Banjarmasin, Sonora.ID - Kapolresta Banjarmasin, Kombes Pol Sabana Atmojo Marsumito, bersama rombongan mengunjungi jajaran pimpinan di Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Selasa (25/1).
Kunjungan ini menyikapi kasus pemerkosaan yang menimpa salah seorang mahasiswa Fakultas Hukum ULM oleh mantan oknum anggota Polresta Banjarmasin yang belakangan ini viral di media sosial.
Berulang-ulang kali, Sabana mengutarakan maafnya secara pribadi, maupun mewakili institusi yang dipimpinnya.
Permintaan maaf itu sendiri diungkapkan di hadapan Wakil Rektor III ULM, M Fauzi Makkie. Dekan Fakultas Hukum ULM, Abdul Halim Barkatullah, serta Tim Keadilan untuk PDVS (korban) yang dibentuk oleh Fakultas Hukum ULM yang berhadir.
"Saya selaku Kapolresta Banjarmasin, meminta maaf atas kejadian tersebut. Secara institusi kami mengutuk keras kejadian tersebut," ungkapnya.
"Kami berharap, hubungan yang terjalin selama ini antara Polresta Banjarmasin dan ULM tetap berjalan dengan baik," harapnya.
"Kami juga memberitahukan bahwa yang bersangkutan sudah diberhentikan secara tidak hormat. Terhitung sejak tanggal 2 Desember 2021," lanjutnya.
"Meskipun yang bersangkutan mengajukan banding, tetap bagi kami itu tidak dibenarkan. Tidak boleh ada polisi seperti itu, tidak boleh ada polisi yang menyakiti masyarakat," tegasnya.
Dari pertemuan itu diketahui bahwa pihak Fakultas Hukum ULM, tampak masih keberatan terkait proses perjalanan kasus itu. Seperti yang diungkapkan Dekan Fakultas Hukum ULM, Abdul Halim Barkatullah.
Ia menjelaskan, pihaknya menyayangkan ketidaktahuan pihaknya adanya proses peradilan itu. Lebih-lebih ketika menyangkut mahasiswa dari fakultas hukum.
"Kami tidak tahu dari awal. Sehingga tidak bisa mendampingi, ini yang kami sesalkan. Kami baru tahu ketika korban mengumumkannya melalui media sosial," ucapnya.
Kendati demikian, Ia menerangkan bukan berarti tak ada upaya yang dilakukan. Dirinya mengaku, sudah melihat petikan terhadap putusan pengadilan. Pihaknya kini tengah melakukan pendampingan hukum bagi korban.
"Dari fakultas hukum sedang mengkaji, dan ada beberapa temuan yang disampaikan. Lalu ada pendalaman lebih lanjut. Saat ini prosesnya kami serahkan ke kejaksaan," ucapnya.
Sekedar diketahui, ketika kasus itu mulai mencuat, Pimpinan ULM, Pimpinan Fakultas Hukum, BEM Fakultas Hukum ULM, dan Tim Advokasi Keadilan untuk VDPS yang dibentuk, meresponsnya dengan mengeluarkan pernyataan resmi pada Senin (24/1) tadi.
Isinya, meminta Kompolnas, Komisi Kejaksaan, Komisi Yudisial, segera mengusut tuntas kejanggalan proses penegakan hukum atas pemerkosaan uang melibatkan Bripka Bayu Tamtomo terhadap salah seorang mahasiswi Fakultas Hukum ULM.
"Kami berharap, masih bisa melakukan banding. Kami menuntut ada upaya banding. Meskipun dari segi aturan, seharusnya upaya banding dilakukan 14 hari seusai putusan. Bila dihitung-hitung, hari ini terakhir. Mudah-mudahan, itu (upaya banding) bisa dilakukan," tekan Barkatullah.
Hal senada juga diungkapkan salah satu Anggota Tim Keadilan untuk PDVS di Fakultas ULM, Ahmad Ratomi.
Ia menyatakan, bahwa dalam sistem pengadilan pidana, saat korban melapor, maka ia mewakilkan dirinya pada negara. Begitu juga saat prosesnya berlangsung.
Baca Juga: Terduga Pelaku Pemerkosa Ibu Muda di Riau, Laporkan Balik Korban ke Kepolisian
"Maka ada tanggung jawab moral terhadap perkara yang dijalani korban. Maka setiap tahapan yang dijalani, korban mestinya diberitahu," ungkapnya.
Itulah yang sebenarnya, menurut Ratomi harus diberikan penegak hukum. Baik saat ditangani pihak kepolisian, maupun kejaksaan. Tentunya, sebagai bentuk transparansi dari penegak hukum.
"Tujuannya, agar tidak ada kesan bahwa kasus ini ditutup-tutupi atau disembunyikan," tekannya.
Ada pun fakta di lapangan, menurut tim, korban justru terkejut karena ternyata prosesnya sendiri sudah sampai pada putusan pengadilan. Artinya, korban tidak mengetahui, kapan putusan itu dibacakan.
"Salah satu hak korban itu, mengetahui perkembangan perkaranya," tekannya.
Kemudian, bila melihat kasus yang ada, Ratomi mengatakan, bahwa mestinya jaksa bisa menggali dan merespons, bagaimana keadaan korban.
"Kasus ini kami rasa, ibarat pembunuhan seperti pembunuhan berencana. Sehingga hukumannya itu lebih berat," tegasnya.
Mengingat pelaku diketahui menyiapkan minuman yang kemudian diminum oleh korban, meskipun semula korban sempat menolak lantaran melihat tutup botol minuman sudah terbuka.
"Di sini ada benak bahwa si pelaku, ingin korbannya pingsan tidak berdaya lalu diperkosa. Ini sebenarnya yang tidak diperhatikan oleh jaksa dalam hal menuntut. Dan hakim yang memberi putusan," tekannya.
"Niat jahat pelaku sudah ada. Bahkan sudah jauh hari, itu yang harus diperhatikan. Berbeda cerita bila misalnya pelaku sedang jalan-jalan, lalu tiba-tiba melihat wanita cantik seksi kemudian memperkosa, itu tidak berencana," tutupnya Dosen Pidana di Fakultas Hukum ULM, itu.