus berbadan hukum Indonesia. Bank Asing mengambil alih Bank Indonesia tidak apa-apa.

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
92.0 fm
98.0 fm
102.6 fm
93.3 fm
97.4 fm
98.9 fm
101.1 fm
96.7 fm
98.9 fm
98.8 fm
97.5 fm
91.3 fm
94.4 fm
102.1 fm
98.8 fm
95.9 fm
97.8 fm
101.1 fm
101.1 Mhz Fm
101.2 fm
101.8 fm