Makassar, Sonora.ID - Pekerja Migran Indonesia (PMI) atau TKI hingga kini masih kerap mendapat kekerasan dan perlakuan tak adil oleh majikan mereka di luar negeri.
Hal itu sebagai dampak rendahnya keterampilan dan pendidikan para PMI. Ditambah, mereka berangkat tanpa disertai dokumen resmi alias ilegal.
Hal itu disampaikan Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), Benny Rhamdani dalam kegiatan sosialisasi Undang-undang 18/2017 tentang perlindungan pekerja migran indonesia yang digelar di Kantor Gubernur, Senin (14/6/21).
Baca Juga: Cegah Pekerja Migran Ilegal BP2MI Bentuk Satgas untuk Perangi Sindikat
Benny mengatakan, PMI yang berangkat dan tercatat secara resmi sebanyak 3,7 juta orang. Akan tetapi, berdasarkan data World Bank, PMI yang tersebar di negara penempatan jumlahnya mencapai 9 juta orang.
"Artinya ada 5 juta orang yang tidak tercatat dalam sistem negara kita. Mereka berada di luar radar perlindungan negara," ujar Benny.
PMI ilegal itu, kata Benny, sangat rentan menjadi korban kekerasan fisik, seksual, pemutusan kerja secara sepihak, hingga human trafficking.
Baca Juga: Berangkat dari Aduan, Mendikbud Tindaklanjuti Kekerasan Seksual di Lembaga Pendidikan
Bahkan, menurut Benny, tak sedikit para PMI dipulangkan dalam keadaan tak bernyawa. Ia menyebut, hingga kini pihaknya telah memulangkan 870 jenazah PMI ke tanah air. Ironisnya, 90 persen dari total yang meninggal tersebut merupakan PMI ilegal.
Olehnya itu, pihaknya gencar menyosialisasikan UU 18/2017 untuk menguatkan sinergi pusat dan daerah terkait perlindungan pekerja migran.
"Regulasi tersebut memberikan mandat yang jelas terpisah. Mana tugas pusat dalam hal ini BP2MI, Kemenaker, Kemenlu dan mana tugas pemerintah daerah termasuk di desa," jelasnya.
Baca Juga: Lebih dari Rp 20 Miliar Deposito Nasabah Hilang, Ini Respon Bank BNI
Dengan demikian, jika semua dalam kendali pemerintah, penempatan PMI ilegal dapat ditekan.
Namun yang terpenting, lanjut Benny, tugas negara harus menyiapkan pekerja yang terampil, profesional, terdidik terlatih memiliki sertifikasi kompetensi untuk pekerjaan yang mereka pilih.
Mereka juga harus dibekali kamampuan berbahasa asing.
Menurutnya, semakin tinggi skill PMI maka akan meningkatkan nilai tawar mereka di negara tujuan. Di sisi lain, pendapatan mereka pasti akan besar.
Baca Juga: Dewan Sambut Positif, Ribuan PMI Asal Bali Sudah Berangkat Bekerja Kembali ke Kapal Pesiar
"Jika mampu menempatkan pekerja terampil dan profesional, semakin besar pendapatan yang mereka dapat. Daerah akan mendapat keuntungan devisa dalam bentuk remiten," tandasnya.
Sebagai informasi, berdasarkan estimasi data yang tercatat di dalam Sisko P2MI, remitansi per orang/bulan dengan gaji 6 juta bisa berkontribusi sebesar 2,4 juta untuk negara.
Khusus di Sulsel, estimasi remitansi per tahunnya dari penempatan 907 PMI yakni bisa mencapai Rp26,1 miliar atau setara dengan 0,24 persen APBD Sulsel tahun 2020.
Sedangkan yang tidak tercatat (non prosedural), Benny memprediksi jumlahnya berkali lipat sehingga nilai remitansi bisa melebihi angka estimasi.
Baca Juga: Sejak Akhir 2018, Kasus UGM Kembali Mencuat dengan Tagar ‘UGM Bohong Lagi’