“Saya setiap menggoreng bisa menghabiskan hingga 2 kuintal singkong,” ucap Sriyono.
Sebab, sebagai UKM keriping singkong, migor menjadi bahan baku utama. Sriyono mengaku tak berani beralih ke migor kemasan. Lantaran tidak menutup biaya produksi yang dikeluarkan. Yang ada nantinya akan terancam tomboķ.
"Tapi saya sudah cari ke mana-mana dari pasar Pengging, Banyudono, Boyolali Kota sampai Sunggingan. Kosong semua kalau begini ya tidak bisa produksi," keluh Sriyono.
Perajin kerupuk rambak yang enggan disebutkan namanya juga mengeluhkan hal senada. Tak adanya migor menjadikan usaha rambak yang dirintisnya menjadi macet.
“Ya tidak bisa produksi lagi hingga kami mendapatkan migor curah dengan harga terjangkau ini,” jelas dia.
Kelangkaan minyak goreng (Migor) membikin produsen keripik usus di Boyolali kelabakan. Bagaimana tidak, sudah harganya tinggi, barangnya tidak ada ditambah lagi kualitasnya juga dinilai turun. Para produsen pun tak bisa berbuat banyak, selain mengurangi produksi keripiknya dan menggilir para pekerjanya.
Ririn Trisnawati (40) salah satu produsen keripik usus, sangat merasakan dampak kelangkaan migor ini. Sebelum kelangkaan Migor ini, warga Dukuh Peni, Desa Kwiran, Kecamatan Banyudono, Boyolali itu bisa mengolah antara 4 sampai 5 kuintal usus mentah. Namun, belakangan ini karena sulitnya mendapatkan migor dia terpaksa mengurangi produksinya.
“Sekarang ini (produksinya) tinggal 2,5 sampai 2,7 kuital sehari,” ucap Ririn.
Turunnya produksi ini juga berdampak pada 10 pegawainya.
“(pegawai) yang masuk kami gilir, jadi tiga hari sekali gantian yang masuk,” jelasnya.