Boyolali, Sonora.ID - Minyak goreng (migor) curah bersubsidi masih sebatas khayalan bagi para pelaku UMKM di Kabupaten Boyolali.
Tak sedikit pelaku UMKM yang tak bisa mendapatkan migor curah itu, supaya usahanya tetap berjalan.
Sebab, jika menggunakan migor kemasan, pelaku UMKM dengan keuntungan terbatas itu tak cukup untuk menutup ongkos produksi.
Tak sedikit pelaku UMKM yang berhenti produksi, lantaran tak bisa mendapatkan migor curah ini.
Sriyono (50) salah satu pelaku usaha yang menangis lantaran tak bisa mendapatkan migor curah ini. Pembuat keripik singkong asal Desa Tawangsari, Kecamatan Teras yang tak bisa berproduksi lagi.
Baca Juga: Warga Sukoharjo Rela Antre 6 Jam Demi Minyak Goreng Curah di Solo
Migor curah yang menjadi kunci usahanya tak bisa dia dapatkan. Bahkan, setiap toko dan pasar yang Sriyono cari mulai dari Teras, hingga Pasar Sunggingan Boyolali tak satupun yang memiliki migor curah saat ini.
“Ya karena tak dapat minyak, ya otomatis usaha pembuatan ceriping (Keripik Singkong) berhenti,” ucap Sriyono.
Sriyono berusaha mencari migor hingga ke pasar Sunggingan namun dia lagi-lagi hanya menelan kenyatan pahit karena migor curah yang Sriyono cari tidak ada di toko kios pasar yang menjadi distributor besar migor juga tidak ada.
Sriyono pun harus pulang dengan tangan hampa. Sejalan dengan minyak goreng yang tidak ada di pasaran, penghasilan kotor dari usaha keripik singkong sebesar Rp 400 ribu per hari lenyap sudah.
“Saya setiap menggoreng bisa menghabiskan hingga 2 kuintal singkong,” ucap Sriyono.
Sebab, sebagai UKM keriping singkong, migor menjadi bahan baku utama. Sriyono mengaku tak berani beralih ke migor kemasan. Lantaran tidak menutup biaya produksi yang dikeluarkan. Yang ada nantinya akan terancam tomboķ.
"Tapi saya sudah cari ke mana-mana dari pasar Pengging, Banyudono, Boyolali Kota sampai Sunggingan. Kosong semua kalau begini ya tidak bisa produksi," keluh Sriyono.
Perajin kerupuk rambak yang enggan disebutkan namanya juga mengeluhkan hal senada. Tak adanya migor menjadikan usaha rambak yang dirintisnya menjadi macet.
“Ya tidak bisa produksi lagi hingga kami mendapatkan migor curah dengan harga terjangkau ini,” jelas dia.
Kelangkaan minyak goreng (Migor) membikin produsen keripik usus di Boyolali kelabakan. Bagaimana tidak, sudah harganya tinggi, barangnya tidak ada ditambah lagi kualitasnya juga dinilai turun. Para produsen pun tak bisa berbuat banyak, selain mengurangi produksi keripiknya dan menggilir para pekerjanya.
Ririn Trisnawati (40) salah satu produsen keripik usus, sangat merasakan dampak kelangkaan migor ini. Sebelum kelangkaan Migor ini, warga Dukuh Peni, Desa Kwiran, Kecamatan Banyudono, Boyolali itu bisa mengolah antara 4 sampai 5 kuintal usus mentah. Namun, belakangan ini karena sulitnya mendapatkan migor dia terpaksa mengurangi produksinya.
“Sekarang ini (produksinya) tinggal 2,5 sampai 2,7 kuital sehari,” ucap Ririn.
Turunnya produksi ini juga berdampak pada 10 pegawainya.
“(pegawai) yang masuk kami gilir, jadi tiga hari sekali gantian yang masuk,” jelasnya.
Ririn mengaku sehari membutuhkan 100 liter migor. Awalnya meski harganya mahal, tapi dia masih bisa mendapatkan migor tersebut. Namun, sejak adanya subsidi migor, migor justru semakin langka. Bahkan, akibat dari kelangkaan migor ini dia sempat mengehentikan sementara usahanya.
Selama tiga hari, Ririn tidak mendapat pasokan migor. Beruntung belakangan ini dia bisa kembali mendapat migor. Tapi dengan syarat, dia juga musti membeli produk penyerta lainnya.
"Dulu migor disetor, sekarang sulit carinya. Maka sedapatnya aja, biasanya dapat kemasan yang harga yang mahal. Karena migor curah juga susah. Sekarang beli migor saja 3 karton juga harus beli barang lain, seperti makaroni 10 kilogram yang harganya Rp 123 ribu. Jadi keberatan saya," jelas Ririn.
Baca Juga: Migor Curah 'Menghilang', Pemko Banjarmasin Kumpulkan Pedagang
Selain itu, dia menilai kualitas migor saat ini juga turun. Hal itu terlihat dari proses penggorengan keripik usus yang tak kunjung kering. Bahkan, minyak yang saat ini baru dibuat goreng tiga kali saja, migor ini sudah menimbulkan busa yang melimpah ruah.
“Kalau minyak (migor) dulu itu begitu masuk, tak lama kemudian kerikik usus bisa segera terangkat (kering), tapi sekarang, penggorengan jadi lebih lama,” ucap Ririn.
Penggorengan yang lebih lama ini bisa terukur dari capaian usus yang berhasil digoreng. Sebelumnya, seorang pekerja dalam sehari bisa menggoreng antara 110-115 kilogram usus.
“Tapi akhir-akhir ini, dapat (menggoreng) 90 kilogram dalam sehari saja tidak bisa tercapai,” ucap Ririn.
Hal tersebut tentu berimbas pada penggunaan gas LPG. Semakin lama penggorengan, gas LPG yang digunakan juga semakin banyak yang dikeluarkan. Belum lagi harga tepung terigu dan tapioka yang ikut merangkak. Satu sak terigu ukuran 50 kilogram seharga Rp 187 ribu dan tapioka seharga Rp 235 ribu/sak.
“Harganya naik hingga Rp 7 ribu/sak. Kemudian harga bawang merah kupas juga naik jadi Rp 32 ribu/kilogram,” ujar Ririn.