Ririn mengaku sehari membutuhkan 100 liter migor. Awalnya meski harganya mahal, tapi dia masih bisa mendapatkan migor tersebut. Namun, sejak adanya subsidi migor, migor justru semakin langka. Bahkan, akibat dari kelangkaan migor ini dia sempat mengehentikan sementara usahanya.
Selama tiga hari, Ririn tidak mendapat pasokan migor. Beruntung belakangan ini dia bisa kembali mendapat migor. Tapi dengan syarat, dia juga musti membeli produk penyerta lainnya.
"Dulu migor disetor, sekarang sulit carinya. Maka sedapatnya aja, biasanya dapat kemasan yang harga yang mahal. Karena migor curah juga susah. Sekarang beli migor saja 3 karton juga harus beli barang lain, seperti makaroni 10 kilogram yang harganya Rp 123 ribu. Jadi keberatan saya," jelas Ririn.
Baca Juga: Migor Curah 'Menghilang', Pemko Banjarmasin Kumpulkan Pedagang
Selain itu, dia menilai kualitas migor saat ini juga turun. Hal itu terlihat dari proses penggorengan keripik usus yang tak kunjung kering. Bahkan, minyak yang saat ini baru dibuat goreng tiga kali saja, migor ini sudah menimbulkan busa yang melimpah ruah.
“Kalau minyak (migor) dulu itu begitu masuk, tak lama kemudian kerikik usus bisa segera terangkat (kering), tapi sekarang, penggorengan jadi lebih lama,” ucap Ririn.
Penggorengan yang lebih lama ini bisa terukur dari capaian usus yang berhasil digoreng. Sebelumnya, seorang pekerja dalam sehari bisa menggoreng antara 110-115 kilogram usus.
“Tapi akhir-akhir ini, dapat (menggoreng) 90 kilogram dalam sehari saja tidak bisa tercapai,” ucap Ririn.
Hal tersebut tentu berimbas pada penggunaan gas LPG. Semakin lama penggorengan, gas LPG yang digunakan juga semakin banyak yang dikeluarkan. Belum lagi harga tepung terigu dan tapioka yang ikut merangkak. Satu sak terigu ukuran 50 kilogram seharga Rp 187 ribu dan tapioka seharga Rp 235 ribu/sak.
“Harganya naik hingga Rp 7 ribu/sak. Kemudian harga bawang merah kupas juga naik jadi Rp 32 ribu/kilogram,” ujar Ririn.