"Maka ada tanggung jawab moral terhadap perkara yang dijalani korban. Maka setiap tahapan yang dijalani, korban mestinya diberitahu," ungkapnya.
Itulah yang sebenarnya, menurut Ratomi harus diberikan penegak hukum. Baik saat ditangani pihak kepolisian, maupun kejaksaan. Tentunya, sebagai bentuk transparansi dari penegak hukum.
"Tujuannya, agar tidak ada kesan bahwa kasus ini ditutup-tutupi atau disembunyikan," tekannya.
Ada pun fakta di lapangan, menurut tim, korban justru terkejut karena ternyata prosesnya sendiri sudah sampai pada putusan pengadilan. Artinya, korban tidak mengetahui, kapan putusan itu dibacakan.
"Salah satu hak korban itu, mengetahui perkembangan perkaranya," tekannya.
Kemudian, bila melihat kasus yang ada, Ratomi mengatakan, bahwa mestinya jaksa bisa menggali dan merespons, bagaimana keadaan korban.
"Kasus ini kami rasa, ibarat pembunuhan seperti pembunuhan berencana. Sehingga hukumannya itu lebih berat," tegasnya.
Mengingat pelaku diketahui menyiapkan minuman yang kemudian diminum oleh korban, meskipun semula korban sempat menolak lantaran melihat tutup botol minuman sudah terbuka.
"Di sini ada benak bahwa si pelaku, ingin korbannya pingsan tidak berdaya lalu diperkosa. Ini sebenarnya yang tidak diperhatikan oleh jaksa dalam hal menuntut. Dan hakim yang memberi putusan," tekannya.
"Niat jahat pelaku sudah ada. Bahkan sudah jauh hari, itu yang harus diperhatikan. Berbeda cerita bila misalnya pelaku sedang jalan-jalan, lalu tiba-tiba melihat wanita cantik seksi kemudian memperkosa, itu tidak berencana," tutupnya Dosen Pidana di Fakultas Hukum ULM, itu.